"Bu, sepatu merah muda Dinda di mana?" tanya Dinda sambal membongkar-bongkar lemari sepatu.
"Terakhir dipakai kan kemarin, mungkin Dinda simpan di teras." Jawab Ibu.
Dinda menghambur ke teras, tapi sepatunya tetap tidak ditemukan. Dinda mencari ke halaman belakang, garasi, tapi si merah muda tidak kelihatan. Dinda pun menyerah dan terduduk di sofa.
"Belum ketemu, Din?" Ibu menghampiri Dinda. Dinda menggeleng.
"Ya sudah, pakai saja sepatu yang lain. Nanti juga ketemu, mungkin Bik Nah yang membereskannya, nanti Ibu tanya Bik Nah kalau dia sudah datang."
Dinda pun mengangguk lemah, walaupun dalam hati dia masih tidak rela untuk memakai sepatu yang lain. Sepatu merah muda itu adalah hadiah dari Nenek Dinda saat kenaikan kelas 2, Dinda sudah memakainya selama dua tahun. Sepatunya sangat nyaman dan cantik.
Meski sepatu tersebut sudah lama Dinda pakai, tapi kondisinya masih bagus karena Dinda pintar merawatnya. Dinda memakainya ke mana pun, ke sekolah, jalan-jalan, dan ke taman bermain. Sepatu merah muda itu selalu mengingatkan Dinda kepada nenek.
Nenek Dinda sudah meninggal sejak setahun yang lalu. Dinda merasa kehilangan. Setiap memakai sepatu pemberian neneknya, Dinda merasa seolah-olah melihat senyum Nenek. Dinda jadi kangen Nenek.
Hari ini Dinda terpaksa mengambil sepatu yang lain, sepatu warna hitam berpita putih untuk dipakai ke acara ulang tahun Fani, sahabatnya.
*
"Dinda, ini sepatunya. Ternyata Bik Nah menjemurnya di atas. Katanya sepatunya kemarin basah setelah kamu kehujanan sepulang sekolah." Ibu menunjukkan sepatu merah muda itu."Makasih Ibu," Dinda memeluk ibu.
"Kalau sepatunya basah masih suka Dinda pakai ya?"
Dinda mengangguk pelan, takut Ibu mengomel karena Dinda memakai sepatu basah.
Ibu menghela nafas, "Dinda.. sepatu merah muda Dinda sebenarnya sudah sempit kan. Ibu perhatikan kakimu jadi lecet karena memakai sepatu yang kesempitan. Sudah saatnya kamu simpan sepatunya. Sepatu lain yang bagus juga ada kan?" Ibu memakai kata "simpan" bukan "buang" karena Ibu tahu Dinda sangat menyayangi sepatu merah mudanya.
Dinda terdiam, "Iya bu.. tapi, Dinda sangat suka sepatu yang dikasih Nenek." kata anak berusia 9 tahun itu terbata-bata.
"Ibu mengerti sayang, Nenek juga pasti bahagia Dinda selalu pakai sepatu pemberian Nenek, tapi Nenek juga akan sedih kalau tahu kakimu jadi lecet seperti ini." Dinda hanya mengangguk pasrah, tapi dalam hati dia masih tidak rela untuk menyimpan begitu saja sepatunya.
*
"Dinda, bisa tolong belikan lotek di Warung Yu Ratri? Ibu belum sempat masak. Kita makan siang dengan lotek Yu Ratri saja ya."
"Asiiik.. Dinda suka loteknya Yu Ratri." Secepat kilat Dinda menuju Warung Yu Ratri yang hanya berjarak 300 meter dari rumahnya.
Sambil menunggu Yu Ratri membuatkan lotek pesanannya, Dinda memperhatikan sekelilingnya. Warung Yu Ratri sangat sederhana, hanya berupa gerobak kecil teras rumahnya yang sempit. Yu Ratri, janda beranak dua itu, sangat pandai membuat lotek, gado-gado, dan rujak. Dengan berjualanlah Yu Ratri bisa menghidupi keluarganya. Hampir semua orang di komplek menjadi langgananan warungnya.
Tiba-tiba mata Dinda melihat Aya, putri bungsu Yu Ratri yang masih kelas 1 SD. Aya sedang siap-siap berangkat sekolah. Jadwal sekolahnya memang siang.
"Bu, Aya sekolah dulu ya." Aya mencium tangan ibunya.
"Iya, Nak hati-hati."
Sekolah Aya tidak jauh dari komplek, hanya sekolah negeri sederhana, tapi Aya sudah berani berangkat sendiri.
"Yu, Aya kok ke sekolah pakai sandal?" tanya Dinda.
"Sepatu Aya jebol beberapa minggu lalu. Yu mau belikan yang baru tapi tabungannya tidak cukup karena sebelumnya baru saja membelikan Aya dan kakaknya buku sekolah. Minggu depan baru bisa beli." Yu Ratri menjelaskan sambal mengulek bumbu lotek.
"Memang sama sekolahnya gak papa, Yu?"
"Untunglah gurunya mengerti."
Dinda termenung dan teringat kata-kata Neneknya. "Berbuat baik yang paling utama itu adalah ketika kamu memberikan barang yang paling kamu sayangi untuk orang yang membutuhkan."
"Yu, sebentar ya Dinda pulang dulu nanti kembali lagi mengambil pesanan."
Dinda langsung menghambur ke rumah. Ibu jadi heran, "Lho, kok cepat sekali beli loteknya?"
"Belum bu, sebentar.." Dinda tergesa mengambil sepatu kesayangannya, tanpa memedulikan ibunya yang keheranan.
"E-eeh.. Mau ke mana lagi sayang?"
"Mau ngasih sepatu ini untuk Aya bu, kasihan ke sekolah cuma pakai sandal. Pasti sepatunya lebih berguna untuk Aya. Dinda yakin nenek di sana juga pasti senang. Udah ya Dinda pergi lagi, Bu."
Seketika hati ibu menghangat, Ah.. Dinda sudah semakin dewasa.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Anak
القصة القصيرةKumpulan cerita dari dunia anak yang ceria, berupa cerita pendek, dongeng, cerita misteri, fabel, dan lain-lain.