Chapter 2

30 5 1
                                    

Vina pov

Alsar: gue bakal balik kayak dulu lagi vin, gue rasa ini udah cukup.

Aku mematung saat melihat isi chat dari alsar. Pandanganku mengabur sebab air mata yang ku bendung.

Vina: okey, gue dukung lo.

Balasku sebelum jatuh tertidur, malam ini aku terisak hebat. Alsar sudah memaksaku untuk berbohong, dan sekarang dia membohongi dirinya sendiri.

"Apa lagi yang mau lo lakuin?" Tanyaku hampa, sekilas melihat foto yang menampilkan dua gadis smp tengah tersenyum bahagia. Mataku jatuh pada sosok gadis berambut hitam panjang di kepang dua, memakai bando berwarna biru. Dia alsar, sahabatku sejak kecil. Foto itu diambil saat kami di bandung lagi makan cilok dekat sekolah dasar kami dulu. Dari kelas satu sampai enam kami sekolah di bandung, pas smp sampai kuliah nanti aku dan alsar di jakarta.

Kenapa kami bisa barengan terus?

Jawabannya klise banget. Orang tua kami rekan bisnis, setiap minggu diantara keluargaku dan alsar akan mengadakan makan bersama. Untungnya aku terlahir sebagai cewek kalau cowok aku bakal di jodohin sama alsar. Jadi sahabatnya juga hatiku hancur apalagi pacar, aku bergidik ngeri sekedar membayangkannya.

"Gue gak bakal maafin lo kalau sampai itu terjadi"
.
.

Alsar pov

Aku mempercepat langkah kakiku sesekali melirik jam tangan yang melingkar di lengan kiriku. 07:58, dua menit lagi bel dan aku belum sampai di gerbang sekolahpun.

"Pak jangan di tutup dulu!" Teriakku pada pak dodo satpam sekolah sma purnama. Niatnya yang tadi mau menutup gerbang sekolah akhirnya terhenti.

Aku berlari sekencang mungkin. "Hos hos hos" mengatur nafas sembari bersandar di ambang gerbang sekolah.

"Lagi lagi telat" kata pak dodo, ia menggelengkan kepalanya lalu menutup gerbang.

"Hehe... ini yang terakhir kok pak" aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Lagian satu menit lagi sebelum bel" aku melihat jam tanganku dan menoleh ke pak dodo.

"Ini hari senin" ucap pak dodo. Aku hanya ber-oh ria, pak dodo menatapku heran.

"Ada yang aneh sama saya pak?" Aku melihat sepatu, seragam dan atribut sekolah. Semua lengkap.

"Kamu tidak upacara?" Tanya pak dodo membuatku menjerit.

Aku hendak berlari namun ku urungkan. Mengangkat kedua bahu lalu pergi ke kelas dengan langkah tenang.
Lagian ini yang terakhir.
.
.

"Aduh, upacara hari ini lama banget mana panas lagi" keluh dian ketua kelas XI IPA2 memasuki kelas.

"Hy al" sapanya padaku.

"Hy"

"Aaaaa!! Lo gak upacara?" Dian membelalakkan matanya. Baru nyadar dia.

"Woy alsar lo kemaren kemana?" Tanya fikri salah satu siswa terpintar di kelas.

"Paling biasa dia bolos lagi" sahut rinda memasuki kelas. Baru nongol dia udah bikin aku kesal, teman macam apa dia.

"Anak monyet lo di gosipin di DO" lala ikut nimbrung, ia mendudukkan diri di kursi sebelahku.

"Lo sih udah dua minggu bolos terus, sampe ada kabar kalau lo pernah ngerokok" kini rinda yang bersuara.

"Wah lo bener gila al, gue juga belum pernah ngerasain rokok!" Dian berdecak kagum dan langsung mendapat jitakan dari fikri di sebelahnya.

"Sakit kampret!!" Dian mengelus kepalanya.

"Lo kenapa sih al?" Tanya lala mengusap punggung tanganku "kalau ada masalah lo cerita sama kita" imbuhnya.

"Kalian bener, gue punya masalah" mereka mengela nafas. "Masalah apa?" Rinda bertanya mengelus punggungku.

"Gue..."

"Iya, gue apa?" desak dian tak sabar.

"Gue sakit"

"Hah sakit!!" Semua terkejut, menutup mulut tak percaya.

"Lo sakit apa?!" Lala menahan air matanya yang hendak keluar.

"Gue sakit hati" ucapku sendu.

Plak. Plak. Plak. Buk.

Dian menjitak kepalaku. Disusul oleh fikri. Iya dan lala terus mengejar jitakan mereka. Dan lagi lagi GOL sebuah tinju menghantam kedua pipiku. Aku terjungkal dan tak bisa bangkit lagi, aku tenggelam dalam pukulan mereka. Aku tanpa vina butiran asap, eh? Emang asap berupa butiran?. Kembali ke ktp, ralat tkp.

"Aaaaa!!!" Aku menangis sejadinya.

"Kenapa lo semua mukul gue?" Aku menunjuk diriku yang tak bersalah ini. Menatap mereka satu persatu meminta sebuah penjelasan.

"Gue gak mukul lo, gue cuma ngejitak lo doang" bela dian.

"Yang mukul lo itu rinda" jelas fikri kepadaku. Aku memanyunkan bibirku dan beralih menatap rinda yang gelagapan.

"I-ini salah lo sendiri" sanggah rinda, jelas jelas dia yang memukul ku. Dasar muka dua.

"Gue? Kenapa gue?" Aku tak terima dia menyalahkanku.

"Iya. Kita semua cemas lo bilang sakit, gue bahkan udah mau nangis. Suasananya juga terasa di film layar lebar. Dan lo nambahin sebenarnya lo sakit hati doang, orang gila juga bakal mukul lo habis habisan" rutuk rinda kesal. Iya juga sih, aku mengacak rambutku prustasi. Jadi siapa yang salah disini?

"Sakit hati sampai segitunya lo!" Rinda memukul pundakku pelan.

"Namanya juga habis diputusin!" Jawabku judes.

"Emang lo punya gebedatan?" Tanya rinda merendahkan.

"Beu...em... parah lo. Lo tanya gue punya gebetan? masa tentang satus gue aja lo semua pada gak tahu, temen macam apa lo semua!" Geramku marah.

"Punyak gak!" Benak dian tak kalah tinggi. Yaelah pada darah tinggi semua nih anak.

"Hah!, gue punya atau enggak? Ya engga lah"

Buk. Buk. Buk. Dar.

Pukulan satu dilayangkan mendarat tepat di pipi kanan. Tak ingin kalah pukulan kedua mendarat sempurna di pipi kiri. Lagi lagi pukulan ketiga muncul menghantam perut kurusku. Dan oh... jangan lagi, pukulan keempat siap melayangkan pukulan mautnya namun apa yang terjadi... jeng jeng jeng ia melesat kearah meja.

Satu kata. Mantap.

Aku tertawa membahana, bukannya mengaduh kesakitan aku malah terpingkal pingkal melihat rinda meringis menahan tangis.

"Alsar!!" Rinda melenggang keluar kelas bersama rutukannya untukku.

"Dasar cewek bar-bar!" Aku makin tergelak. Ku sapu airmata yang keluar di kedua sudut mataku, memegang perut yang terasa melilit akibat tertawa terlalu lepas.

"Sebaiknya lo ke uks, obatin luka lo" perintah dian menghentikan tawaku. Aku menoleh dan ups.

"Maaf. Habisnya dia lucu" ujarku menahan tawa.

"Lo berdarah"

"Eh" aku mengusap sudut bibirku menggunakan punggung tangan, darah segar terlihat kontras dengan kulitku.

"Sekali pukul lo langsung luka, dulu lo gak selem-"

"Gue gak lemah, gue cuma mengalah ke lo semua. Seharusnya lo bersyukur bisa ngalahin gue, kan dari dulu lo semua selalu kalah dari gue!" Tuturku menyombongkan diri.

"Alsar!!" Teriak dian, fikri, dan lala yang tentunya aku sudah menghilang dari mereka alias lari.

Inilah caraku berteman. Memaki, memukul, dan menangis adalah bentuk sebuah kepedulian. Karena bersama mereka aku menjadi diriku sendiri.
.
.
.

AlsarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang