Chapter 3

21 3 0
                                    

Alsar pov

Aku berlari kencang menyusuri koridor sekolah. Semua murid melihat kearahku, ada yang menggeleng kepalanya sambil berdecak tak jelas. Ada juga yang mengatakan sumpah serapah padaku. Tak sedikit guru pun yang aku tabrak tak sengaja, soalnya sesekali aku menengok ke belakang memastikan semua temanku tak mengejar lagi.

Buk

"Aduh, sial banget gue" aku mengaduh sakit. Meringis saat ku coba berdiri tapi nihil aku terjatuh dan itu menambah sakit berkali-kali lipat. Aku mendongkakkan kepala untuk melihat siapa yang berani nabrak alsar giondras.

"Gavan?"

Dalam posisi aku yang sekarang terduduk di lantai dan gavan berdiri angkuh dihadapanku. Terasa dejavu.

"Eh sorry" aku bangkit dan menyunggingkan senyum getir.

"Lo ketemu gue lagi" tawaku terasa hambar. Gavan mengangkat satu halisnya. Aku menelan ludah yang terasa kering di tenggorokanku. ekspresinya menyebalkan.

"Lo berkelahi?" Tanya gavan di luar pikiranku. Aku pikir dia akan langsung pergi tapi ternyata dia...perhatian. hatiku  berbunga seakan ribuan kupu kupu terbang di sekitarku. Semua terasa indah.

"Gue nanya karena beberapa orang lari kesini dari arah belakang lo. Terus tatapan mereka membunuh"

"Mereka?" Tanyaku bingung. Gavan menunjukkan dagunya ke arah belakangku. Firasatku tak enah, sangat perlahan aku menoleh ke belakang.

"Kyaaaaa!!!" Aku berlari sekencang angin tanpa mempedulikan luka yang tadi terasa pedih. Bisa mati cepat kalau gini caranya. Semua teman dan beberapa guru mengejarku bersama amarah yang tersimpan rapat untukku.

"Alsar!!" Teriakan semua yang mengejarku bagai koor paduan suara.
.
.
.

Gavan pov

"Gue gak bakal muncul di hadapan lo lagi, karena gue bakal selalu muncul di ingatan lo"

Ucapannya masih terngiang dibenakku. Malam tadi aku tidak bisa tidur, entah apa yang telah ia lakukan padaku. Apa ini sebuah kutukan?

Saat ia berkata kalimat itu lalu pergi hatiku terasa mencelos. Rasanya sesak melihat ia pergi menjauh, awalnya aku akan menemuinya setelah pulang sekolah. Tapi, ia bolos. Mungkinkah perkataanku yang menyebabkannya bolos. Okey aku akui kalau perkataanku keterlaluan, kalau memang dia bolos karena perkataanku. Kenapa saat sebelum pergi ia sempat tersenyum padaku. Cewek ini susah di tebak.

"Hy van, lo mau kemana?" Tanya devan berpapasan di koridor sekolah.

"Gue mau ke ruang kepala sekolah" jawabku enteng.

"Wah lo bermasalah van?" Devan sedikit tak percaya.

"Engga lah, gue juga gak tau. Gue duluan" ucapku akhirnya melangkah ke arah yang berlawanan.

"Gue ikut" seru gavan langsung menjajarkan langkahnya denganku.

"Maksudnya sampai kelas XI IPA2, gue mau deketin vani temenya alsar" tambahnya aku hanya diam.

"Van lo bakal dapet namanya karma"ujar devan menatapku simpati, aku mengernyit lalu tersenyum meremehkan.

"Gue gak sengaja kemarin ngedenger percakapan lo sama alsar, dia tampak yakin dengan ucapannya"

"Emangnya lo tau darimana gue bakal dapet karma?" Tanyaku tak acuh.

"Dari buku yang gue baca, jika seseorang menatap terluka orang yang dicintainya lalu mengatakan seakan ia menyerah maka karma berpihak pada orang yang terluka itu. Jika ditafsirkan intinya lo bakal dapet karma sebab lo udah nyakitin hati orang yang mencintai lo tulus" devan menjelaskannya panjang lebar.

"Lo punya bukunya?" Devan melirik ku "buat apa?"

"Buat gue bakar" kataku datar.

"Dasar orang gila!" Devan mendengus, setiap perjalanan ia terus menggerutu. Dasar devan, kalau dia bukan sahabatku udah aku beri hantaman mautku.

"Udah sampe" aku berhenti melangkah.

"Semangat kak gavan" devan memperagakan gaya cewek centil yang suka menggangguku di kelas, kantin maupun di lapangan basket. Aku bergidik geli.

Segera aku menjauh dari devan sebelum aku benar muntah. Ruangan kepala sekolah sedikit jauh dari kelasku, harus melewati lapangan out door terus kolidor kelas sebelas dan terakhir kelas sepuluh. Perkataan devan terngiang.

Karma?

Beberapa bulan yang lalu alsar datang untuk pertama kalinya dan menyatakan cintanya padaku. Aku lansung tolak. Aku pikir dia bakal nangis tapi sebaliknya dia tersenyum manis.

"Gue suka sama lo. Sekarang ataupun nanti"

Aku masih ingat jelas apa yang ia ucapkan, tak ada rasa kecewa yang ia perlihatkan. Berbeda dengan sebagian cewek yang sudah aku tolak. Tamparan, pukulan, sampai cacian dari mereka yang akhirnya aku terima.
Alsar?, dia bahkan memberiku sebuah kecupan melalui dua jarinya itu di pipi kananku.

Keesokan harinya dia menemuiku untuk memberikan makanan, dan tentunya aku menolak. Karena aku tidak menyukainya, tak ayal aku bersikap dan berkata kasar padanya. Ia sama sekali tidak menangis melainkan sebuah senyuman lagi.

Setiap datang sekolah dia pasti sudah menunggu di depan kelas hanya untuk menyapa, waktu istirahat dia selalu bergelayut manja di lenganku, waktunya pulangpun dia sudah berdiri di parkiran sekolah walau aku tak pernah mengajaknya pulang bareng. Saat latihan basket sama karatepun dia setia menungguku, mengasongkan air minum setelah aku berlatih yang ku balas dengan penolakan. Dan itu semua berlangsung beberapa bulan, ketika aku resmi jadi pacar febi alsar tidak menemuiku. Bertemupun jarang. Tak ada kabar tentangnya seakan lenyap di telan bumi.

Hari itu matahari terik beberapa kelas sedang berolahraga, salah satunya kelas alsar. Aku yang waktu itu sengaja izin keluar kelas hanya untuk melihat keadaan alsar. Nihil aku tak dapat menemukannya. Aku kembali ke kelas dengan perasaan kecewa, satu percakapan menghentikanku. Mengusik hatiku menjadi geram.

"Cih... palingan si alsar cewek centil itu bolos lagi" umpat siswi di sebelahnya.

"Gue denger dia kepergok ngerokok dan orang tuanya pernah dipanggil. Tapi tetep aja dia suka bolos" cecar cewek satunya lagi.

"Kayaknya dia depresi deh sama cinta yang selalu gavan tolak" duga nya.

"Bener juga. Soalnya pas dia tau gavan punya pacar sikapnya berubah drastis"

Cukup! Setiap aku menginggat dua minggu terakhir semakin besar rasa bersalahku. Dan bodohnya, kemarin aku bertemu alsar malah menghinanya lagi. Jujur alasanku menerima febi jadi pacarku hanya untuk membuat alsar menjauh. Setelah dia menjauh aku menyesal, senyum yang selalu terpatri di wajahnya bagai candu untukku kini tak ada. Sosoknya telah menjadi sebagian nafasku, ia menghilang maka aku sulit bernafas.

Entah apa yang harus ku lakukan sekarang.

Buk

Aku mematung. Cewek yang tengah kupikirkan ada didepanku. Dia terluka?
Beberapa lembam di wajahnya terlihat jelas. Dia meringis, tak sadar aku ikut meringis. Ia mendongkakkan kepalanya menatapku.

"Eh sorry"

"Lo ketemu gue lagi"

Aku mengangkat salah satu halisku heran, ia memotong rambutnya.

"Lo berantem?"

"Gue nanya karena beberapa orang lari kesini dari arah belakang lo. Terus tatapan mereka membunuh"

"Mereka?"

Kuangkat daguku ke arah beberapa murid dan guru yang berlari kearah sini.

"Kyaaaaa!!!"

"Alsar!!!"

Aku mengulum senyum, dia benar berubah. Kemudian perasaanku kalut, ia berdarah yang artinya terluka dan setiap luka terasa sakit. Dalam keadaan seperti itu ia mampu berlari.

Disaat langit cerah, dirimu hadir bersama luka yang telah mengering.
Andai tak ada sebuah penyesalan, pasti detik ini aku takkan pernah merasakannya.
.
.
.

AlsarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang