"Berhenti mengikutiku, dasar idiot." Naruto mendorong tubuh Hinata dengan kasar.
"Hinata tidak ingin Naru pergi." Hinata menarik ujung jaket Naruto yang tergapai.
"Kalau kau ingin mengikutiku, setidaknya kau normal, tidak idiot." Naruto menepis tangan Hinata dari jaketnya.
"Hinata harus bersama Naru." Hinata gencar mengikuti langkah lebar Naruto.
"Kubilang berhenti mengikutiku!" Naruto membentak seraya menghentakkan kaki kirinya. Banyak pasang mata melihat adegan ini. Bisik-bisik pun terdengar.
"Hinata bersama Naru selamanya. Naru adalah cahaya Hinata. Hinata tidak boleh kehilangan cahaya itu." Detik itu pula, Hinata memeluk Naruto.
"Lepaskan aku, idiot. Aku hanya ingin ke rumah temanku, bukan pergi ke alam baka." Naruto menghempaskan Hinata hingga jatuh terduduk di trotoar.
Hinata tetap teguh bangkit. "Hinata harus bersama Naru."
"Aku akan menemui temanku. Kuharap kau pulang dan temani Ibu di rumah. Jangan ikuti aku." Naruto mengambil langkah hendak meninggalkan Hinata.
"Naru tidak boleh pergi jika tidak dengan Hinata." Hinata memegang erat tangan Naruto.
"Lepaskan." Naruto menarik tangannya. Lalu, dia mendorong Hinata lebih kuat.
Hinata kehilangan kendali atas tubuhnya. Beberapa detik lagi, dia mungkin akan berada di rumah sakit karena kecelakaan. Malaikat penolong datang. Kushina yang kebetulan lewat, reflek menarik tangan Hinata agar tak jatuh ke jalan raya yang penuh kendaraan.
"Hinata, kau tak apa?" tanya Kushina yang dijawab anggukan lemah dari Hinata.
"Apa yang kau lakukan? Kau akan membunuh Hinata?" Kushina geram pada anak sulungnya itu. Dia ingin sekali mencincang Naruto kalau saja Naruto tak lahir dari rahimnya.
"Ibu, dia mengikutiku terus. Aku risih padanya." Naruto menunjuk Hinata yang berlindung di balik tubuh Kushina.
"Pulang. Kau akan kukurung di rumah hari ini. Tidak ada hangout atau apa pun itu." Kushina menyeret Naruto dengan tangan kanannya. Sementara, tangan kirinya merangkul bahu Hinata, menuntutnya pelan.
"Minato, lihat anakmu satu ini. Dia sudah benar-benar gila." Rumah mewah Namikaze dipenuhi suara menggelegar dari Kushina.
"Kushina, tenanglah. Dia hanya belum bisa berpikir jernih." Minato mengusap punggung Kushina guna menenangkannya.
"Aku akan memberinya sedikit ceramah." Kushina tersenyum bak mendapat mangsa. Minato hanya bisa pasrah, kemudian dia pergi untuk merawat kucingnya, Kurama.
Kushina mengomeli Naruto berjam-jam lamanya. Yang Naruto lakukan; menghela napas dan menganggukkan kepala. Hinata melihatnya seraya memakan keripik.
"Hei, tolong aku. Jangan berdiam diri," bisik Naruto pada Hinata.
"Ibu, kata Naru aku harus menolongnya," ucap Hinata tanpa menghentikan aktivitas mengemilnya.
"Dia hampir mencelakakanmu, Hinata. Kau tidak perlu menolongnya dari omelan Ibu." Kushina menghela napas kasar.
"Ibu, kasihan Naru. Ini sudah dua jam Ibu memarahinya." Hinata memeluk Naruto dari samping.
"Apa-apaan kau ini?" Naruto melepas pelukan Hinata secepat kilat. Hinata terjatuh dalam posisi duduk entah keberapa kalinya hari ini.
"Naruto," teriak Kushina di depan mukanya langsung.
"Ibu, Naru tidak sengaja." Hinata tetap membela Naruto walau telah menyakitinya.
"Aku menyesal melahirkanmu, berakhir menjadi laki-laki yang kasar." Kushina masuk ke kamar, lalu menutup pintunya sampai terdengar bunyi yang cukup keras.
Keheningan menyelimuti mereka berdua; Naruto dan Hinata. Naruto diam karena kata-kata ibunya menusuk hati. Dia merasakan sedikit sesal.
"Naru," panggil Hinata ragu-ragu.
"Gara-gara dirimu, aku tidak bisa pergi. Aku diceramahi dua jam. Aku tertimpa sial." Naruto menyalahkan Hinata atas semua yang menimpanya hari ini.
"Naru, Hinata minta maaf." Hinata menundukkan kepalanya seakan ini semua salahnya.
"Aku ingin kau berhenti menguntitku. Tidak ada gunanya kau melakukan itu." Naruto bangkit dari duduknya.
"Hinata tidak menguntit. Hinata hanya ingin selalu bersama Naru." Hinata ikut bangkit; berdiri di belakang Naruto.
"Sudah kukatakan beribu kali hingga mulutku berbusa. Jika kau normal, kau bebas mengikutiku ke mana pun. Kau itu tidak normal. Kau harus sadar itu." Naruto menonyor kepala Hinata tanpa belas kasih.
"Hinata itu normal," bantah Hinata.
"Normal? Benarkah itu? Kau itu tidak normal." Naruto kemudian tertawa keras.
"Naruto." Kini, Minato yang membentak Naruto.
"Iya." Naruto menjawab dengan santainya.
"Kau—" Minato langsung memukul Naruto di tempat.
"Ayah." Naruto membelalakkan matanya, tak menyangka ayahnya sekasar ini hanya karena Hinata. Hinata, si tidak normal dan idiot.
"Kau mengatakan hal itu sekali lagi, maka kau tak kuanggap sebagai anakku. Ingat itu." Napas Minato memburu menahan amarah.
"Ayah, Naru bercanda mengatakan Hinata tidak normal. Lupakan perkataan Naru tadi. Hinata akan membuatkan ramen spesial untuk Ayah. Ayo kita ke dapur." Hinata menggandeng Minato menuju dapur. Meredakan situasi yang panas antara ayah dan anak.
"Sebenarnya, anak mereka itu siapa? Aku atau gadis idiot itu." Naruto heran pada orang tuanya. Di mata mereka, dia yang selalu salah.
Seandainya, dia tidak hadir dalam kehidupan tentramku ini, pikir Naruto.
"Ayah, Naru hanya bercanda. Kumohon Ayah jangan memukulnya lagi." Hinata menggenggam tangan Minato, lalu mengeluarkan raut wajah sendunya.
"Ayah tidak akan memarahinya kalau dia tidak menyakiti Hinata." Minato mengelus puncak kepala Hinata.
"Naru tidak menyakiti Hinata, Ayah," kata Hinata berapi-api.
"Dia menyakitimu, Sayang. Ayah melihat juga mendengar semua itu." Minato tidak pernah berkata kasar pada perempuan. Tapi, mengapa sang anak melakukan hal yang berlawanan dengannya? Ini bukan sebuah karma.
"Naru tidak menyakiti Hinata." Satu persatu air mata Hinata menyusuri pipi putihnya. Isakan tangis mulai menyapa telinga Minato.
Keputusan egoisku sangat menyakiti Hinata. Maafkan Ayah, Hinata, kata Minato dalam hati.
.
Strange © 05-17-2017
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] Strange
FanfictionHyuuga Hinata, gadis berperangai ceria dan sifat kekanakan yang begitu menghangatkan. Tidak disangka, dia amat takut pada orang asing, dalam arti bertemu pertama kali. Namun, saat bertemu Naruto, sifatnya tidak menunjukkan sebuah ketakutan. Ada apa...