1.2

1.6K 100 6
                                    

Seminggu yang lalu.

Hiashi menyeruput teh hijau yang disediakan Kushina. Pasangan Namikaze; Minato dan Kushina, menatap penuh harap atas keputusan Hiashi. Sedangkan seorang lagi, Hyuuga Hinata, tenggelam dalam kebingungannya.

"Hiashi, biarlah Hinata tinggal di sini untuk beberapa bulan. Kau juga sibuk, 'kan?" Kushina melirik Hinata sekejap, lalu mengalihkan pandangannya ke Hiashi.

"Aku tidak ingin merepotkan kalian. Namun, Hinata tidak ada yang menjaga selama aku pergi ke Korea. Aku sangat bimbang." Hiashi memijat dahinya perlahan.

"Hiashi, kami akan merawat Hinata. Percayalah pada kami," kata Kushina meyakinkan Hiashi.

"Hinata, apa kau ingin tinggal bersama Ayah dan Ibu ini?" Hiashi menunjukkan pasangan Namikaze. Dia tidak bisa mengambil keputusan begitu saja tanpa persetujuan Hinata.

"Hinata takut, Ayah." Hinata menyembunyikan wajahnya dibalik tas gendong.

"Tidak perlu takut, Hinata. Kami akan menjadi Ayah dan Ibu yang baik untukmu," bujuk Kushina. Dia mengeluarkan senyum keibuannya.

"Baiklah, Ayah. Hinata ingin tinggal bersama Ayah dan Ibu ini. Mereka baik pada Hinata." Hinata yakin sekali kalau kedua orang di hadapannya tak ada niat jahat. Terlihat dari tingkah dan raut wajah mereka.

"Minato, Kushina, aku titipkan Hinata pada kalian. Kalian sahabat yang baik. Seandainya Hikari masih di sini, kalian tidak akan kerepotan." Mata Hiashi berkaca-kaca mengingat kepergian sang istri.

"Hiashi, Hikari sudah tenang di sana." Minato mengingatkan Hiashi, tak perlu terlarut dalam kesedihan.

"Terima kasih, Minato, Kushina. Aku tidak tahu akan membalas kebaikan kalian dengan apa." Hiashu membungkuk sebagai ucapan terima kasih.

"Tidak perlu seperti itu, Hiashi." Minato menarik bahu Hiashi agar tegak kembali.

"Hinata, baik-baik bersama Ayah dan Ibu ini. Ayah akan segera kembali." Hiashi mengecup dahi Hinata. Dia memeluk putri satu-satunya. Setelah itu, Hiashi berpamitan; meninggalkan rumah Namikaze.

"Hinata, Ibu akan menunjukkan kamarmu." Kushina membawakan salah satu tas Hinata. Dia juga menggandeng Hinata.

Sesampainya di sana, ada dua kamar yang saling berhadapan. Hinata pun bertanya, "Ibu, kamar Hinata yang mana?"

"Kamar Hinata yang pintunya berwarna putih. Yang berwarna coklat itu milik Naruto." Kushina menunjuk satu persatu pintu kamar. Dia memilih membedakan setiap warna dari pintu agar tidak keliru.

"Ibu, Naruto itu siapa?" Hinata masuk kamarnya, dan mulai bertata. Dia dibantu oleh Kushina juga.

"Dia 'lah putra Ibu. Dia akan menemanimu selama di sini. Kau akan bertemu dengannya nanti sore. Dia masih di sekolah hari ini." Kushina mengambil sebuah foto Naruto saat kecil. Memperlihatkannya pada Hinata.

"Lucu. Ibu, Hinata boleh menyimpannya?" Hinata mengambil foto itu. Dia menatapi foto sangat antusias.

"Boleh. Ibu keluar dulu, Hinata istirahatlah." Kushina mengecup dahi Hinata, kemudian keluar meninggalkan Hinata sendiri.

"Naruto ... Naru, lucu sekali." Hinata terkikik geli dan memeluk foto itu. Berguling-guling di kasurnya.

.

"Aku pulang." Salam Naruto dibalas angin yang berhembus.

"Ayah bekerja, tapi Ibu ke mana? Dia biasanya membalas salamku." Naruto menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Menghela napas lelah.

"Apa kau Naru?" Dari ujung tangga, Hinata menatap hangat Naruto.

"Ha?" Otak Naruto masih loading. Dia berpikir Hinata adalah khayalan karena kelelahan.

"Naru," teriak Hinata. Dia berlari turun, memeluk Naruto. Naruto masih tak bergeming.

"Naru yang asli sangat tinggi. Wangi." Hinata menenggelamkan wajahnya di dada bidang Naruto. Mencari kenyamanan di dalamnya.

"Apa yang kau lakukan?" Naruto berteriak lebih keras. Dia menjauh dari Hinata.

"Hinata suka Naru." Hinata malah mengejar Naruto. Berakhirlah, mereka dalam kegiatan kejar mengejar.

"Wah, kalian romantis sekali." Bukannya menolong, Kushina terbahak-bahak dari arah dapur.

"Ibu, tolong aku." Naruto bersembunyi di balik punggung kecil Kushina yang bahkan kalah tinggi.

"Ibu, Naru wangi. Hinata suka." Hinata melangkah ke kanan, lalu ke kiri. Tak membiarkan Naruto hilang dari penglihatannya.

"Ibu, dia memeluk diriku yang suci ini. Aku tidak suka." Naruto bergidik ngeri mengingat pelukan tadi.

"Naruto, kau berlebih. Hinata hanya memelukmu." Kushina melipat tangan di depan dada. Berlagak santai.

"Ibu bilang hanya? Pelukanku itu masih perawan." Naruto menepuk seragamnya.

"Kau ini perempuan atau laki-laki, Bodoh." Kushina menjitak kepala Naruto, heran dengan kealayan Naruto.

Kushina dan Hinata tertawa bebarengan. Naruto merengut sebal. Dia naik ke kamarnya. Hinata menguntitnya.

"Hei. Kenapa kau mengikutiku? Aku akan ganti baju." Naruto mendorong Hinata keluar dari kamarnya.

"Hinata ingin lihat." Hinata kembali masuk ke dalam kamar.

"Kau gila? Aku bilang aku akan ganti baju." Naruto mengeja setiap kata untuk memperjelas maksudnya.

"Hinata ingin lihat. Naru ingin lihat Hinata ganti baju juga? Ayo kita ganti baju bersama." Hinata memeluk lengan kanan Naruto.

"Kau gila." Naruto mendorong Hinata sekali lagi sampai cukup jauh. Dia menutup pintu, lalu dikuncinya.

Hinata menatap bingung pintu di hadapannya. Hinata gila? Gila itu apa? tanyanya dalam hati. Dia acuh pada pertanyannya. Lalu, duduk di depan pintu sembari menunggu Naruto.

"Dasar gadis gila!" Naruto membuka pintunya setelah selesai mengganti baju.

Hinata yang tertidur, terjatuh dalam posisi terlentang. Dia tak siap saat Naruto membuka pintu.

"Hei. Bangun." Naruto menggunakan kakinya untuk mengguncang tubuh mungil Hinata.

"Uhm," gumam Hinata. Dia hanya mengulet.

"Merepotkan." Naruto menggendong Hinata ala putri. Dia mengamati wajah putih Hinata. Bibir merah muda yang tak diolesi semacam lipstick. Manik sewarna bunga lavender tertutupi kelopak. Hanya satu kesimpulan yang diambilnya, cantik.

.

Strange © 05-21-2017

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Strange © 05-21-2017

[3] StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang