1.8

1.9K 102 19
                                    

Beruntung sekali,  cuaca hari itu tiba-tiba mendung tak beralasan. Hinata lebih mudah mengurung Naruto di rumah. Bersamanya. Hanya berdua. Orangtua Naruto, mereka pergi entah ke mana sekitar sepuluh menit yang lalu. Dan kini, Naruto berjalan ke sana-kemari yang dibuntuti Hinata pula di belakang.

"Apa yang Naru cari? Hinata lelah." Hinata akhirnya menyerah. Kemudian, dia mendaratkan diri di sofa panjang. Hinata menarik napas perlahan agar dia berhenti terengah-engah. Dia mengusap bulir-bulir keringat yang mengalir. Juga mengibaskan koran yang dibaca Minato tadi pagi untuk menyejukkan tubuh. 

Naruto tetap saja berkeliling. Menit-menit berlalu, dia tak henti seakan tidak punya batas lelah seperti Hinata. Dia menjambak gemas surai pirangnya. Barang yang dia cari sedari tadi tidak nampak batang hidungnya. Bukan. Bukan manusia yang dia cari. Namun, sesuatu yang amat berharga baginya. "Ke mana kupon itu pergi?" bisiknya. 

"Naru mencari kupon?" tanya Hinata. Dia berpikir keras; kupon itu berbentuk seperti apa?

Naruto mengangguk cepat. Dia kembali menyisir pandangannya pada rumah sederhana itu. "Apa kau melihatnya? Aku ingin mengajakmu makan ramen sepuasnya dengan kupon itu, tapu aku lupa menaruhnya." Dia menyalahkan sifat cerobohnya yang tak pupus sejak masih merah. 

Hinata mengetuk pelipisnya. Bergaya bak detektif yang dipusingkan masalah pembunuhan tak berjejak. Dia mengerutkan alisnya. Masih bingung tentang kupon seperti apa ciri-cirinya. Dan dia tak tahu apa arti kupon itu sendiri. "Kupon itu seperti apa?" 

Naruto beralih pandangan menuju Hinata. Dia berpikir; selama kurang lebih tujuh belas tahun,  apa yang dia pelajari di bumi? Kupon pun tak tahu,  apalagi lotre. "Akan kusebutkan ciri-cirinya.  Kupon itu berwarna emas. Berbentuk persegi panjang dengan panjang sepanjang jari manismu dan lebar sepanjang kelingkingmu. Tertulia di sana, kupon makan sepuasnya untuk hari ini saja. Apa kau paham?" tanya Naruto berupaya menguji seberapa pahamkah Hinata pada perkataannya yang begiti objektif.

Hinata sudah bisa mencerna gambaran dari kupon itu. Dia merogoh kantung jaket dalamnya. Mengeluarkan kupon yang dicari-cari Naruto dengan jeri payahnya. "Apa ini yang namanya kupon?" tanyanya dengan enteng.

"Huh ..., bagaimana bisa kupon itu ada padamu?" Naruto geram. Ingin sekali dia mencincang Hinata detik itu juga, tapi tidak akan tega dia dengan gadis manis nan imut itu.

"Tadi gantungan kunci Hinata jatuh ke bawah. Ketika Hinata mengambilnya, Hinata melihat sesuatu yang berkilau. Hinata pikir itu mahal,  maka Hinata ambil saja. Siapa tahu ada yang kehilangan," jelas Hinata. Raut wajahnya datar layaknya bayi tak berdosa. Bukan salahnya jika dia yang mengambil kupon itu. Suruh siapa kupon itu jatuh.

"Kau ..., kau ...." Naruto menahan napas karena kejengkelan tingkat dewa yang sudah dia alami. "Kau sangat berjasa bagiku. Terima kasih telah menemukan kupon ini untukku. Ayo kita ke kedai ramen sebagai permintaan maafku."

"Hujan." Hinata menunjuk jendela yang sudah tertutupi rintik hujan. Rintik hujan yang menabrak, membentuk bulir-bulir cantik di jendela. Awan yang menggelap, menghilangkan cahaya indah sang mentari yang seharusnya bersinar terang.

"Tenang saja,  lagipula ada mobil. Kita bisa naik itu." Naruto menarik tangan kecil Hinata. Hinata merasa baru saja tersengat arus listrik. Sengatan yang membuat pipinya memanas dan memerah. Serta jantungnya yang seakan tak lagi di tempat. 

.

Sesampainya di depan kedai,  bau hujan dan ramen menjadi satu. Menentramkan kedua insan yang hendak memasuki kedai itu. Dinginnya hujan sebentar lagi akan menjadi hangatnya ramen. "Ayo masuk," ajak Naruto. Tidak ada yang bisa dilakukan Hinata selain mengikuti Naruto. 

"Paman aku menggunakan kupon ini. Aku ingin ramen seperti biasa dua porsi. Salah satu jangan terlalu pedas."

Naruto mengarahkan pandangannya untuk mencari tempat yang kosong. Tempat untuknya dan Hinata. Semua penuh. Lantai dua bisa jadi solusi. Dia dan Hinata menaikki tangga berundak, menuju lantai dua yang agak dingin. Langkah demi langkah. Mereka menuju tempat dekat jendela. Seketika, dia dikejutkan karena sepasang terdiri atas pemuda pemudi dengan warna surai yang sangat kontras.

"Sakura?" gumam Naruto. Pemandangan yang menyegarkan di cuaca itu. Dua manusia yang bermesraan,  saling suap. Tawa bahagia lepas seakan tempat itu hanya ada mereka berdua saja. Sangat mengganggu. Mengganggu orang lain,  juga perasaan Naruto. "Hinata, kita di bawah saja." Naruto berusaha menghilangkan pikiran negatifnya. Dia meyakinkan hatinya kalau orang yang bersama Sakura hanyalah saudara.  Atau mungkin sahabat.  Bisa jadi rekan seperjuangan. Namun,  mana ada yang sampai tahap yang menurut Naruto mesra. Naruto pusing dibuatnya.  Hinata pun begitu. Dia juga pusing karena dibawa memutar ke sana-kemari, tapi dia cukup paham, bahwa Naruto sedang cemburu. Cemburu pada Sakura yang istilahnya berkencan dengan pemuda lain. Masihkah perasaan itu disebut dengan cemburu? Atau iri?

"Naru sudah sadar? Kura-Kura tidak baik untuk Naru. Naru harus percaya pada Hinata. Kura-Kura itu sifatnya sama seperti serigala berbulu domba. Penipu." Hinata malah membuat suasana hati Naruto semakin panas. Naruto semakin marah dan rasa ingin mengamuk.

"Terserah apa katamu. Kuyakin Sakura itu baik, bukan murahan seperti itu. Orang tadi hanya mirip dengan Sakura." Naruto membuang muka ketika Hinata menatapnya gelisah.

"Cobalah mengerti Naru. Dia bukan yang terbaik untuk Naru. Tunggu saatnya Naru melihat beragam sisi lain iblis itu."

...


Maaf saya hanya bisa memberi segitu pada sobat sekalian :"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[3] StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang