Catatan Author: Fanfik ini jalan ceritanya masih panjang. Harap setia menunggu, pembaca terkasih. Kenapa kemarin lama update? Karena Author sibuk menyusun alur. Maaf atas ketidak-profesionalan Author. Salam Author yang mencintai pembaca, muah.
**^^**
"Naruto!"
Naruto mencari dari mana suara melengking itu berasal. Ternyata, Sakura 'lah penghasil suara itu.
Naruto sumringah. Rupanya, Sakura telah dia nanti-nanti. "Selamat pagi, Sakura."
Sakura menggapai leher Naruto, lalu mencekiknya perlahan. "Selamat pagi. Hari ini pasti sesak, ya?"
"A ... ak ... u," kata Naruto putus-putus.
Sakura melonggarkan cekikannya. Dia menepuk bahu Naruto. Kemudian, meminta maaf. "Maaf mencekikmu."
"Naru," bisik Hinata seraya menarik ujung sweater Naruto.
"Ah, perkenalkan ini Hinata." Naruto menunjuk Hinata yang bersembunyi di punggung tegapnya. "Dia memang sangat sulit bersosialisasi," sambungnya.
"Hai, Hinata. Aku Sakura," ucap Sakura. Dia melambaikan tangannya dengan semangat masa muda milik Rock Lee.
"Pergi, Naru. Ayo pergi," bisik Hinata lagi. Firasat Hinata tidak baik jika berdekatan dengan gadis berambut sewarna permen kapas itu. Hinata mencengkeram bagian belakang sweater Naruto.
"Aku duluan, Sakura." Naruto mengalihkan atensinya pada Hinata. Dia menghembuskan napas, lalu menggandeng Hinata. Dia membuka langkahnya perlahan memasuki bagian dalam sekolah. "Kau ingin makan sesuatu, Hinata?"
Hinata mengangguk dalam posisi menunduk. Dia berucap, "Hinata ingin roti melon dan minuman kesukaan Naru."
"Mana uangmu?" tanya Naruto. Dia mengulurkan tangan kanannya khalayak preman meminta setoran dari pedagang. Hinata mendongak menatap wajah pria jangkung di sebelahnya. Matanya sudah mengembun tidak sanggup berucap. "Aku hanya bercanda, Hinata. Hari ini dan seterusnya, mintalah uang padaku. Ibu memberiku uang lebih agar bisa kita gunakan," pinta Naruto. Tangan yang tadinya mengulur, kini mengelus puncak kepala Hinata. Naruto menunjuk meja beserta kursi dekat jendela. "Duduklah di sana. Aku akan membelikan apa yang kau pesan. Jangan ke mana-mana."
Kantin terlihat sedikit ramai. Siswa yang nongkrong di kantin pun dapat dihitung dengan jari. Sedangkan yang mampir, datang lalu pergi, lumayan banyak. Bahkan, melebihi jumlah kesemua jari tangan. Diantara mereka, ada yang bergandengan tangan. Hinata pun berpikir. Tangan saling bertaut, apa begitu penting? Apa mereka kembar, hingga tidak mau dipisahkan? Hinata dan Naru sering begitu, tapi kami tidak kembar.
"Bo!"
"Naru kenapa?" Hinata sama sekali tidak menunjukkan raut kekagetan. Dia memang terlarut dalam angan, tapi tidak mengabaikan keadaan sekitar, termasuk kedatangan Naruto.
"Tidak seru. Kau tidak terkejut." Naruto meletakkan dua roti melon dan jus jeruk di meja. Dia duduk di hadapan Hinata.
Hinata menyobek roti itu, lalu memasukannya ke mulut. Dia mengakui satu hal. "Hinata tidak pandai terkejut, Naru."
"Terkesan memuji diri," sahut Naruto yang tidak terima pernyataan Hinata.
Mereka melewati makan pagi yang kedua kali setelah di rumah. Naruto mengamati Hinata, sedangkan yang diamati memejamkan mata menikmati kelezatan roti melon.
"Naruto," teriak Sakura dari jauh.
"Kemarilah, Sakura. Bergabung dengan kami," pinta Naruto.
Sakura melangkahkan kaki menuju meja mereka. Dia menyeret sebuah kursi, menempatkannya di samping kanan mereka. Kemudian, duduk perlahan bak permaisuri. Hinata menyembunyikan netranya di balik poni. Dia kesal pada orang yang diam-diam menyeringai. Memperlihatkan aura jelek di mata Hinata.
"Hinata tidak suka," gumam Hinata. Dia menyerobot roti itu, lalu pergi dari pandangan Naruto dan Sakura. Dia mengintip ke belakang. Naruto tidak mengejarnya, dia sibuk mengobrol bersama Sakura. Kecewa, cukup menggambarkan keadaan Hinata. Naruto tidak tahu-menahu kala Hinata pergi. Dia terlalu tertarik pada obrolannya dan Sakura.
"Jadi, bagaimana tugasmu lusa lalu? Bolehkah aku menyalinnya?" tanya Sakura. Wajah ayu itu berbinar meminta pertolongan yang ada.
"Boleh. Dengan senang hati, kau boleh menyalin tugasku." Apa pun asalkan perempuan yang kusukai senang, tambah Naruto dari dalam lubuk hati.
"Terima kasih, Naruto. Aku makin menyukaimu." Sakura berteriak kegirangan. Dia berlari ke kelas, lalu mengambil buku Naruto. Menyalin seenak jidat lebarnya. Tanpa Sakura ketahui, Naruto bahkan lembur untuk membuat tugas yang menyebabkan otak sariawan.
Naruto memukul meja kantin. Dia menangkup kedua pipinya yang memanas. Dia merasa sudah beralih menjadi gadis yang kasmaran. "Dia suka." Kemudian, terkekeh sepuasnya.
.
Naruto memasuki rumahnya setelah melewati jam yang melelahkan di sekolah. Dalam sekejap, dia sudah dihadapkan monster yang siap menghajarnya sewaktu-waktu.
"Hinata, dia menangis ketika pulang. Apa yang terjadi padanya?" Kushina berkacak pinggang. Siap mengomeli putra sulungnya.
Naruto mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Namun, ada yang aneh pada Hinata."
Dahi Kushina berkerut, alis pun bertaut. "Aneh? Apa yang aneh?"
"Dia tidak suka kehadiran Sakura."
"Sudah jelas. Mungkin dia tahu kalau ...."
"Berhenti mengatakan hal yang tidak-tidak. Dia orang baik, Ibu," ucap Naruto memotong perkataan Kushina.
Kushina menghela napas. Dia tidak bisa menasihati Naruto jikalau tentang Sakura. Sangat keras kepala, itu 'lah Naruto. "Ibu ingin kau berhati-hati memilih hati. Ibu ingin yang terbaik untukmu, Naruto."
Naruto menatap nyalang sang ibu. Dia membentaknya. "Ibu ingin aku bahagia, maka hentikan ocehan Ibu yang buruk itu." Dia menghentakkan kaki menuju kamarnya. Tidak memedulikan Kushina yang berteriak memanggilnya.
Brak ...
Naruto menghempaskan tubuhnya ke kasur. Dia mengingat ulang. Ibunya memang sudah tidak menyukai Sakura saat pertama kali dia berkunjung kemari. Entah apa Sakura dalam pandangan Kushina.
"Jelas-jelas Sakura perempuan yang sempurna," gerutunya. Sakura cantik. Sakura baik hati. Sakura ramah tamah. Sakura penyayang. Sungguh, di kepalanya, hanya ada Sakura yang mengisi. Semua tentang Sakura sejak dia masuk SMA.
Cinta atau obsesi, apa pun itu, telah meracuni pikiran.
.
Strange © -06/17/2017-
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] Strange
FanfictionHyuuga Hinata, gadis berperangai ceria dan sifat kekanakan yang begitu menghangatkan. Tidak disangka, dia amat takut pada orang asing, dalam arti bertemu pertama kali. Namun, saat bertemu Naruto, sifatnya tidak menunjukkan sebuah ketakutan. Ada apa...