1.4

1.3K 97 12
                                    

"Suna? Suna." Hinata berlari ke arah Akasuna Sasori dengan girangnya. Bahkan, dia memeluk Sasori layaknya sudah lama tak berjumpa. Memang mereka sesungguhnya telah lama tidak bertemu.

"Suna merindukanmu." Sasori mengangkat tubuh Hinata, kemudian memutarnya. Mereka seakan tak memiliki rasa malu.

"Hinata rindu Suna."

"Ehem." Mata Naruto sudah pedas melihat dua manusia yang sedang temu kangen. Jadi, Hinata berpelukan pada laki-laki yang ditemuinya. Tidak hanya denganku? tanyanya dalam hati. Wajahnya mengguratkan ketidaksukaan.

"Lama tidak bertemu, sepupuku sayang." Sasori menurunkan Hinata, kini berganti memeluk Naruto.

"Lepaskan, Kak Sasori. Ini memalukan." Naruto mendorong tubuh sepupunya agar menjauh.

"Hinata berkencan bersamanya?" Sasori memegang bahu Hinata, menggerakkannya perlahan.

"Berkencan? Hinata tidak tahu itu. Tapi Suna harus tahu, Hinata suka Naru." Hinata menyengir memperlihatkan gigi putih nan rapi. Pipinya memerah cukup pekat.

"Suna juga suka Naru." Sasori menepuk puncak kepala Hinata. Menenangkan gadis itu agar tidak banyak polah.

"Bagaimana kau bisa bersamanya, Naruto?" Mereka berjalan berdampingan, tepatnya Hinata berada di antara Sasori dan Naruto.

"Hinata meminta ke sini. Daripada tidak ada pekerjaan, aku menemaninya." Naruto melirik Hinata dari sudut matanya. Hinata berkali-kali menggumam sesuatu. Menurut Naruto; Hinata polos, khalayak kertas yang belum ternodai oleh tinta.

"Aku akan tinggal di rumahmu selama Hinata tinggal. Itu amanah dari Bibi Kushina. Bibi menyuruhku untuk pulang ke rumah bersamamu." Kushina sudah menelepon Sasori sebelumnya. Dia akan dijemput Naruto di mall.

"Hinata, kita makan es krim. Ayo kita ke sana." Sasori menggandeng tangan Hinata. Pasangan kekanakan yang terlihat jelas.

"Ayo." Hinata mengacungkan jari telunjuknya ke atas. Menyetujui usul dari laki-laki berambut merah itu.

"Kurasa aku harus memeriksakan mereka berdua. Sarafnya sudah diambang keputusan." Naruto mengikuti mereka tanpa semangat.

Mereka duduk manis dengan masing-masing pesanan. Namun, hanya Hinata yang melahap makanannya. Naruto dan Sasori dalam perbincangan ringan.

"Kenapa Kak Sasori mengenal Hinata?" tanya Naruto.

"Dia pasienku," jawab Sasori. Alisnya bertaut, Naruto kurang tahu dengan pekerjaan saudara-saudaranya.

"Kak Sasori dokter?" Naruto menyendok es krim milik Hinata.

"Naru jahat." Hinata menepuk punggung tangan Naruto. Tidak berpengaruh apa pun karena tepukan itu lumayan lemah.

"Aku psikolog." Naruto melebarkan matanya. Singkat saja, Naruto akhirnya tahu kalau Hinata memiliki penyakit. Penyakit mental lebih tepatnya.

"Tidak mungkin." Naruto menggeleng tak percaya. "Walaupun aneh, dia masih wajar saja."

Sasori menghela napas berat. "Aku menempati rumahmu semata-mata untuk penyembuhan Hinata."

"Hinata, dia tidak normal." Ragu-ragu Naruto mengucapkan kalimat sederhana.

"Dia masih bisa sembuh." Sasori menyendok es krim Hinata juga.

"Suna jahat." Hinata menjauhkan es krim dari jangkauan tangan-tangan jahil.

"Suna bisa membelikanmu banyak Hinata. Suna hanya mencicipi." Sasori menarik mangkuk es krim itu. Lalu, menyantap milik Hinata.

"Belikan Hinata lima es krim, bungkuskan juga. Untuk Ibu satu, Ayah satu, Kurama satu, Hinata dua." Hinata menghitung satu-persatu makhluk hidup yang bertempat di rumah Namikaze.

"Suna akan membelikan itu semua. Apa Hinata senang?" Sasori menggeser kursinya mendekati Hinata. Lalu, memegang tangan berjari lentik milik Hinata.

"Hinata senang. Setelah makan, kita ke mana, Suna?" Hinata menggoyangkan kakinya.

"Kita berkeliling. Kalau Hinata menginginkan sesuatu, ungkapkan pada Suna." Walau hubungan mereka sebatas dokter dan pasien, Sasori sudah menjadi kakak bagi Hinata.

.

"Suna, Hinata ingin melihat itu sebentar. Suna dan Naru tunggu di sini." Hinata menjauh dari pandangan dua bersepupu itu. Dia menghampiri etalase yang berisi mainan rubik.

Seseorang menepuk bahu Hinata. Dia tak memiliki alis, dan dahinya bertato. "Hai. Kau Hyuuga Hinata, 'kan? Kita teman sekelas. Sedang apa kau di sini? Bersama siapa?"

"Kau siapa? Aku tidak kenal." Hinata mundur beberapa langkah.

Naruto yang melihat Hinata terancam dan ketakutan. Dia berlari ke arah, lalu berdiri di depan Hinata.

"Kau mau apa?" Naruto mengeluarkan suara bernada sentak itu.

"Aku hanya menyapanya. Aku teman sekelasnya." Laki-laki itu, Sabaku Gaara, menjawab yang sejujurnya. Dia juga tidak tahu kenapa Hinata ketakutan seperti itu.

"Naru, Hinata takut." Hinata mencengkeram jaket bagian punggung milik Naruto.

"Sebaiknya, kau segera pergi. Hinata sudah ketakutan pada dirimu." Naruto memutar tubuhnya agar menghadap Hinata.

Gaara merasa tak enak hati. Berniat menyapa, malah membuat teman sekelasnya ketakutan. Dia membungkuk meminta maaf. "Maaf, aku akan pergi."

Hinata melingkarkan tangannya di tubuh jangkung Naruto. Mencari perlindungan ter-aman.

"Sudahlah, Hinata. Dia tadi hanya menyapa saja." Naruto menepuk punggung Hinata perlahan.

"Hinata takut, Naru." Hinata sudah berhenti menangis, tapi tidak melepas pelukannya.

"Naruto, kita pulang saja. Aku yang akan mengendarai. Kau menenangkan Hinata di belakang nanti." Sasori merampas kunci Naruto dari saku jaketnya.

"Hinata, lepaskan. Aku akan menggendongmu." Naruto melepas pelukan itu, lalu menggendong Hinata di punggung. Sebelumnya, dia memakaikan jaket besarnya pada Hinata.

Sasori terfokus pada keadaan jalan yang padat. Sedangkan Hinata, dia terus menempel pada Naruto, tapi dia sudah dalam keadaan tertidur.

"Kak Sasori, kenapa Hinata ketakutan seperti tadi? Padahal, orang merah tadi teman sekelasnya." Naruto mengingat penampilan laki-laki tadi. Rambutnya merah bata, dan tak punya alis?

"Aku juga merah." Sasori tersinggung. Bagaimanapun juga, rambutnya itu merah, namun tak semerah Gaara.

"Maaf, aku tidak sadar." Naruto terkekeh, dia jadi mengingat ibunya.

"Hinata sangat sensitif pada hal yang baru saja ditemuinya. Karena itu, dia ketakutan." Begitu pula saat Sasori bertemu Hinata untuk yang pertama kali. Tubuh Hinata gemetar, dan pandangannya ke bawah sembari meremas roknya. Dari situlah, Sasori mengambil kesimpulan.

"Kak Sasori. Aku dan Hinata baru bertemu semalam, tapi kelihatannya dia tidak ketakutan sama sekali." Naruto menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

.

Strange © -05/28/2017-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Strange © -05/28/2017-

[3] StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang