Hyuuga Hinata, gadis berperangai ceria dan sifat kekanakan yang begitu menghangatkan. Tidak disangka, dia amat takut pada orang asing, dalam arti bertemu pertama kali. Namun, saat bertemu Naruto, sifatnya tidak menunjukkan sebuah ketakutan. Ada apa...
"Kenapa bocah itu tidak keluar dari kamarnya? Ini sudah masuk jam makan malam." Naruto mondar-mandir di depan kamar Hinata. Dia bimbang tentang apa yang harus dilakukannya. "Kenapa aku yang rempong? Terserah dia." Ucapannya tidak membuktikan perlakuan. Dia malah sembarangan masuk tanpa mengetuk pintu.
"Hinata? Oi," panggil Naruto pada Hinata yang meringkuk di bawah selimut.
"Naru kenapa kemari?" tanya Hinata. Dia kemudian keluar dari peradabannya, yakni kasur.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Naruto menarik Hinata untuk turun ke lantai bawah. Mereka duduk di ruang makan didampingi beberapa makanan ringan dan minuman bersoda.
"Naru ingin bicara apa dengan Hinata?" Hinata memiringkan kepalanya. Wajah polosnya begitu menarik di mata Naruto. Namun, Naruto menepis pikiran di otaknya, bahwa Hinata sangatlah manis dan polos.
"Langsung intinya saja. Kenapa kau tidak suka kehadiran Sakura? Dia gadis baik, kau harus tahu itu," ungkap Naruto penuh kejujuran, hanya baginya.
Hinata mendekati wajah Naruto. Dia berbisik, "Naru tidak melihat senyum Kura-Kura itu? Menyeramkan. Kura-Kura jahat!" Hinata mengingat saat Sakura tersenyum iblis padanya. Entah apa motifnya, tapi itu mengganggu pikiran Hinata. Insting Hinata juga buruk tentang Sakura.
"Hinata, kau belum melihat dia yang sesungguhnya. Dia baik. Percayalah padaku," bujuk Naruto agar merubah pandangan Hinata.
Hinata menggembungkan pipi. Dia mendengus sebal. Kemudian, meninggalkan Naruto sendiri. Sebelumnya dia berkata, "Hinata yakin ini, Kura-Kura jahat."
Naruto memijat pelipisnya. "Kenapa dia? Ternyata, banyak yang buta akan sifat baik seseorang. Yang diingat, hanyalah keburukan dari sekian kebaikan."
.
Hinata memakai sepatunya tanpa melirik Naruto yang juga di sampingnya. Sedangkan Naruto memandangi gerak gerik Hinata. Kini dia tahu, bahwa saat marah, Hinata akan mogok bicara.
"Hina ...," panggil Naruto.
"Ayah, Hinata berangkat dengan Ayah." Hinata merangkul lengan Minato. Minato tidak diam, dia mengacak surai indigo Hinata.
"Tentu." Mereka memasuki mobil. Secepat kilat, mobil itu sudah hilang dari halaman rumah.
Naruto ditemani suara hembusan AC di mobil. Dia merasa kehilangan orang yang cerewet di sebelahnya, Hinata. Namun, memang kenyataan dia tidak berangkat bersama gadis ceria nan hangat. "Walau Hinata baru menemaniku sehari kemarin, tidak ada yang menarik tanpanya."
Sakura tampak sudah menunggu di sudut kantin. Dia mengibaskan tangannya memanggil Naruto agar bersamanya. Naruto membalas dengan cengiran lebar.
"Selamat pagi, Sakura." Berlanjutlah obrolan mereka, memang tidak pernah habis topik.
"Wah, kita sudah lulus saja. Padahal, aku ingin lebih lama bersamamu." Sakura memasang wajah sendu palsu. Sampai-sampai, Naruto tertipu.
"Iya. Aku tidak rela," ucap Naruto. Dia mengacak surai merah muda Sakura.
"Bagaimana kalau nanti kita kencan? Kurekomendasikan di mall saja. Ada barang incaranku," ajak Sakura.
"Terbalik, seharusnya Naru percaya pada Hinata," bisik Hinata yang mengintip. Dia mencengkram tembok. Meninggalkan bekas cakaran tipis.
.
"Sepi sekali di kelas. Tiada guru pun pelajaran. Seandainya, waktu SMA-ku lebih lama." Naruto menumpukan dagunya di atas meja. Dia mengeluh; menghela napas; juga melayangkan pikirannya.
"Hoi, Naruto. Ayo keliling daripada menikmati kekosongan ini. Macam hatiku, kosong melompong." Kiba memukul meja Naruto. Tanpa segan, menarik kerah seragam Naruto.
"Baiklah. Aku juga bosan."
Naruto dan Kiba memulai acara silaturahim di setiap kelas angkatannya. Yang Kiba harapkan, menjumpai gadis pengisi hati kosongnya. Itulah modus dia mampir di setiap kelas. Setibanya di kelas Hinata, semangat Naruto bangkit membara. Entah kenapa, Hinata 'lah pembangkit mood-nya kini. Dia mendudukkan diri di bangku depan Hinata yang tidak ada penghuninya. Kemudian, menyapa diiringi senyum.
"Hinata."
"Apa?" Hinata hanya melirik, lalu melanjutkan coretan penuh cinta.
Akulupadiasedangmarahmodeon, batin Naruto. Dia berinisiatif meredakan amarah sang Hyuuga. "Udara panas. Es krim enak untuk cemilan."
"Ini musim dingin, Naru. Jangan makan es krim. Nanti Naru sakit, Hinata sedih," ingat Hinata.
Akulupalagi, batin Naruto. "Apa pun yang hangat, aku akan membeli itu." Hinata tidak menggubris perkataan Naruto yang satu itu. Naruto kemudian menambahkan, "Hinata ingin kubelikan, tidak?"
Hinata mengangguk antusias. "Naru benar akan membelikan Hinata? Kalau begitu, hati-hati jalan ke kantin. Jangan sampai menginjak semut tidak berdosa. Doa Hinata selalu mengiringi setiap langkah Naru."
"Kau harus ikut juga. Aku bukan kacungmu."
Ternyata, Hinata mudah sekali ditaklukan. Dengan makanan atau yang disukainya, kemutungan Hinata pergi seketika. Hinata bahkan tersenyum setiap lahapan cinnamonrollsmasuk ke mulutnya.
"Berhentilah mogok bicara, aku tidak suka berbicara dengan manusia tembok."
Hinata menggembungkan pipi. "Hinata marah pada Naru."
"Baiklah, aku minta maaf atas apa yang membuatmu marah." Raut penyesalan dari paras tampan tercetak jelas.
"Naru tidak boleh keluar rumah. Naru harus menemani Hinata di rumah karena tidak ada lagi tugas yang menemani Hinata sebagai permintaan maaf." Hinata mengacungkan jari kelingkingnya. "Janji. Naru harus membuat yaksokdengan Hinata."
Naruto terkekeh maklum. Menurutnya, tata bahasa Hinata perlu diperbaiki. "Yakusoku, bukan yaksok."
"Naru, yaksokitu bahasa Korea. Hinata benar," tanggap Hinata. Naruto agak malu, dia tertawa canggung. "Lupakan kata-kataku. Iya, aku janji. Aku akan mengabari Sakura." Naruto mengirimkan pesan kalau nanti mereka gagal kencan.
"Naru tidak boleh pergi dengan Kura-Kura," ingat Hinata sekali lagi.
"Oh ya, dari mana kau tahu aku akan pergi dengan Sakura?"
"Gosip." Dusta keluar dari mulut manis Hinata. Dia sudah jadi stalkersetia Naruto, tidak ada yang tidak dia ketahui.