-6-

15 3 11
                                    

Sepuluh menit sudah Alina bermain ayunan. Sepuluh menit itu Roby mulai lelah mendorong ayunan Alina. Roby berhenti mendorong ayunan Alina dan duduk di samping permainan ayunan.

"Udah dulu,ya. Aku capek, Al.. aku istirahat sebentar."

Alina melihat Roby yang berjalan dan duduk di sampingnya. Ia kelelahan.. Hari juga sudah mulai malam dan Alina harus pulang karena ibunya di rumah sendirian. Ia tidak mau ibunya kesepian di rumah.

"Pulang aja yuk, Rob. Kamu juga udah capek kan. Bukannya tadi kamu latihan basket buat pertandingan minggu depan?"

Roby yang mendengar permintaan Alina kemudian berdiri dan bersemangat kembali. Walaupun ia hanya berpura – pura semangat. Ia masih ingin bersama Alina.

"Enggak,kok."

"Beneran deh..kamu tu keliatan capek banget. Lagian ini juga udah mulai malam. Roby, kamu enggak usah bohong kalo kamu capek. Kamu juga ga harus selalu ada di deket aku. Lagian aku juga bisa jaga diri kok. Kan kamu pacar aku. Aku bisa kasih kabar kalau aku butuh kamu. Kamu juga. Jadi, mulai sekarang kamu enggak harus setiap hari jemput aku di sekolah. Oke?" Unek – unek Alina semuanya sudah ia ucapkan pada Roby. Sebenarnya Alina tidak suka jika setiap hari Roby menjemputnya di sekolah. Ia jadi tidak bisa pulang bersama teman – teman perempuannya. Tetapi semua itu sudah ia ungkapkan dengan alasan Roby capek.

Roby mengerti maksud Alina. Roby juga sebenarnya sangat lelah apabila pergi lagi. Akhirnya mereka pulang. Roby mengantarkan Alina pulang sampai depan rumahnya.

"Mau mampir dulu?" Ajak Alina saat turun dari motor dan melepaskan helmnya.

"Kapan – kapan aja. Kamu benar, aku capek banget sekarang. Makasih ya Al, udah ngertiin aku. Maaf juga kalo aku berlebihan sama kamu." Ungkap Roby menyesal.

"Udahlah.. gausah minta maaf juga. Gih,pulang.. makasih helmnya. Hati – hati di jalan,ya.." Jawab Alina sambil tersenyum tulus pada Roby.

Roby kemudian pulang dan meninggalkan Alina. Setelah melihat Roby pergi, Alina masuk ke rumah dan berjalan ke kamarnya. Ia kemudian mengganti bajunya dengan baju tidur. Terlihat ada pesan dari nomor tidak dikenal di ponselnya. Alina meraih ponselnya di meja belajarnya dan membuka pesan tersebut.

Hai Alina, aku Frita pacarnya Kavin. Boleh gak aku nelpon kamu?. Kalau iya balas pesanku,ya..makasih. Alina bingung dengan pesan tersebut. Ada masalah apa sampai – sampai Frita ingin meneleponku. Alina membalas pesan itu dan tak lama kemudian Frita meneleponnya.

"Halo? Alina?" Terdengar suara Frita dari ponsel Alina.

"Iya.. ada apa,ya Ta? Kamu sama Kavin lagi ada masalah ya, sampe kamu telepon aku?" Jawab Alina canggung.

"Sebenernya aku mau minta tolong sama kamu, Al. Bolehkan?"

"Boleh..."

"Gini, aku tahu kamu setiap minggu telpon Kavin. Aku juga tahu kamu sahabatnya dari kecil. Setiap aku sama Kavin ngobrol tu yang dibicarain cuma kamu..terus Al. Bisa gak kalau kamu gak sering – sering telepon dia. Lagian obrolan kalian juga gak penting – penting banget kan. Emang kamu gak punya teman di sana sampai Kavin yang jauh disini harus jadi peri curhatmu."

Alina kesal mendengar ucapan Frita dari telepon. Sabar Alina..mungkin dia cemburu.. "Aku sama Kavin kan SAHABATAN, Ta dari kecil. Lagian aku juga gak bermaksud ganggu kalian kok. Perasaanku dengan Kavin juga sebatas sahabat dan keluarga. Aku juga udah punya pacar. Kamu gak usah berlebihan gitu.." Balas Alina.

Frita kemudian mengakhiri pembicaraan dengan Alina tanpa pamit terlebih dahulu. Frita sangat kesal pada jawaban Alina. Alina tidak mengerti apa yang dia ucapkan tadi. Gak peka!

Sedangkan Alina hanya heran mengapa Frita menutup teleponnya. Dasar,ni anak..cemburu si cemburu. Tapi gak gitu amat ngomongnya. Alina kemudian keluar kamar dan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih sambil menggerutu tidak jelas. Ia merasa kepanasan setelah Frita meneleponnya tadi. Seperti ada yang menyiramnya dengan seember api. Dari kejauhan Alina melihat ibunya yang juga sedang menggerutu di depan ponselnya. Alina tak bertanya kepada ibunya. Karena ia tahu, saat ibunya seperti itu dan ia bertanya ia akan menjadi kambing hitam. Jadi ia memutuskan untuk mendinginkan kepalanya dengan mengambil segelas air lagi untuk diminum.

"Assalamu'alaikum.." Ayah Alina masuk rumah dan istrinya sudah siap untuk memarahinya. Istrinya kini ada di hadapannya sambil melipat kedua tangan di dada.

"Jam berapa ini?" Tanya ibu Alina pada suaminya.

"Jam sembilan,bu. Itu..tadi ayah ada lembur. Istrinya temanku sore ini melahirkan. Hari ini kan jadwal lemburnya. Aku gak tega dengannya, jadi aku merelakan diri menggantikannya lembur." Jawab suaminya yang tampak mencari – cari kalimat yang tepat dan sopan agar istrinya tak menghabisinya dengan seabrek omelan. Bisa – bisa dia berdiri satu jam di depan pintu tanpa bergerak sejengkalpun.

"Iyakah? Terus..kenapa ga bales SMSku atau jawab teleponku?"

"Ya kan ayah lagi sibuk,bu.. waktu ibu menelepon tadi aku sedang di jalan. Sangat ramai. Jadi aku terlalu fokus di jalan tanpa tahu ada telepon masuk."

Alina yang mendengar orang tuanya kemudian berjalan melewati mereka sambil membawa segelas air putih di tangan kanannya. Ayahnya memandangi Alina. Alina..tolong ayah. Bilang saja ayah tidak berbohong. Ayah tadi pergi membeli kalung liontin untuk hadiah ulang tahun pernikahan. Alina kemudian berhenti di samping kiri ibunya dan berkata kalau ayah memang jujur. Ibu Alina langsung mempercayai anaknya dan tidak lagi menanyakan seabrek pertanyaan pada suaminya.

◌◌◌◌◌

The Sounds of The HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang