Begitu keluar dari ruangan cafe, wanita itu segera kembali menelepon detektif sewaannya. Ia mengabarkan tentang informasi penting yang baru saja didapatkannya dan menyuruh detektif dengan nama samaran black one itu menyelidiki semua tentang Afrianda Ronald.
"Dua jam lagi kamu harus sudah mendapatkan semuanya, karena malam ini juga aku akan menjalankan aksiku", ucap Chaise sebelum menutup teleponnya.
"Baik, Jun!", sambungan pun terputus.
Chaise menyimpan handphone dalam tasnya lalu berjalan mengitari mall ini. Menaiki lantai tiga berencana membeli pisau baru ditempat peralatan masak. Begitu sampai, ia mencoba memilih pisau mana yang berbahan dasar sangat tajam.
"Hm.. ini bagus", gumamnya saat menyentuh pisau lipat yang terbuat dari baja berkilau.
Ia pun mengambil pisau tersebut lalu mulai memilih lagi. Pisau mana yang bahan dasarnya sedikit tumpul dan tidak setajam pisau lipat.
"Ini dia", Chaise sangat puas ketika menemukan sesuatu yang diinginkannya. Pisau buah.
Begitu selesai memilih,wanita itu pun segera membayarnya ke kasir. Dengan hati gembira ia mulai menuruni lantai mall. Begitu tiba dilantai satu, langkahnya terhenti didepan sebuah gedung bisokop.
Disana banyak terjejer poster-poster film menarik untuk ditonton, tapi perhatian Chaise seolah hanya terfokus pada satu judul. DEMON THE MOVIE.
Tiba-tiba saja pikirannya terhanyut ke masa lalu. Dimana waktu-waktu kelam itu ia lewati seorang diri. Keluarga besar yang sangat dicintai Chaise terbantai begitu saja pada suatu malam Jum'at yang mengerikan.
Mengingat nya saja membuat bulu kuduk merinding, ingin sekali rasanya menangkap pembunuh jahanam itu dan melenyapkannya.
"Ha-hai?"
Scane-scane masa kelam terbuyar oleh tepukan seseorang dipundaknya. Chaise membalikkan tubuh dan melihat pria yang bertabrakan dengannya tadi berada disana. Tersenyum manis kepada nya.
"Sendirian?", tanya Choi lagi.
Chaise terdiam. Ia kesal dengan pria satu ini. Kenapa dia menyapa wanita yang tak dikenalinya? Sok akrab sekali, dan Chaise sebenarnya tak suka itu.
Padahal mereka hanya tidak sengaja bertemu tadi,tapi kenapa pria ini masih memperdulikan nya? Dan kenapa pula pria itu tahu Chaise ada disini? Apa jangan-jangan.. Choi mengikutinya?
Apalagi pria itu seenaknya saja menyentuh pundak Chaise dan tangannya masih berada disana. Kapan ia berencana akan melepaskan tangannya itu?
Begitu banyak pertanyaan yang terlintas di pikiran wanita berusia 23 tahun itu saat ini.
"Kalau boleh tahu namamu siapa? Aku Choi Salander, salam kenal"
"Tolong kondisikan tanganmu", ucap Chaise dingin.
Choi kebingungan sebentar lalu tersadar dan segera menjauhkan tangannya.
"Aa maaf", ucapnya.
Chaise memutar bola matanya malas,kemudian bertanya apa keperluan pria itu menyapanya. Dan Choi berkata gugup kalau dirinya hanya ingin berkenalan dan mengajaknya berteman.
Choi juga mengatakan kalau ia tertarik dengan warna mata wanita itu. Abu-abu terang biasanya adalah warna mata milik para bangsawan sejati dan terdahulu, sudah sangat langka ditemui pada era modern sekarang ini.
"Aku sama sekali nggak berminat berteman denganmu atau siapapun. Jadi jangan mengangguku lagi", jawab Chaise lantang.
Dia memang merasa tidak tertarik pada setiap pria yang mendekatinya lebih dulu. Karena biasanya orang tersebut pastilah mengincar sesuatu darinya dan mereka pastilah pria-pria genit berhidung belang seperti bosnya.
"Dan warna mataku? Ini keturunan. Kamu orang pertama yang mengagumi nya. Biasanya orang lain merasa terganggu oleh warna mataku"
Choi tak tahu harus berkata apa. Gadis ini sangat sulit untuk didekati. Padahal dalam seumur hidupnya, ini pertama kali nya Choi merasa berdebar oleh seseorang. Dan ini adalah pertama kalinya dia memberanikan diri mendekati wanita, karena sebelumnya Choi adalah tipe pria yang tidak terlalu memperdulikan masalah asmara dan tak gampang tertarik sama lawan jenis.
Tetapi kali ini berbeda. Choi telah terpikat dengannya! Sosok pria yang bertipikal cool dan cuek dalam sekejap berubah menjadi layaknya pria normal. Mulai mencari alasan mendekati seorang wanita yang disukainya.
Tak menunggu jawaban dari Choi, Chaise segera berlalu pergi. Dan pria itu mengacak rambutnya karena telah gagal mengajak wanita itu mengobrol lebih lama lagi. Bahkan nama nya saja Choi belum tahu.
"Kakk!!"
Seorang gadis imut menghampirinya. Langsung merangkul lengan pria itu seolah tak ingin melepaskannya lagi.
"Kata nya ke toilet, tapi tau-taunya main kabur aja! You know what am i doing there? Cendana sendirian disana kak! Alone.. alone again like me at Amerika. Huh!?", ujarnya dengan memasang tampang cemberut.
"Maaf", jawab Choi sekedarnya.
"What?! Cuma ngomong maaf doang? Nggak ada penjelasannya sama sekali gitu? Nggak ada pikiran untuk membujuk your young sister yang sedang ngambek ini, ha?"
Cendana melepaskan rangkulannya dan melipat kedua tangan didepan dada. Ia benar-benar sebal. Choi Salander ini masih saja sama seperti dirinya yang dulu. Tak ada niat untuk berubah apa? Dasar pribadi yang cuek!
***
Sementara itu Gerry Wildson saat ini tengah menyetir mobilnya menuju rumah sahabat karib nya yang merupakan seorang ahli kimia. Ia berencana akan memberikan sebuah bukti penting yang didapatkannya dari kasus pembunuhan berantai itu untuk diselidiki.
Begitu tiba, Gerry segera masuk melalui pintu depan yang terbuka lebar. Memanggil nama pria itu beberapa kali dan akhirnya mendapat sahutan.
"Dibelakang!", terdengar suara seseorang berteriak.
Pria ini berjalan menuju kabin belakang. Dan disanalah orang jenius itu berada. Prof.Som si ahli kimia. Usianya telah sangat lanjut, mungkin sekitar 70-an. Tapi tubuhnya masih sangat sehat wal'afiyat.
"Ada apa?", tanya pria tua itu dengan suara ringkihnya.
"Ini", Gerry segera mengeluarkan kotak cincin tersebut lalu membukanya.
"Aku mendapatkan rambut ini disela-sela jari korban terakhir pada kasus ku. Menurut dugaan sepertinya rambut ini milik sang pelaku", lanjutnya.
Prof.Som memperhatikan helaian panjang itu dibalik kacamata minusnya. Ia memakai sarung tangan lebih dulu lalu menyentuh benda tersebut. Meraba nya dan melihatnya melalui mikroskop sejenak kemudian menyimpulkan sesuatu.
"Ini wig", jawabnya.
Gerry membulatkan matanya.
"Darimana anda mengetahuinya? Tidak mungkin itu rambut palsu. Helaian itu terlihat nyata!""Cukup mudah. Wajar bagi orang awam sepertimu menganggap ini asli,tapi tidak kenyataannya. Rambut ini berhelai kasar dan tak ada bukti bahwa ia tumbuh dari pori-pori kulit kepala seseorang"
Gerry mengeraskan rahang. Menahan emosinya karena tidak mendapatkan kemajuan dari kasus ini. Padahal menurutnya jika ia berhasil menemukan si pelaku, Gerry akan mengajaknya bekerja sama. Pembunuh itu benar-benar sangat cerdik, ia tak sembarangan mengungkapkan identitasnya.
"Sial!", gerutu pria itu dengan sangat kesal.
***
Tunggu kelanjutannya ya.. akan ada yang lebih seru lagi :)
KAMU SEDANG MEMBACA
BLANK SPACE
Mystery / Thriller::Malaikat Yang Menjadi Pembunuh:: Kisah ini menceritakan tentang kehidupan seorang gadis bernama Chaise Junitte yang mengalami penderitaan masa lalu yang kelam dan membuatnya sekarang berubah menjadi iblis pembunuh manusia. Dengan kemarahan yang bi...