Kembali

1.7K 29 13
                                    



"Nis, kamu yakin bakal balik ke rumah? Ke Sulawesi? Apa nggak di sini aja? Trus S2 mu nanti gimana?"

"Iya, definitely yes! 100% yaqin gag pake ragu. Lagian aku pulang juga insya Allah tetap ngelanjutin belajar aku untuk persiapan S2 pit. Jadi kamu nggak perlu ngajuin pertanyaan-pertanyaan lagi, udah kayak wawancara tau!" Gadis itu menimpuk sahabatnya dengan bantal.

"Sialan lu, Nis! Nggak kangen lu sama gue, nanti? Eh, sama kita-kita ding. Hahaha" Pipit mengeluarkan tawa khas nya dengan kombinasi suara melengking dan ngebass yang beriringan sambil menengadahkan kepala dengan mulut terbuka, jenis ketawa yang selalu bikin Nisa geleng-geleng atau kadang pura-pura melupakan sejenak kalau pipit adalah sahabat dekatnya.

"Iiih.. Ngapain juga mesti kangen sama lu, hahah!" Balas Nisa sambil memasukkan beberapa bukunya ke dalam kardus besar bekas rokok. Dia terdiam. Memang berat rasanya meninggalkan Jogja. Jogja sudah membuatnya jatuh cinta, bahkan belum juga beranjak dari kota itu tapi hatinya sudah merasakan benih-benih rindu. Di depan matanya terbayang-bayang perpisahan yang mengharukan. Sudah lima tahun merantau, sejujurnya yang Nisa rindukan dari rumah hanyalah keluarga kecilnya. Sibuk dengan mengurusi adik-adiknya yang masih sekolah atau sekedar menemani ibu memasak di dapur. Itu saja. Apalagi, di Jogja Nisa sudah menjalani program magang selama setahun di tempat kerjanya. Paling hanya beberapa bulan saja dia akan dipromosikan untuk menjadi pegawai tetap di sana.

Pipit masih saja meragukan keinginan Nisa untuk balik ke kampung halamannya. Dia memang selalu dibuat heran dengan keputusan-keputusan aneh atau kadang nyeleneh dari ustajah Nise, panggilan sayang mereka untuk Nisa. Tapi kali ini Pipit diam saja. Dia memilih ikut sibuk membantu dengan melipat pakaian Nisa meskipun hasilnya tetap berantakan. Maklumlah, sebagai anak cewek satu-satunya dari dua bersaudara dengan background keluarga yang kaya, dia jarang melakukan pekerjaan rumah. Lima tahun di perantauan juga belum cukup membuatnya akrab dengan "beres-beres".

"Terlalu nyaman, Pit." Suara rendah Nisa memecah keheningan sejenak. Tangannya lalu sibuk merapikan ulang hasil pekerjaan Pipit.

"Eh, tadi kamu ngomong ya?" Entah sejak kapan tangannya sudah memegang smart phone. Nisa sedikit kesal. Yaelah Pit... Pit. Nisa cuma geleng-geleng, sudah hafal betul kalau 'penyakit'nya Pipit sedang kumat.

"Terlalu nyaman, Piiiit..." Nisa mengulanginya dengan nada ketus.

"Apaa??" Pipit tidak sedang bercanda, tapi tetap saja Nisa lama-lama sebal juga karena tingkahnya.

"Terlalu nyaman, Pit! Huh!" Nisa Menggerutu. Pipit kembali mengeluarkan tawanya yang unik itu. Nisa kembali melemparkan bantal ke arah Pipit kali ini tepat mengenai mukanya.

"Oi! Udah ah, gue balik aja... Hancur muka gue nanti ditimpuk bantal melulu."

"Lebay lu... Bantal gue empuk ya. Hahaha"

"Lu mah, nggak gue bantuin juga udah bisa packing sendiri. Lagian..."

"Lagian kalau lu yang bantu malah jadi berantakan. Iya, kan?"

"Nah itu! Hahahah. Kan lu pinter" Pipit tertawa lagi, tapi kali ini Nisa juga tertawa terbahak-bahak.

"Yaudah, aku balik ya, Nis. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam. Hati-hati ya, Makasih loh ya, Pit" Mereka saling merangkul. Untuk pertama kalinya selama tiga tahun berteman akrab mereka berpelukan. Untuk pertama kalinya Nisa hampir menitikkan air mata saat bersama sahabatnya ini.

"Kamu juga lah. Ndang turu" Ucap Pipit sambil menutup pintu kamar Nisa. Nisa hanya tersenyum.

Blam. Sunyi. Nisa masih ingin terjaga lebih lama. Masih banyak kenangan yang ingin dia ingat lagi. Saat menatap langit-langit kamarnya sepintas muncul bayang-bayang dirinya saat baru pertama kali menginjakkan kota Jogja, dia bersama keenam temannya nyasar di Universitas Gadjah Mada. Sialnya, mereka terpaksa jadi tontonan penghuni kampus siang itu. Mereka menumpangi dua bentor masing-masing bertiga, dua duduk dempet-dempetan dan satu orang yang paling kecil dipangku. Suara knalpot bentor saja sudah cukup berisik untuk menarik perhatian, apalagi ini. Nisa dan keenam temannya selalu saja menjadikan kejadian ini bahan untuk diceritakan saat ditanya hal yang berkesan saat berada di Jogja, walaupun ternyata hanya dua orang saja dari mereka yang benar-benar merasakan pahit manisnya tinggal di kota pelajar tersebut sampai menyelesaikan studi dengan predikat cumlaude, termasuk Nisa sedangkan sisanya, setelah berjuang beberapa tahun akhirnya diterima kuliah di luar negeri. Rupanya rasa kantuk Nisa menghalanginya untuk begadang hingga larut, larut dalam kenangan, setidaknya beberapa yang sangat berharga yang belum tentu dia dapatkan seandainya dia tidak memutuskan untuk jauh dari orang tua, merantau, beberapa tahun yang lalu. Matanya kini sudah terpejam, sudah jauh dia terjatuh dalam tidurnya tapi air mata mengalir dari pipinya, entah mimpi apa yang dia lihat di malam terakhirnya di Jogjakarta, di kamar kosnya, ditemani boneka panda miliknya.­­


PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang