Bandar Udara

127 6 0
                                    

Adisucipto waktu pagi, tidak sepenuhnya jam jam siang atau sore tapi tetap ramai oleh penumpang yang lalu lalang. Porter dan supir taksi telah siap-siap sejak habis subuh untuk berburu penumpang yang mendarat pada pukul enam pagi. Udara sejuk kota Yogyakarta diselimuti embun tipis bekas hujan tadi malam. Beberapa penumpang pesawat asik bercengkrama di luar dari pada di ruang tunggu, setidaknya bisa menghabiskan waktu beberapa saat bersama pengantar yang biasanya adalah keluarga atau teman.
Mobil Honda Brio berwarna merah menepi di tempat menurunkan penumpang. Para porter buru-buru mendekati mobil itu sambil menawarkan jasa mereka, padahal pintu pun mobil belum dibuka. Nisa lalu turun dari pintu depan diikuti Putri dan Endah dari pintu belakang. Dia memberikan isyarat pada porter bahwa dia tidak membutuhkan bantuan mereka. 

" Eh, gue parkir dulu ya. Kalian tunggu di sini dulu pokoknya," Pipit menaikkan kaca mobil kemudian bergerak menuju parkiran.

Nisa cuma mengangguk. Dia masih mengantuk karena packing baru selesai menjelang subuh. Jadi Nisa baru tidur satu jam saja. Dia sudah berencana untuk tidur selama di pesawat.
Putri, Pipit, Endah, Nisa, dan masih ada satu lagi, Heni yang sekarang sudah pulang ke Padang, mereka berlima akrab semenjak berada di kelompok yang sama sewaktu matakuliah sistem informasi. Nisa dari dulu orang yang sangat pendiam, dia berteman dengan siapa saja tapi baru kali ini dia punya kelompok pertemanan, sebut saja 'genk'. Dia tidak menyangka kalau ternyata punya sahabat dekat bisa seasyik itu. Kadang-kadang dia menyesalkan kenapa sejak kecil dia selalu memilih untuk tidak berteman dalam 'genk'.

Putri, yang paling cekatan dan dewasa, sibuk mengecek ulang barang-barang Nisa, takut ada yang ketinggalan. Tidak banyak, sih, baju-baju yang dipacking dalam satu kardus rokok, satu kardus sedang berisi pernak pernik, ditambah dua koper berukuran 22 inch. Semuanya akan dimasukkan di bagasi. Barang-barang berat lainnya seperti buku sudah dikirim jauh jauh hari sebelumnya lewat kargo. Biar lebih ekonomis, katanya. Endah, si pemalu dan otaku ini juga sama ngantuknya dengan Nisa, bedanya dia mengantuk karena tadi malam begadang untuk menonton serial anime yang lama tidak dia tonton karena sibuk kerja. 

"Gimana Nis perasaanmu?" Endah berusaha mengalihkan rasa ngantuknya.

"Hah? Gimana? Gitu deh wkwkw. Ntar kita sering-sering video call aja. Hahah, sekarang mah serba gampang, Ndah"

Endah tiba-tiba merangkul Nisa. Matanya sudah berkaca-kaca. Sejak kapan anak itu jadi sensitif?

"Huhu, nanti aku nggak ada temen nonton anime di bioskop lagi donk Nis", katanya sambil tersedu sedu di bahu Nisa. Dia juga berkaca kaca.

"Hush.. kamu ini, malah nyambungnya ke anime. Dasar cewek otaku", Celetuk Putri. Dia memang paling jago untuk mencairkan suasana.
Endah dan Nisa tertawa bersamaan.

" Nggak apa-apa Put. Jarang jarang kan kita lihat dia nangis gini."

" Iya nanti kita masukin Instagram terus kita viralkaaanan!" Canda Putri.

"Iya iyaa." Endah menghapus air matanya sambil tertawa-tawa kecil.

"Lah koq dah pada seru-seruan gini sih?" Pipit muncul dari arah parkiran.

"Yee. Nangis koq dibilang seru." 

"Lah iya kan? Hahah"

Mereka tertawa bersama. Suasana semakin cair, padahal Pipit sudah mengantongi tisu kalau-kalau mereka nanti malah banjir air mata melepas Nisa pulang ke kampung halamannya. Lebih baik begini lah, dari pada sedih.

"Eh aku cek in dulu ya? Nanti aku ke sini lagi".

Nisa melirik jam tangannya. Masih ada satu  setengah jam lebih sebelum pesawat boarding. Nisa bergegas memasuki pintu masuk penumpang. Hanya 15 menit dia sudah keluar kembali, tidak banyak antrian. Putri, Pipit, dan Endah segera berdiri dan menyambut Nisa, rasanya ingin mencegahnya pulang. Rupanya waktu boarding lebih cepat beberapa menit dari yang dijadwalkan, padahal mereka baru bicara sebentar. 

"Nis, hati-hati ya di jalan, jangan lupa hubungin kita-kita. Kabarin kalau ada berita gembira, kalau butuh bantuan, jangan sungkan." kata Putri sambil menepuk-nepuk pundak Nisa.

"Nis, pokoknya nanti kamu tetap harus ngebimbing aku ya buat desain. Aku juga mau jadi desainer grafis kayak kamu" Endah mengepalkan tangannya. Ah, semangat yang bagus. Nisa bersyukur bisa menginspirasi sahabatnya.

"Nis...Hiks" Pipit langsung memeluk Nisa. Pecah sudah. Pipit yang paling cengengesan pun luluh. 

"Eh koq pada nangis sih?" raut muka Endah nampak bingung airmatanya mengalir begitu saja. Dia ikut memeluk Nisa.

Nisa juga menangis tapi berusaha tetap tersenyum. Putus-putus bicaranya.

"U.. udah sih, huuhuu, kalian koq norak banget."

Tak lama setelah itu panggilan boarding kembali terdengar. Mereka saling berpelukan sekali lagi, berharap suatu hari bisa berkumpul seperti saat ini. Nisa tak berhenti mengarahkan pandangannya ke teman-teman nya. Mereka masih melambaikan tangan saat hilang dari pandangan Nisa. Air matanya hampir tumpah lagi. Buru-buru dia menyeka matanya sambil mempercepat langkah. Pandangannya sedikit buram ditambah semalam kurang tidur.

Brug.

"Eh maaf", suara itu nampak akrab ditelinga Nisa. "Mbak, nggak apa-apa?"
"Eh iya mba, maaf aku yang salah. Buru-buru. Bentar mbak, kacamata ku..."
Nisa hanya melihat ujung kaki perempuan itu. Dia masih sibuk mencari.
"Ini mbak, nyangkut di troli saya", perempuan manis berlesung pipit itu menyodorkan kacamata ke arah Nisa.
"Maka...sih" Nisa tertegun, dia bingung reaksi apa yang seharusnya dia tampakkan melihat wajah perempuan itu. Panas menjalar ditubuhnya. Tangannya gemetar saat menerima kacamatanya, bahkan saat dirangkul oleh perempuan itu.
"Nis, Nis? Kamu lupa aku po?" Perempuan itu mengguncang-guncang badan Nisa. Pandangan sempat kosong. Pikirannya seketika melayang kesana kemari seperti perutnya yang tiba-tiba mules.
"Na... Nabila?"
Nisa masih tidak percaya dengan yang terjadi padanya saat ini, dia masih mematung tanpa menyadari seorang laki-laki dengan jaket coklat kulit, kaca mata hitam kotak dan gingsul itu datang menyapa perempuan di depannya.
"Sayang, ada apa?"
Sekujur tubuh Nisa kini gemetaran. Tidak ada lagi suara bising keramaian bandara di pagi hari hanya kerumunan orang yang membuat nafas Nisa semakin sesak. Kaki-kaki yang dia lihat semakin banyak mendekatinya.
"Ada apa?", Nisa bertanya-tanya dalam hati. "Apa yang terjadi? Haidar? Kenapa?"

Tidak ada media yang heboh tentang kejadian di bandara pagi itu. Dari luar, tidak akan ada yang tahu kalau kejadian itu telah menghancurkan hati seseorang, melenyapkan asanya. Dari luar bandara, atau dari luar sikap Nisa selama ini. Tidak ada yang tahu apa yang dia pendam selama ini.

"Panggilan terakhir kepada Nona Mehrunnisa ..."

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang