Hadir

739 11 0
                                    



Hadir

Nisa terbangun saat sinar matahari menusuk pandangannya, silau.

"Astagfirullahal'adhim!" Nisa berseru bangkit dari kasurnya. Selimut, bantal, rambut juga mukanya, semua berantakan. Minggu kedua kuliahnya di semester satu, hari kamis 09 Agustus 2012. Pukul setengah tiga siang, seandainya bukan karena ngantuk Nisa pasti masih menunggu di kampus bersama teman-teman sekelasnya yang beru saja dia kenal beberapa hari yang lalu. Niatnya hanya setengah jam saja, ternyata dia malah kebablasan hingga pukul setengah empat. dia berlari-lari kecil sepanjang jalan, nafasnya terengah-engah, rasanya seperti kembali ke masa sebelum kuliah: larilah sebelum terlambat dan dihukum.

Bajunya basah oleh keringat, dia menapaki anak tangga dengan susah payah. Dari situ dia bisa melihat pintu kelasnya masih terbuka, Dosen belum datang! Anak-anak masih duduk bergerombol dengan santai di koridor, mereka cepat akrab satus sama lain. Ada beberapa yang masih menyendiri, jenis anak seperti ini biasanya menunggu disapa lebih dulu, bukan tidak mau berinteraksi biasanya lebih pemalu saja dibandingkan anak-anak yang lain.

Nisa jalan lebih santai dari sebelumnya meskipun jantungnya masih memompa darah begitu kencang. Pak Sigit muncul dari tangga sebelah selatan, anak-anak berkerumun dibelakangnya, menunggu pintu dibukakan.

"Nisaaa!"

Nisa menoleh, dia masih di ambang pintu kelas, hanya beberapa meter dari situ Lisa berdiri di koridor timur sambil melambaikan tangan kepadanya. Lisa, teman satu kelompok Nisa sewaktu OSPEK di fakultas. Lisa tergolong anak yang ramah dan mudah bergaul sedangkan Nisa tipe yang cenderung tertutup pada orang baru, lebih banyak diam tepatnya. Lisa orang pertama yang menegur Nisa di hari pertama OSPEK. Hanya sebentar saja mengobrol pembicaraan mereka sudah mengalir ke sana kemari dan ternyata mereka berdua dulu pernah bersekolah di sekolah yang sama. Hanya saja saking banyaknya murid di sana mereka baru saling mengenal satu sama lain.

"Hei Lis! Lama nggak ketemu ya!" Nisa sedikit menaikkan volume suaranya, maklumlah suara dia memang kecil, kadang-kadang malah bicaranya seperti orang kumur-kumur.

"Iya. Gimana lagi, kelas kita gag pernah ada jadwal bareng, sih. Gimana kamu? Kuliah apa sekarang?" Lisa berbicara sambil menyandarkan diri ke tiang koridor.

"Kewarganegaraan, Lis." Nisa menunjuk ke arah pintu, mencoba memberi isyarat kepada Lisa bahwa kelas sudah akan dimulai. Nisa berharap Lisa bisa maklum dengan keadaannya sehingga mereka tidak perlu mengobrol lama-lama, apalagi Nisa ingat betul ancaman pak Sigit dipertemuan pertama, "Yang masuk setelah saya, silahkan tutup pintu dari luar." Dosennya tegas amat! Setegas kumis dan jambangnya yang tercukur dengan rapi seperti bintang-bintang iklan obat penumbuh bulu masa kini.

Lisa mengikuti isyarat Nisa, dia juga menunjuk-nunjuk ke arah pintu. Mulutnya terbuka tapi tak bersuara. Nisa mengernyitkan dahi. Dari gerakan mulutnya, Lisa seperti sedang memperingatkan sesuatu. Ituu! Ituuu!

Cekrek! Nisa membalikkan tubuhnya. Pak Sigit rupanya sedang mengunci pintu.

"Pak, tolong pak, Saya sudah di sini dari tadi!" Nisa, mengetuk-ngetuk pintu kelas tapi pak Sigit hanya melirik padanya sebentar tanpa menggubrisnya.

Ugh! Apaan, sih? Aku kan sudah berdiri di depan kelas. Kenapa juga tidak menyuruhku masuk saja? Apa susahnya, sih? Emang deh, bapaknya rese! Berapa kali pun Nisa mengomel tetap saja pintu itu tidak akan terbuka tanpa mantra ajaib yang diucapkan pak Sigit. Tiba-tiba kata-kata pak Sigit terngingang-ngiang di telinganya: "Yang masuk setelah saya, silahkan tutup pintu dari luar."

Nisa masih saja kesal, sedangkan di sebelah sana Lisa geli menertawakan ekspresi bloon temannya itu saat melihat pak Sigit mengunci pintu tadi.

***

"Hahahaha, aduh kamu itu ada-ada aja" Suara tawa renyah dari laptop Nisa pecah setelah Nisa bercerita tentang kejadian sore tadi.

"Bukan aku koq, dosennya aja yang rese, Uh" Nisa memonyongkan bibirnya. Sebenarnya kesalnya sudah hilang saat Haidar mengirimkannya SMS tak lama setelah kejadian lucu tadi sore, mengajaknya untuk videocall dengan skype.

"Aku masih gag habis pikir sih, Nis" Haidar masih tertawa kecil. Di belakangnya nampak kamar berwarna hijau dengan beberapa baju yang digantung pada paku yang menancap di dinding papan. Haidar mengenakan baju koko coklat yang hampir mirip dengan warna kulitnya. Dia membetulkan sandarannya agar lebih tegap. Tangannya memegang mic dari headset dan mendekatkannya ke mulut.

"Nis, Suaraku jelas, kan?"

"Iya, jelas banget. Jelas banget kalau kamu sedang kelelahan". Nisa tersenyum.

"Iyakah? Sebenarnya tadi aku agak kerepotan. Jadwal mengajar hari ini cukup padat ditambah ada persiapan Porseni, jadi aku belum istirahat dari tadi." Haidar kembali ke posisi semula, bersandar pada kursi. Otot-ototnya terasa lebih rileks.

"Wah, kalau begitu kamu butuh istirahat, dar."

"Nanti aja Nis, Kan kita baru sebentar ngobrolnya. Eh, Nis, kapan yang kita bisa ketemu?"

Nisa tertawa lagi

"Lah, ini udah. Kalau mau yang beneran, kamu main lah ke Jogja. Heheh."

"Iya, nanti, Nis. Insya Allah. Oiya, mohon doanya ya. Aku lagi apply untuk kuliah di Brunei."

"Wah, tambah jauh donk kita?"

"Iya juga ya? Kan bisa skype-an? Hahaha"

"Katanya mau ketemu ...?" Nisa memasang muka cemberut. Dia sebenarnya sudah tau kalau Haidar akan mendaftar kuliah ke luar negeri, Haidar menunda kuliah setahun untuk persiapan ke sana sambil mengajar di madrasah Al-Hikmah, Pasuruan. Memang sudah setahun yang lalu kenalan tapi mereka belum pernah bertemu karena meskipun satu almamater, jarak sekolah putri dan putra berjauhan. Nisa pernah tiga kali ke sekolah putra tapi selalu saja Haidar sedang tidak ada di sana.

"Lah koq cemberut? Harusnya kan aku di doain? Hahah" Haidar protes.

"Iya pak guru, aku doain kamu terus koq, di sepertiga malam, di waktu dhuha, setelah sholat, mau masuk kamar mandi juga..."

"Hahahah, dasar. Ngapain aku di doain pas masuk kamar mandi? Emang setan?"

"Hahahah."

Malam itu mereka hanya ngobrol setengah jam, tapi rasanya lebih lama dari itu. Mereka bernostalgia menjelajahi waktu beberapa tahun lalu, mengenang dan berbagi cerita tentang sekolah mereka dulu. Lima tahun yang berharga.

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang