"Nis, sini deh", panggil Faza. Nisa bangkit dari tempatnya duduk semula dan berpindah di kursi yang sudah dipilihkan Faza. Anak-anak biasa menunggu dosen, duduk bersila di koridor sambil bercengkrama tentang apa saja mulai dari masalah politik, matakuliah kalkulus yang katanya paling sulit sedunia sampai gosip artis terkini bahkan ke hal-hal yang paling tidak penting seperti mengomentari mahasiswa atau mahasiswi yang lewat di depan mereka.
Panas seperti biasa, kursi Nisa diapit oleh Faza dan Azam. Nisa mengeluarkan buku tulis tipis untuk dijadikan kipas darurat.
"Apaan?", tanya Nisa.
Azam membetulkan letak kacamatanya yang sebenarnya masih baik-baik saja.
"Jadi gini nis, dari tadi aku sama Azam ini ngobrolin uang SPP kita larinya ke mana ya?", katanya.
"Maksudnya?"
"Gini, Nis kamu kan anak organisasi, kamu bisa kan ngajakin anak-anak BEM untuk demo?". Gaya bicara Faza nampak meyakinkan bak CEO kawakan yang pandai meyakinkan calon investor.
"Wait, wait... Koq tiba tiba?"
"Iya Nis. Kamu tau kan biaya SPP kita itu muaahalnya minta ampun? Kenapa fasilitas kampus kita cuma gini-gini aja ya, Nis? Harusnya ada AC, kursinya bukan kursi kayu, dan untuk keamaan mesti ada CCTV. Bayangin aja Nis. Satu orang mahasiswa membayar SPP berapa? Kita aja seangkatan ada 300an mahasiswa. Berapa banyak uang yang terkumpul di jurusan kita, sedangkan kita tidak bisa menikmati fasilitas yang memadai."
Nisa sedikit kagum dengan dua orang temannya itu, tidak biasanya hal seperti ini menjadi pembahasan mereka. Memang untuk saat ini seluruh keuangan jurusan dialihkan untuk pembangunan laboratorium dan melengkapi fasilitasnya, untuk urusan mempernyaman kelas jadi nomor dua, bukan berarti tidak ditindaklanjuti hanya saja prosesnya bertahap tidak langsung menyeluruh. Tidak semua mahasiswa tahu informasi seperti ini, hanya beberapa saja, itupun karena bergabung di organisasi eksternal kampus yang rata-rata pengurusnya bergelut di Badan Eksekutif Mahasiswa. Bagi Nisa alasan pengurus jurusan masih masuk akal, laboratorium sangat penting untuk mahasiswa TI. Ya wajar sih. Nisa mencoba menjelaskan kepada kedua temannya itu.
"Tapi gini nih Nis. Kita ini kuliah jurusan TI, emang sih, sekarang kita belum ada apa-apanya, tapi beberapa tahun kemudian waktu kita dapet kerja, kita kerjanya di tempat ber-AC bayangin deh kalau dari sekarang kita tidak dibiasakan untuk pake AC??" Faza bergantian menatap Azam dan Nisa. Serius.
"Bisa masuk angin!" Azam menimpali.
"Hahahah!" Mereka bertiga serempak tertawa. Tidak lucu sih, hanya sekedar obrolan siang yang tidak berfaedah sama sekali. Padahal ada banyak mahasiswa TI yang ternyata "salah jurusan". Ada yang masuk karena disuruh orang tua, ada yang masuk karena sudah memprediksi bahwa jurusan teknik informatika akan sangat dibutuhkan di masa sekarang dan nanti, ada juga yang salah ekspektasi tentang jurusan ini, seperti Nisa. Dia pikir kuliah di teknik informatika sangat cocok untuk mengembangkan hobi menggambarnya. Alih-alih ketemu dengan desain, malah harus berjodoh dengan kalkulus dan statistik. Begitu juga Azam yang sejak pertama kali bertemu jelas sekali kelihatan kalau Azam punya bakat dan minat dalam bidang musik. Sedangkan Faza mungkin lebih cocok di jurusan Ekonomi atau bisa juga peternakan, yang bisa menunjang bisnis keluarganya sebagai juragan sapi terkenal di Kalimantan.
Dosen masih belum muncul juga. Anak laki-laki mondar-mandir sambil sesekali melirik ke lantai satu, di bagian akademik, siapa tau bapaknya sudah datang.
"Palingan dosennya absen lagi," kata Faza.
"Yes! Alhamdulillah kalau kosong" Nisa mengangkat tangannya seperti suporter bola yang melihat jagoannya mencetak gol di detik-detik terakhir. Belakangan Nisa banyak begadang. Dia merindukan tidur siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG
RomanceKarena Dia Maha Tahu ke mana hati kelak berlabuh (God Knows Everythings, and I know nothing )