Tahun ke Lima

360 6 2
                                    

Gedung Sudan, Libanon, dan Libya. Ada sekitar tiga ratus anak yang mengisi seluruh kelas di gedung itu. Letaknya di bagian paling timur dan berderet satu barisan dengan jarak kurang lebih satu setengah meter saja. Di depan gedung hanya tanah lapang yang ditumbuhi rumput liar yang tidak begitu tinggi. Tepat di tengah tumbuh dua pohon mangga yang mengapit jalan setapak yang terhubung dengan jalan menuju asrama, satu-satunya spot yang menyejukkan di sekitar situ.

Murid-murid berhamburan dari kelas. Jilbab putih mereka nampak lebih cerah ketika di luar kelas, kecuali mungkin jilbab anak kelas satu yang kelihatan agak butek. Maklumlah, mereka baru saja membiasakan diri untuk mengurus diri sendiri termasuk dalam hal mencuci pakaian. Murid-murid kelas tinggi setingkat SMA lebih senang jalan berkelompok, bahkan ada yang berjejer empat sampai lima orang, membuat guru-guru harus membunyikan bel sepeda berkali-kali hingga mereka berpencar dan jalan kembali lapang.

Kamis yang melelahkan, untung saja matahari tidak terlalu terik, beberapa awan tebal nampak berkumpul di atas langit, semacam pertemuan untuk menyambut hujan. Nisa berjalan pelan menuju ke kamarnya, dia sengaja keluar paling akhir setelah guru-guru dan, tentu saja, murid-murid yang lain. Menikmati jalanan yang sepi dengan suasana adem sedikit mengobati rasa capek setelah mengajar seharian penuh. Sebenarnya, hari kamis justru hari paling santai untuk Nisa. Hanya ada satu jadwal mengajar di jam pertama, setelah itu dia benar-benar free ditambah besoknya adalah hari libur. Biasanya dia sudah berada di tempat lain ketika siang datang, entah di warnet sekedar mengecek beberapa pesan di facebooknya sambil berselancar di dunia maya atau ke pasar sambil berwisata kuliner dengan aneka jajanan pasar( yang sebenarnya biasa saja tapi entah mengapa bagi anak pondok makanan tersebut sekelas dengan makanan resto). Kali ini sedikit berbeda, mau tidak mau Nisa harus menerima hukuman karena terlambat mengajar minggu sebelumnya. Dia ketiduran dan muncul di saat-saat terakhir menjelang bel, sialnya saat itu guru-guru senior sedang sidak.

"Nis!" Nida, dari belakang menyapa sambil mengendarai sepeda. Alfun Nida Khoiru, perawakannya tidak begitu jauh dengan Nisa, hanya lebih tinggi beberapa sentimeter. Sosoknya periang, kadang gokil, dan nekat. Awalnya Nisa benar-benar tidak menyangka bahwa dia adalah putri dari pimpinan sekolah. Low profile!

"Hai, Nid! Keif hal?"

"Alhamdulillah bil khoir. Lama nggak main ke kamar mu ya? Nanti main ke tempatku ya? Terus kita ngenet" Nida melirik Nisa.

"Hmm.. Boleh juga, tapi sebentar aja ya? Sore ini kita ada kuliah kan?" Di tempat Nisa mengajar, para guru memang tidak digaji, tapi mereka diberi kesempatan untuk kuliah gratis dibawah bimbingan para dosen lulusan luar negeri yang selalu membuat Nisa terkagum-kagum dengan cerita inspiratif mereka, tak heran jika Nisa memimpikan hal yang sama: kuliah di luar negeri.

"Oke deh bu guru!" 

Nida berlalu meninggalkan Nisa. Tak lama kemudian suara adzan berkumandang. Para murid berhamburan dari asrama menuju ke masjid mengenakan mukena putih. Beberapa guru-guru senior nampak serius mengawasi anak-anak agar tidak ada satupun yang terlambat ke masjid. Di setiap sudut masjid, siswi pengurus organisasi pelajar telah siap menyambut kedatangan adik-adik kelas mereka. Tak jarang mereka meneriakkan hitungan agar para siswa mempercepat langkahnya, tanda waktu sholat sebentar lagi akan dimulai. Paling terakhir, satu-dua orang siswi tergopoh-gopoh memasuki masjid. Beruntungnya si senior tidak memperhatikan mereka karena sedang sibuk merapikan shaf sholat. Suatu kebahagiaan sederhana untuk anak-anak itu. Para guru biasanya memilih untuk shalat Dzhuhur di ruangan masing-masing. 

***

"Hi! Salam kenal! Aku Haidar, temannya Razy. Aku boleh add kamu jadi teman aku gag?"

Nisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Yakin? Baru kali ini dia mendapatkan pesan Facebook bernada aneh seperti ini, tidak biasanya ada orang mau menambahkan teman di Facebook tapi malah izin terlebih dahulu. Nisa tersenyum geli. Rasa bosannya hilang seketika setelah setengah jam hanya terduduk di depan laptop. Tak ada email penting, jadi ia hanya membaca beberapa artikel di laman internet. Nida nampaknya sedang khusyuk sendiri dengan laptopnya, entah apa yang dia liat.

Nisa segera mengirim pesan kepada Razy yang sedang online juga. Razy adalah teman Nisa. Mereka berkenalan saat masih kelas 1 SMA melalui seorang teman. Mereka memang jarang bertemu, tapi Nisa menganggapnya teman dekat karena Razy satu-satunya teman cowok seangkatan yang dia kenal dari  sekolahnya. Jarang ada murid putra dan putri yang saling mengenal, kalau pun ada itu mungkin karena pernah bertemu dalam ajang lomba atau melalui perantara teman ke teman.

"Zy, ini beneran teman kamu?" Nisa memulai percakapan dengan mengirim foto Haidar.

"Iya, Nis. Ini orangnya di sebelah aku. Mau aku salamin po?"

"Dasar! Kerjaan kamu ya ini?"

"Nggak koq, dia sendiri yang pengen temenan sama kamu?"

"Anaknya baik, kan?"

"Baik koq, cuma ya rada freak"

"Freak gimana maksudnya?"

Ping! Sebuah pesan baru masuk lagi ke percakapan Nisa, rupanya si Haidar.

"Lagi ngegosipin aku ya? Hahah." Nisa memerah. "Gimana? Aku gag bohong,kan? Aku temannya Razy dan sekarang aku mau mendaftar jadi temanmu, boleh?"

"Y" Nisa membalas singkat.

Sebuah notifikasi baru nampak di layar kaca. Nisa menggerakkan mousenya. Tanpa pikir panjang kursor dia arahkan ke tombol add. Klik! 

"Anda telah menambahkan teman baru!" Tulis Haidar lagi.

***

Setahun yang lalu...

"Nis, Nis!" Icha berbisik memanggil Nisa. Nisa menoleh, mengernyitkan dahi, memberi isyarat agar sebaiknya mereka memperhatikan pembicara yang ada di depan atau para guru akan menegur mereka. Icha tidak menggubris malah mengeluarkan sebuah buku kecil berukuran A5. Dari sampulnya saja sudah ketahuan kalau itu adalah buku yang diproduksi di internal sekolah mereka.

" Si Razy! Ini buku dia!" Icha berbisik lagi sambil menyerahkan buku itu kepada Nisa. 

Nisa sedikit takjub. Memang sudah biasa, di sekolah mereka dididik untuk memiliki kepernahan. Pernah menulis suatu buku meskipun masih abal-abal karena dicetak di tempat foto-copyan sekolah dengan sampul ala kadarnya dan hanya didistribusikan di dalam sekolah juga merupakan pengalaman yang cukup berkesan. Nisa dan Razy sama-sama pernah aktif di kelompok jurnalistik sekolah, putri dan putra tapi Nisa merasa ketinggalan satu langkah dari Razy karena buku ini. 

Antologi Puisi. Nisa membacanya sambil tersenyum, tentu saja karya Razy yang dibuka pertama kali. Bagus. Nampaknya satu anak dijatah untuk menulis dua atau tiga puisi. Beberapa halaman dihiasi dengan gambar ilustrasi coretan tangan yang  sepertinya dibuat oleh mereka juga. Nisa cekikikan saat melihat beberapa halaman terakhir yang berisi foto-foto penulis. Razy bergaya candid sok keren yang jauh dari image dia selama ini di mata Nisa. Rupanya bisa narsis juga dia!

 Nisa membolak-balik halaman buku itu, asik sendiri.

 "Haidar..." Nisa terhenti pada satu nama saat membaca daftar penulis. "Haidar?" Nama yang jarang Nisa dengar. Dia kembali ke halaman puisi dan membaca beberapa puisi Haidar. Ada tiga puisi yang dia tulis, dua puisi panjang dan satu lagi puisi pendek terdiri dari empat baris saja. "Haidar..." Gumam Nisa lagi. Sekarang dia melihat ulang halaman foto, menebak-nebak seperti apa pemilik nama Haidar itu.

"Psst.. psst!" Icha berbisik lagi, agak lebih nyaring dari sebelumnya. Nisa menoleh.

"Sudah?" Nisa mengancungkan jempol sambil menyerahkan buku itu. "Keren!" Katanya, dibalas kedipan mata oleh Icha dan dehem kecil dari guru yang mendapati mereka. Mereka berdua langsung membetulkan posisi dan memperhatikan pembicara meskipun sebenarnya pikiran mereka kemana-mana. Icha ingin segera istirahat dan jajan, Nisa masih mengingat-ingat nama itu.

Haidar... Aku suka namamu...  



PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang