Berhenti bercerita. Waktunya merawat tembok!

75 14 4
                                    

Wow, keren sekali kisah masa lalumu paman! Bisa kau ceritakan ulang? Atau mungkin kau memiliki kisah-kisah lainnya?

Setidaknya, respon seperti itulah yang aku ekspektasikan. Tapi, lihatlah apa yang aku dapat. Ketika aku selesai bercerita. Hening. Suara jangkrik terbayang di kepalaku. Bisa jadi di kepala anak-anak ini juga. Seperti, "krik-krik, krik-krik", yang menandakan bahwa cerita itu tidak lucu, tidak menarik, tidak seru, tidak, tidak, dan tidak.

"Kisah apa itu!", teriak seorang anak tanpa permisi. Uh, apakah dia tidak diajari sopan santun oleh orang tuanya? Bukannya seharusnya mengangkat tangan terlebih dahulu, setelah dipersilahkan, baru mulai berbicara. Aku saja sudah mengerti tata krama seperti itu sejak aku seumuran mereka.

Setelah anak itu berbicara. Beberapa anak lain juga ikut berteriak seraya merendahkan ceritaku. Ya benar! kisah apa itu! kisah yang membosankan! kami minta kau bacakan kisah baru! Ah. Mereka tidak tahu saja susahnya bercerita. Susahnya berbicara di depan orang banyak. Apalagi merangkai kata menjadi kalimat yang menarik. Aku memang tidak berbakat di bidang ini.

Aku menghiraukan saja celotehan-celotehan itu. Mencoba memfokuskan pendengaranku pada suara hujan diluar. Diluar sedang hujan. Tidak terlalu deras juga tidak terlalu gerimis. Kadang terdengar suara hentakan kaki kuda dengan frekuensi yang cukup besar. Kereta kuda, mungkin. Karena kereta kuda biasanya memiliki dua kuda. Apa yang dilakukan orang itu ya? Sudah tahu hujan masih berpergian. Pastinya itu sangat mendesak dan terburu-buru. Aku berdoa untuk keselamatan orang itu.

Tapi, ada satu yang celotehan yang mengena. "Kembalikan Merlin pada kami!", itu membuatku berfikir.

Hei Merlin, apa yang sedang kau lakukan saat ini? Aku harap kau baik-baik saja. Mengingat dirimu yang sudah berumur, apakah perjalanan ke Kerajaan Rathir tidak terlalu berat untukmu? Dan lagi, kau pun tak tahu kapan akan kembali. Disini, sebagai imbasnya aku lah yang harus mengurus anak-anak ini. Atau harus kubilang murid-muridmu.

Kau sangat menyayangi anak-anak. Kau menjadikan rumahmu sendiri yang tidak terlalu besar ini sebagai tempatmu mengajar. Meski tidak banyak juga murid yang kau didik. Kau tetap melakukannya dengan semangat masa muda-meski dirimu sebaliknya-yang tak habis.

Kau mengajari anak-anak nama benda, syair-syair, kedisiplinan, budi pekerti yang baik. Dan tidak sepertiku, kau sangat pintar mendongeng. Karena kelihaianmu mendongeng itulah anak-anak menyukaimu. Kau memberikan secercah cahaya dalam masa depan mereka. Dan sekarang Merlin, sudah seperempat tahun kau meninggalkanku dan anak-anak ini. Aku juga yang harus mengurus anak-anak ini. Lihat, aku bercerita saja tidak bisa, apalagi mengajar.

Hey, tapi sebenarnya aku bisa menarik perhatian anak-anak dengan kemampuanku. Huh, sayangnya Merlin tidak memperbolehkan aku menggunakan kemampuanku. Dia bilang itu berbahaya bagi anak-anak.

Satu jam yang memusingkan kepala berlalu. Anak-anak itu masih saja merengek meminta Merlin. Aku sudah berkali-kali mencoba menenangkan mereka.

Ah, persetan dengan omongan Merlin. Aku lelah dengan anak-anak ini. Kugunakan saja kemampuanku. Akan kubuat tidak seberbahaya mungkin.

Eh, tapi tunggu. Untung saja aku belum sampai menggunakan kemampuanku. Atau kalau tidak, dia mungkin bakal mengusirku dari rumahnya ini. Jika dia mengusirku, aku tinggal dimana? di kolong jembatan? atau di tempat sampah? Uh, jangan sampai jangan sampai. Aku sudah pernah kehilangan rumah. Jangan sampai aku kehilangan lagi kali ini.

Terdengar ketukan di pintu. Yang tentu saja membuat anak-anak ini langsung meninggalkan kegiatannya masing-masing dan berhamburan menuju ke pintu. Mengepung pintu, seakan siap menghadang siapapun yang keluar-atau mungkin lebih tepatnya masuk.

♦The Jewel of Justice ☮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang