Tanggal. . . Oi! Ada yang bisa memberitahuku sekarang tanggal berapa?!

58 7 21
                                    

Masih soal hukumanku. Aku berhasil mendapatkan Batu Ances. Tetapi ...

Tubuh berdarah-darah itu terkapar di bawahku. Aku berdiri di atas dadanya yang besar itu sambil terengah-engah. Tubuhnya sangat besar. Tinggiku hanya setara dengan kepalanya—dari dagu hingga ubun-ubun.

Sejam yang lalu. Kulitnya biru, diselimuti oleh rambut putih yang lebat. Rambut itu menyelimuti seluruh tubuhnya kecuali wajah, telapak tangan dan kaki. Sekarang, tubuh perkasa itu terkapar. Aku mengalahkannya. Aku mengalahkan Ances Yeti yang tersohor itu. Bagaimana bisa? Aku masih bingung pada diriku sendiri.

Tapi lihatlah sisi baiknya. Aku sebentar lagi akan mendapatkan Batu Ances itu.

Akan kucongkel keluar batu itu. Dan aku akan kembali tepat waktu ke Menara . . . Aku tidak yakin aku akan kembali tepat waktu. Semua pil penyembuhanku telah kumakan selama pertarungan. Pertarungannya sangat mematikan tau.

Dan kini, aku masih lebam-lebam. Tenagaku terkuras. Nafasku tersengal. Aku bahkan tidak yakin aku akan mencongkel batu itu. Bisa jadi aku akan pingsan setelah ini.

Kumencoba mengangkat pedangku. Dan mulai menusukkannya ke dada Ances Yeti—dengan kekuatan yang kurasa adalah terakhir, tapi kuharap bukan. Batu itu ada di dalam  dadanya.

Aku terus melakukannya selama beberapa menit kedepan.

Akhirnya. Sebuah kilau tampak.

Tapi, tunggu.

Itu kilau yang tak wajar. Jika kilau biasanya berwarna terang, putih, kuning. Cahaya.

Ini berbeda. Ini gelap. Paling gelap yang pernah kulihat. Kilaunya gelap.

Dan ketika aku masih terpaku dengan kilau anehnya. Saat itulah aku menyadari. Bahwa ini adalah kutukan yang sebenarnya. Bahkan kutukan Cycroch tidak ada apa-apanya.

Kutukan yang sejati.

***

Aku menunggang Sleipnir selama kurang lebih sejam—itu cepat sekali ketimbang berjalan kaki.

Sleipnir begitu antusias. Aku bisa merasakan kegembiraannya merembes kedalam hatiku. Seketika hatiku menjadi tenang. Dingin dan sejuk. Memberikanku bayang-bayangan positif tentang apa yang akan aku hadapi.

Beberapa kali otakku yang realistis menolak, "jelas-jelas aku akan melawan Ances Yeti. Apa yang kuharapkan? Jamuan darinya? Diterima sebagai tamu? Lucu sekali." Tetapi, hati jelas lebih kuat dari otak. Kekuatan perasaan. Jika hatimu sejuk, begitu pula otak. Dan jika otakmu sejuk, begitu pula tubuh fisikmu.

Memang, otak bisa mengubah apapun di tubuh. Asal yakin. Tetapi, kita kadang kurang menyadari. Bahwa hati—kekuatan perasaan—lebih kuat daripada otak. Hati bisa mengubah apa yang terjadi di otakmu. Percayalah apa kata hati.

Ceritanya jadi bijak nih? Ga cocok ah! Ganti-ganti! Eh, eh. Jangan diganti dong! Ya ampun, anak jaman sekarang udah pada ga suka quote-quote bijak ya. Semua itu sudah ga penting gitu bagi mereka. Huh. Dasar anak jaman sekarang. Untung aku anak masa lalu—masih belum melupakan dan masih penasaran dengan bapak sendiri.

Perjalanan berlangsung cukup baik. Iya, cukup baik. Karena, kami juga mengalami sedikit masalah tetapi Sleipnir bisa mengatasinya.

Sleipnir terbang diatas Kerajaan Adessa. Menuju Pegunungan Megatera. Sesekali aku menengok ke bawah. Sore begini, biasanya banyak anak-anak berlarian. Bermain menikmati masa kecilnya. Ada orang tuanya menjaga dari kejauhan, membiarkan anaknya bermain sendiri bersama teman-teman. Ada orang tua yang bermain bersama anaknya. Dan ada orang tua yang bermain bersama anaknya, dan bersama teman anaknya. Mereka bermain di taman, air mancur, atau jalan-jalan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

♦The Jewel of Justice ☮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang