Satu

33.3K 1.6K 22
                                    


Cuaca sedang gelisah. Langit kehilangan warna biru dan berganti menjadi abu-abu.

Mendung menggantungkan langkahku. Sudah sekitar dua puluh menit, aku hanya menikmati pemandangan langit yang seakan menyimpan berjuta kesedihan dan kebimbangan di sana. Begitu sulitkah awan menjatuhkan kumpulan airnya?

Jalanan di depan universitas dengan dominasi warna biru ini telah dipenuhi oleh berbuah-buah kendaraan, baik beroda dua maupun beroda empat. Kemacetan membuat roda-roda itu berputar seperti sedang merayap. Sambil menyeruput secangkir kopi yang tersaji, aku berusaha untuk tetap menikmati detik-detik membosankan ini.

"Masih gak berani nerobos jalanan, Sher?" Suara Arina menghentikan lamunanku. Dia telah meraih posisi duduk. Menghalangi langsung sebagian pemandangan kemacetan itu.

"Aku gak bawa jaket. Apalagi jas hujan." Jelasku sambil kembali menyeruput secangkir minuman paling mahir dalam memperbaiki suasana hatiku.

"Ya udah, pulang bareng kita aja." Kini, giliran Arini yang turut bergabung dan mengambil posisi duduk tepat di samping saudara kembarnya itu.

Arina dan Arini, dua orang anak perempuan dari sepasang saudagar kaya raya yang menggeluti bisnis di bidang kuliner. Mereka adalah sahabatku. Persahabatan kami terjalin sejak masa sekolah menengah atas. Arina dan Arini, keduanya merupakan keajaiban yang membuatku mampu bersikap lebih terbuka dan lebih ramah. Aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mengalami kesulitan dalam bergaul. Hanya Arina dan Arini yang bisa menyederhanakan kerumitanku itu. Mereka sangat menyenangkan, perhatian, dan tentunya memiliki kepribadian yang selalu bisa memposisikan diri secara tepat. Jadi, tentu saja ada kalanya mereka menyebalkan.

"Gak mungkin motornya aku tinggal gitu aja. Lima menit lagi, deh. Kalian bisa pulang duluan." Aku tidak ingin merepotkan dua orang gadis yang sangat identik kecantikannya. Terlebih ketika mengingat arah rumah kami yang berlawanan, bahkan memakan jarak yang tidak dekat itu.

"Jangan ngerasa gak enakan gitu, Sher. Kamu bisa gatel-gatel kalau nanti tiba-tiba hujan di tengah jalan. Motor dijamin aman. Kita bisa minta tolong Pak Aji buat ngambil motor, kalau emang kamu enggak mau kita antar sampai ke rumah. Nah, kamu bisa ikut ke rumah kita dulu. Setelah benar-benar gak mendung lagi dan itu motor udah sampe rumah, kamu bisa pulang." Arina seakan telah memikirkan matang-matang penawarannya kali ini. Rincian alur dari penawaran itu sangat runtut dan juga terdengar meyakinkan.

"Enggak, deh. Kayaknya masih lama hujannya. Aku balik sekarang aja."

Arini dan Arina memang benar. Sedari tadi, alasan yang membuatku tidak kunjung beranjak dari kantin adalah ketakutanku pada kemungkinan turunnya hujan secara tiba-tiba. Aku tidak ingin membiarkan rintiknya menyentuh kulitku. Aku memiliki alergi apabila terkena hujan. Tetes air hujan dengan mudahnya akan mengakibatkan kulit tubuhku terasa gatal dan memerah. Sebelum kembali mendengarkan tawaran dari dua orang saudara kembar itu, aku segera berdiri dari duduk dan meraih tas ransel kecil berwarna hitam.

"See you tomorrow." Pamitku. Arina dan Arini menanggapi dengan gelengan kepala secara kompak ketika melihat aku melambaikan tangan ke arah mereka sambil berjalan menuju parkiran.

Aku menarik nafas panjang sebelum mengenakan helm berwarna putih ini. Di dalam hati, aku telah memanjatkan doa agar cuaca bersedia untuk bersahabat. Setidaknya, persahabatan kami bisa terjalin hingga nanti aku tiba dengan selamat di rumah. Semoga saja awan masih ingin berlama-lama menampung kumpulan airnya. Setelah beberapa saat yang lalu aku hanya menjadi pengamat kemacetan, sekarang gilirannya untuk ikut pula bergabung melatih ketabahan.

Gemuruh semakin terdengar saat motorku mulai bisa melaju dengan kecepatan rata-rata harian mengemudi para perempuan pada umumnya. Kemacetan memang semakin surut, namun aku semakin was-was, harap-harap cemas terhadap hujan yang bisa kapan saja jatuh dari langit itu.

Cinta dalam Tunggu [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang