Dua Puluh Satu

5.4K 728 41
                                    

"Kamu hari ini selesai jam berapa kuliahnya?"

"Hape kamu dipastiin full charge, ya."

"Kalau ada orang yang mencurigakan gerak-geriknya langsung hubungi aku."

"Ini juga ada pepper sprey. Setiap ada yang ngebuat kamu terancam jangan sungkan semprot aja dianya."

"Apa aku harus ikut masuk ke kelas kamu aja? Dosen kamu gak akan curiga, kan?"

Gaza berulang kali berbicara tanpa henti saat kami hampir mencapai kampusku. Bertubi-tubi, dia menyuarakan segala bentuk kekhawatiran.

"Kamu kenapa, sih?" Tanyaku kebingungan.

"Temen aku ada yang dijailin sama orang asing. Pokoknya serem deh. Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa." Aku spontan saja tertawa mendengar penjelasan Gaza. Dia berlebihan.

"Ini serius, Shera. Dunia ini enggak aman." Gaza yang tampak gelisah itu memandangiku lekat.

"Iya iya, makasih yah udah seperhatian ini sama aku." Balasku santai.

"Jadi, kamu harus.."

"Itu Arina!" Aku berteriak kegirangan saat melihat Arina berjalan keluar dari mobilnya. Akhirnya, telingaku bisa lepas dari segala omongan panjang lebar Gaza.

"Inget pesan aku, ya. Begitu kamu selesai kelas langsung telpon aku." Aku hanya mengangguk sambil kembali meraih tas yang aku letakkan di kursi belakang.

"Beneran, ya. Kamu harus hati-hati." Gaza tiba-tiba saja membawaku ke dalam pelukannya. Ini merupakan salah satu sisi manis Gaza, sikap yang penuh perhatian.

"Aku bakal baik-baik aja. Kan kamu juga sering bilang, jangan suka berpikiran negatif. Everything will be okay." Aku mengusap pelan punggung Gaza, bergantian mengalirkan ketenangan untuknya.

"Aku masuk dulu, ya. Kamu harus tetap fokus kerja." Aku terlebih dahulu menarik tubuhku, karena Gaza terlihat sangat enggan melepaskan pelukannya.

Gaza hanya mengangguk pelan sebelum aku bergabung dengan Arina dan Arini.

"Udah berapa kali berantem kalian?" Arini menyambut kedatanganku dengan pertanyaan aneh.

"Kayaknya belum sama sekali." Aku dan Gaza hanya terlibat dalam beberapa perdebatan kecil. Kami hanya saling beradu argumen ataupun sekadar berpendapat. Itu pun dilakukan untuk mencari jalan keluar, maka aku tidak pernah menganggapnya sebagai suatu pertengkaran.

"Enggak ada hal aneh yang kamu rasain dari dia kan, Sher?" Di perjalanan menaiki satu per satu anak tangga Gedung B ini, Arina ternyata juga menyuarakan rasa penasarannya.

"Barusan ada. Dia ketakutan sendiri aku bakal kenapa-kenapa." Arina hanya berdehem mendengar perkatannku.

"Pasti dia parnoan gara-gara beritanya Andini." Arina dan Arini kompak mengira.

"Andini? Siapa?" Tanyaku cukup penasaran.

"Itu yang lagi rame di Twitter. Dia korban pelecehan seksual. Kejadiannya di kampus tetangga. Awalnya, ada mas mas yang enggak dia kenal nanyain di mana perpustakaan. Terus karena si masnya enggak ngerti-ngerti dijelasin, ya udah dibantu diantar sama si Andini itu. Eh malah dia dilecehin." Arina menjelaskan gambaran umum kejadian malang itu.

"Berawal dari permen yang ternyata mengandung bius. Inget kan dulu ortu kita suka nasehatin jangan mau terima makanan dari orang asing. Ternyata, masih berlaku buat zaman sekarang." Arini melanjutkan penjelasan saudara kembarnya.

Aku teringat pesan Ibu karena obrolan ini. "Kamu kalau lagi makan bareng temen tapi cuma berdua, siapapun dia, kalau kamu ke toilet atau ke manapun dan balik lagi, jangan minum dan makan semua yang ada di meja.". Ucapan Ibu memang terdengar berlebihan, tapi inti dari nasehat itu adalah selalu berwaspada.

Cinta dalam Tunggu [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang