Tiga Belas

6.9K 814 48
                                    

"Kamu pegang jadwal ini, Sher. Besok ruangannya pake D-14 aja. Ac terbaik ada di sana. Pokoknya layani Gaza dengan baik."

Tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain mengangguk patuh pada setiap ucapan Firman. Dua lembar kertas berisi rincian acara yang telah terjadwal rapi dan sebuah kunci ruangan menjadi teman yang menemaniku bertugas esok hari. Besok, aku harus terjebak kembali bersama Gaza sampai tiba di acara inti yang menjadikannya sebagai narasumber.

"Ih enak banget sih kerjaan kamu, Sher. Tau gitu, aku aja. Jadi dayang rela deh. Mending kamu yang jadi panitia dokum."

Arini hanya mengulangi celetukan yang sama sejak tiga hari lalu. Dia merasa melewatkan peluang besar untuk berada di dekat Gaza. Dia tidak tahu, aku tidak pernah merasa seberuntung yang ia bayangkan. Jika saja bisa melakukan hal sesuka hati, aku sangat ingin untuk melarikan diri sekarang juga.

"Aku enggak pernah keberatan kita ganti tugas, Ni."

Kepergian Firman meninggalkan ruang panitia membuat aku lebih leluasa menanggapi keluhan Arini. Namun, ketiadaan Firman tergantikan oleh Arina.

"Jangan buat ulah, deh. Kasian Firmannya aku. Masa iya kalian mau nyuruh dia marah-marah lagi."

Aku dan Arini kompak memukul pelan dahi Arina. Dia semakin berlebihan dalam membicarakan Firman, padahal status hubungan mereka masih berada di sekitar area pertemanan. Keduanya hanya sedang berjalan di tempat.

"Gak sabar ih nunggu besok. Mas Gaza pasti ganteng banget. Mana suara dia kan seksi abis. Buktiin deh, pas dia ngomong besok, kamera aku enggak akan gerak sedikit pun dari mukanya."

"Iya. Iya. Terus aja ngayal. Lawan kamu itu Shera, Ni. Jangan terbang ketinggian."

Aku tentu saja kesal menanggapi ucapan Arina. Dia bersikap berlebihan tanpa mengetahui pasti kondisi hidupku semenjak kemunculan Gaza.

"Apaan? Aku enggak ada apa-apa sama Gaza." Tekanku menyakinkan.

"Gak ada apa-apa, gak ada apa-apa. Terus belakangan ini udah nempel kayak perangko sama amplop gitu kenapa? Dia sibuk gitu masih sempet aja ngantar-jemput kamu. Dan yang bikin dunia kaget sekaget-kagetnya itu, kamu mau digituin sama cowok."

Arina memang ada benarnya. Setelah tempo hari aku secara tidak langsung menyerahkan diri untuk berada dalam masa pendekatan bersama Gaza, kedekatan kami memang terbilang semakin intens. Mulai dari diantar-jemput hingga makan siang bersama. Pada kenyataannya, aku telah menjebak diri sendiri dengan berada di dekat Gaza. Hanya kepada pria itu, aku kehilangan bagian diriku yang tertutup dan cenderung mengemukakan banyak penolakan terhadap kebaikan seseorang.

Dering yang menandakan panggilan masuk, membuatku segera pamit kepada Arina dan Arini untuk mengangkat telpon. Keanehan aku belum berakhir pada penjelasan sebelumnya. Setiap kali panggilan suara atas nama Gaza tertera di layar ponsel pintarku, maka akan ada seulas senyum yang hadir di wajahku tanpa aba-aba.

"Udah selesai rapatnya?" Suara Gaza terdengar di seberang telpon. Biasanya, jika dia memulai percakapan di telpon tanpa salam pembuka dan langsung ke sebuah pertanyaan, itu membuktikan ada kesibukan yang sedang dikerjakan.

"Udah. Kamu? Masih banyak kerjaan?" Ucapku sambil melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul dua belas lebih tujuh belas menit.

"Dikit lagi. Bentar lagi saya jemput, ya. Kamu hari ini rada nunggu enggak papa?"

Aku mempelajari banyak hal dari Gaza selama kedekatan terjalin di antara kami. Yang paling mencolok adalah pelajaran dalam mengendalikan keegoisan diri. Seperti perkataan Gaza, memposisikan diri sebagai orang lain itu memang sangat diperlukan.

Cinta dalam Tunggu [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang