Dua Puluh Empat

4.8K 732 19
                                    

Udara pagi ini terbilang sejuk jika dibandingkan beberapa hari belakangan. Sepoi-sepoi angin yang masuk melalui jendela kamar itu, aku nikmati sembari membenahi lemari pakaian yang mulai terlihat berantakan. Aku tidak memiliki kegiatan di hari Minggu ini. Aku memutuskan untuk membenahi kamar tidur seharian.

"Sher, ada yang nyari." Ibu yang muncul di muka kamar tidur ini membawa berita yang membuatku mengernyitkan dahi.

"Siapa, Bu?" Gerakan mengangkat kedua bahu bersamaan adalah bahasa tubuh dari Ibu yang tengah membahasakan ketidaktahuannya.

Dengan sedikit penasaran, aku berjalan menuju ke arah ruang tamu.

Senyum Tisya menyambutku. Ternyata, seorang model internasional tengah berkunjung ke rumahku. Tentu saja prasangkaku mulai mendakwah bahwa gadis cantik ini hendak memamerkan kisah lampau di antara dia dan Gaza.

"Kamu cantik makanya Gaza mau." Aku hanya memasang wajah datar untuk pujian yang lebih terdengar sebagai sebuah ledekan itu.

"Mau minum apa? Ke sini enggak dalam masa diet, kan?" Balasku ketus.

"Enggak perlu. Beberapa hari balik ke Indonesia, berat aku naik drastis."

Ya Tuhan. Apanya yang naik? Dia bahkan terlihat lebih kurus dibandingkan sosoknya yang aku temui beberapa hari yang lalu, tanggapku di dalam hati.

"Udah berapa lama sama Gaza?" Tanya Tisya membuka kembali obrolan.

"Kamu masih kepo sama Gaza? Bukannya kamu yang terang-terangan nolak dia." Balasku menyindir secara terang-terangan.

"Aku nolaknya waktu itu. Sekarang, aku tahu, cuma Gaza yang benar-benar sayang sama aku." Aku tidak dapat menahan tawaku setelah Tisya selesai dengan kalimatnya. Sikapku kali ini benar-benar menyudutkan Tisya sehingga wajah cantiknya itu menampakkan raut kesal.

"Gaza udah enggak bisa ke mana-mana dari aku. Selamat untuk keterlambatan kamu karena udah nyia-nyiain dia." Ternyata aku bisa juga menjadi sosok antagonis saat ini. Tanggapanku kali ini dibalas dengan tawa pelan dari Tisya.

"Cincin itu, cincin yang sama yang Gaza pake ngelamar aku enggak lama ini. Aku yakin, kamu cuma dijadiin pelarian sama dia. Aku ke sini mau bilang, kalau aku dan Gaza berkemungkinan pasti untuk ada di hubungan yang sangat serius. Jadi, lebih baik buat kamu untuk siap-siap ngelepasin dia."

Aku tidak menyangka benar-benar sedang dihadapkan pada tokoh perempuan jahat yang biasanya aku temukan di dalam drama korea ataupun sinetron. Tokoh perempuan yang menjadi musuh seluruh penonton.

"Iya silakan aja. Semoga kamu berhasil." Aku segera berdiri dari dudukku ketika mendoakan sebuah keberhasilan yang sangat mustahil itu. Namun tentu saja, aku belum selesai dengan ucapanku.

"Udah tau kan pintunya ada di mana?" Tisya tidak dapat menahan amarahnya. Dia mengumpat dengan nada pelan, kemudian berjalan keluar dari rumahku.

***

"Dia ke rumah kamu?" Aku menggangguk cepat sambil menatap kedua mata Gaza dari layar ponsel pintar ini.

"Niat banget kan mantan kamu satu itu?" Sindirku.

"Terus kamu berubah jadi naga enggak? Nyemprot api? Atau jadi mbah dukun yang nyemprot air?" Gaza terdengar sedang dalam suasana hati terbaik untuk bercanda.

"Enggak segitunya sih. Mantan kamu enggak sepenting itu buat jadi lawanku." Balasku angkuh.

Gaza tertawa lepas di seberang sana. Dia memberikan kembali tawa yang sangat aku rindukan.

"Berarti udah beneran yakin kan sama aku?" Aku hanya mengangguk yakin dalam menjawab pertanyaan lelaki tampanku itu.

"Tapi Sher, aku enggak pernah ngasih dia cincin. Kamu perempuan pertama." Kali ini, dengan sangat jujur, aku meragukan perkataan Gaza.

Cinta dalam Tunggu [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang