Dua Puluh

6.2K 742 44
                                    

"Kalau ini kalung tanda maaf, emang dia pernah bikin salah apa?" Arini memulai lemparan umpan untuk memancing kejujuranku. Aku menyesali keputusan menjelaskan secara rinci asal kalung yang melingkari leherku saat ini.

"Kamu pasti lagi nyembunyiin sesuatu dari kita, kan? Pertama, kamu itu tiba-tiba aja beberapa hari terakhir ini melongo mulu. Kedua, kamu juga sempet lama banget enggak keliatan bareng Gaza." Arina semakin mendekat ke arahku.

"Itu dia! Pasti ada suatu kejadian yang bikin kalian berantem. Mending kamu cerita deh, Sher. Sebelum aku sama Arina yang jadi detektif."

Kedua sahabatku ini tidak berhenti mengajukan bertubi-tubi pertanyaan. Namun, tentu saja ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Menjelaskan kebimbangan hati Gaza kepada Arina dan Arini bisa saja membuat mereka mencurigai Gaza. Melibatkan orang lain dalam suatu hubungan hanya akan memperkeruh suasana jika sesuatu yang tidak baik terjadi. Arina dan Arini yang dibalut kecurigaan bisa saja memberikan berbagai pengaruh untuk ikut membuat aku dilanda keraguan serupa.

Tapi di sisi lain, memiliki pihak yang tidak melibatkan perasaan dapat pula membantu mempertajam keahlian logika dalam menilai sesuatu. Aku terjebak dalam situasi yang cukup sulit untuk menentukan pilihan.

"Kita ini sahabatan bukan dari kemarin, Sher. Aku sama Arini di sini cuma enggak mau kamu menyimpan semua hal yang kurang baik sendirian. Kami hafal banget gimana tertutupnya dan idealisnya kamu. Tapi, enggak selamanya menyimpan beban sendiri itu menunjukkan kamu seseorang yang kuat. Terkadang, memperlihatkan kelemahan itu adalah kekuatan yang sebenarnya. Kekuatan buat ngakuin kita ini manusia biasa yang hidupnya enggak sempurna dalam keadaan serba baik." Penjelasan Arina terdengar sangat tulus. Dia benar. Mereka berdua adalah tempat yang membuatku selalu merasa aman dalam memperlihatkan sisi terlemahku.

Aku memutuskan untuk bercerita.

"Aku sempat tahu kalau Gaza belum bisa move on dari cinta pertamanya waktu SMA. Aku ngeliat sendiri foto mereka ketemuan lagi tiga bulan yang lalu." Aku langsung mengatakan secara singkat, padat, dan jelas.

"Ya ampun. Dan kamu nerima gitu aja pemberian dari dia?" Arini sudah terpancing emosi hingga ia mengacak rambutnya sendiri.

"Sebagai wanita, kita ini harus tetap punya pertahanan. Gak ada hasilnya nerima barang ginian dari seseorang yang belum bisa move on. Kamu bisa jadi pelampiasan doang. This is just a trick." Arini melanjutkan hipotesisnya.

"Kamu enggak bisa menghakimi Shera gitu, Ni. Mana tau Gaza memang mau serius sama dia?" Arina tampak sangat jelas sedang berpihak pada Gaza.

"Astaga! Kalian kok jadi kayak cewek bego gini. Okay! Awalnya, aku percaya sama Gaza si buaya darat itu bakal bisa berubah, taubat setaubat-taubatnya. Tapi kalian gak mikir? Cinta pertama dia itu udah dari tahun kapan emangnya? Dan dari semua mantan-mantannya setelah itu, dia masih belum bisa move on. C'mon, Sher. Jangan buta-buta amat. Ini cuma tipu muslihatnya dia biar bikin kamu balik percaya gitu aja. Kamu korban selanjutnya." Arini merebahkan dirinya di atas kasurku.

"Aku juga sempat mikir sejernih itu, tapi keyakinan itu muncul aja, Ni. Aku percaya Gaza sungguh-sungguh mau ngebuang perasaannya buat cinta pertamanya itu." Aku hanya mencoba membuat Arini mengerti keputusanku.

"Ke mana Shera yang dulu mengagung-agungkan kecerdasan dalam jatuh cinta? Ke mana Shera yang dulu menentang pengkhianatan? Yang kamu lakuin sekarang cuma gali kubur sendiri buat hati kamu, Sher. Seyakin-yakinnya perasaan cinta, kamu harus tetap berpikir panjang. Jangan mau dibodohi segampang ini." Arini benar-benar sedang diselimuti amarah yang begitu besar. Berbeda dengan Arina yang menabahkanku sambil menepuk-nepuk pelan pundakku, seakan tahu bagaimana aku bisa menjadi seyakin ini kepada Gaza.

Cinta dalam Tunggu [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang