Delapan

8.2K 794 26
                                    

Kuajak kau melayang tinggi dan kuhempaskan ke bumi. Kumainkan sesuka hati lalu kau kutinggal pergi.

"Selera kuno. Ini lagu lama, Na. Tukar, deh." Aku merasa gerah sendiri mendengar Arina memutar lagu dari laptop di kamar tidurku ini.

"Lah, kok kamu yang jadi sensi, sih? Ini kan aku banget. Firman lucu diginiin. Suka marah gak jelas waktu dulu aku deket-deket ke dia. Sekarang giliran aku balas dendam." Arina benar-benar sudah kehilangan otaknya, memainkan perasaan lelaki yang dia sukai sama saja layaknya bermain dengan api, tidak menutup kemungkinan dia yang akan terbakar sendiri.

"Hati-hati aja, ditinggal beneran baru mewek. Jakarta udah darurat banjir, yang ada muncul sejarah baru banjir sampe lebaran monyet karena kamu yang patah hati." Ledekku kepada keangkuhan Arina.

Sahabatku itu sangat payah dalam persoalan patah hati. Terakhir kali, dia mengakhiri hubungan dengan pacarnya hingga membolos tujuh hari dari kegiatan perkuliahan, matanya bahkan tampak hanya segaris karena membengkak.

"Kamu pms, ya? Kayak gak bisa nanggapin becandaan aja. Lagian salah sendiri kenapa masih nyimpan lagu ini." Arina malah meninggikan volume lagu Baby Doll dari Utopia itu.

"Jahat tau nggak, Na. Mainin hati seseorang. Jangan ngasih harapan kalau kamu enggak ada niat jalin hubungan. Dulu aja ngejar-ngejar dia, eh pas udah ketangkep giliran kamu yang lari dari dia, tenaga kalian bakal habis sebelum jadian. Kamu kan tau sendiri itu laptop udah dari zaman kapan. Aku terlalu kurang kerjaan kalau sibuk ngapusin lagu-lagu lama di sana. Yah kamunya aja yang harus mikir mana yang lebih baik buat diputar." Timbalku kesal sambil mempercepat gerakan sit up-ku.

"Kamu baru aja jadi korban php cowok, ya? Makanya berasa jadi duta anti pemberi harapan palsu gini?"

Arini hanya tertawa melihat perdebatan konyol di antara aku dan saudara kembarnya. Aku terpaksa mengalah saat ini. Energiku sudah diserap oleh seven minutes workout.

Aku memilih untuk merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Sambil memandangi langit kamar, aku melayang dalam pikiranku sendiri. Kesehatan Ibu sudah membaik, begitu pula dengan Ayah. Arina dan Arini sengaja datang ke rumahku, membantu membereskan rumah yang tertinggal berantakan selama beberapa hari aku sibuk merawat Ibu di rumah sakit. Hari ini adalah jadwal kepulangan beliau pascadirawat selama dua minggu untuk pemulihan. Tapi, aku masih menyimpan rapat persoalan biaya rumah sakit. Ibu memang tidak jarang menanyakan hal itu, namun aku selalu berhasil mengganti topik pembicaraan.

Uang Gaza harus segera aku kembalikan, tapi bagaimana caranya? Aku tidak ingin berutang dengan siapapun, meninggalkan bekas tidak enak hati ketika berhadapan dengan orang bersangkutan. Seperti beberapa hari terakhir ini, aku selalu menghindari Gaza ketika dia menjenguk Ibu.

Aku sebisa mungkin melarikan diri dengan alasan harus ke kampus. Di sisi lain, penghindaraan itu juga disebabkan oleh perasaan yang tidak seharusnya aku rasakan untuk seorang Gaza. Dia seorang laki-laki berjenis buaya darat yang bersikap manis. Sangat jauh dari standar yang aku tetapkan dalam daftar lelaki yang seharusnya pantas untuk mengambil alih kendali perasaanku.

"Astatang! Kalian buruan buka News Today, deh. Ada Gaza di sana." Aku tidak berniat menuruti keinginan rasa penasaranku perihal Gaza. Semakin aku memanjakan rasa penasaran itu, semakin aku benar-benar tidak bisa menyangkal perasaan ini.

"Bacain aja napa, Ni?" Perkataan Arina membuat aku ingin menyumpal telinga menggunakan earphone. Menaikkan volume suara sehingga tidak mampu menjangkau kata-kata yang akan disampaikan oleh Arini. Tanpa perlu membaca, aku bahkan bisa memastikan kali ini berita tentang Gaza tentunya berkenaan dengan kekasih barunya yang memang rata-rata berasal dari kalangan wanita dengan tingkat popularitas tinggi.

Cinta dalam Tunggu [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang