Dua Puluh Enam

4.8K 694 47
                                    

Aku masih menantikan kehadiran Ibu di ruang makan. Setelah berbincang bersama Gaza, Ibu tidak kunjung keluar dari kamarnya. Sekarang, giliranku yang berperan untuk benar-benar menyelesaikan masalah di antara Ibu, Gaza, dan kemunculan Tisya yang tiba-tiba. Penyelesaian berupa permohonan maaf. Masalah pada beberapa hari yang lalu membuatku salah dalam menilai sikap Ibu. 

Situasi seperti ini tidak bisa didiamkan hanya dengan menunggu. Aku yang harus memulainya. Setelah mengumpulkan keberanian, aku mulai meletakkan beberapa centong nasi disertai lauk pauk yang menjadi santapan makan malam keluarga kami malam ini. Keberanian yang lebih dibutuhkan ketika aku telah sampai di depan pintu kamar tidur Ibu. 

Kepalaku penuh oleh calon kalimat yang hendak aku suarakan kepada Ibu. Namun, dibandingkan dengan memilih kalimat, menahan kehadiran air mata adalah hal yang jauh lebih sulit untuk dilakukan nantinya. Aku berdecak pelan ketika menyadari aku hanya semakin membuang waktu bersama pikiran-pikiran burukku. 

Tidak ada sautan ketika aku selesai mendaratkan beberapa ketuk di atas pintu berwarna putih ini. 

"Bu, Shera masuk, ya?" izinku pelan.

"Masuk aja." aku menghela nafas lega ketika suara Ibu akhirnya terdengar. 

Suasana kamar Ibu terasa lebih dingin dari biasanya. Pandangan pertama yang aku temukan adalah Ibu yang sibuk di atas meja kerjanya yang persis menghadap ke arah jendela.

"Makan dulu, Bu. Lanjut kerja nanti." saranku hanya ditanggapi dengan anggukkan kepala dari Ibu. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan Ibu akan melepaskan tangannya dari pensil yang bergerak lincah di atas buku sketsa. 

Aku terdiam dalam beberapa saat. Meskipun hubunganku dengan Ibu bisa dikatakan lebih dekat selepas beliau mengalami kecelakaan, tetap saja, kami bukan tipikal Ibu dan anak yang senang meromantisasi sikap ataupun kata-kata. Terkadang, aku masih merasa canggung dalam memperlihatkan perhatianku. Apalagi untuk situasi saat ini, semuanya terasa jauh lebih canggung.

"Maaf ya, Bu." setelah selesai dengan kalimat itu, aku berjalan menuju ke arah pintu.

"Maaf untuk apa?"  suara pensil yang diletakkan di atas meja menghentikan tubuhku yang hanya menyisakan beberapa langkah menjangkau pintu kamar Ibu. 

"Maaf Shera egois, keras kepala. Seharusnya Shera paham atas segala sifat Ibu karena gosip tentang Gaza dan Tisya."

"Enggak papa." balas Ibu cepat. Tanggapan itu mau tidak mau membuat aku memutar tubuh dan berjalan menuju ke arah kasur Ibu. Kami saling berhadapan dalam jarak yang terbilang dekat. Hanya beberapa langkah aku bisa menjangkau meja kerja Ibu.

"Kok enggak papa?" tanyaku bingung. Aku kira Ibu akan terharu atau menanggapi dengan tindakan dan kalimat yang berperasaan.

"Karena kamu itu benar-benar anak Ibu." 

Aku spontan mengernyitkan dahi mendengar ucapan Ibu. Kebingungan yang mengundang tawa kecil Ibu. Wanita yang menjadi tempatku berbagi kehidupan selama sembilan bulan itu tampak sangat cantik ketika dia melangkah, mendekat ke arahku. 

Tubuhku terasa damai ketika Ibu secara tiba-tiba membawaku ke dalam pelukannya. Dalam beberapa detik, kami terdiam dan hanya saling berbicara melalui hangatnya pelukan.

"Egoisnya kamu, keras kepalanya kamu, mudah marahnya kamu, itu hal-hal yang diturunkan langsung dari Ibu. Ibu juga salah. Ibu menasehati kamu dengan cara yang sangat salah." kalimat yang terdengar sangat menyejukkan itu mengundang kehadiran bulir-bulir air mataku.

"Kenapa malah nangis?" aku menggelengkan kepala sambil menyeka bekas air mataku. Ibu melonggarkan pelukannya dan berganti menatap lekat kedua mataku.

Cinta dalam Tunggu [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang