Tawaku sedikit muncul ketika kubaca seluruhnya. Kelengkapan pesan itu menjadi 'Assalamualaikum Calon Iman'.
____________
SAAT pemakaman Abi, teman-temanku datang dan mengucapkan bela sungkawa juga memanjatkan do'a. Mereka tahu kalau Abi telah tiada, tetapi mereka tidak tahu kalau aku sudah menikah. Aku belum siap untuk mengatakan semuanya, mengatakan tentang statusku yang baru, terlebih kepada teman-temanku.
Tidak ada yang baik-baik saja setelah hampir tiga bulan berlalu. Hanya dzikir yang terlantun sepanjang hari setelah Abi meninggalkanku. Walau masa berkabung masih terasa, tapi semua kembali pada kehidupan semula.
Kak Salsya tinggal di rumah Jidan, dia juga menunda resepsi pernikahannya dan aku di rumah menemani Ummi. Awalnya Ummi memaksaku untuk tinggal dengan Pak Alif, dia terus menerus mengatakan bahwa tak baik seorang istri tinggal jauh dari suaminya. Tapi Pak Alif mengerti, dia mengijinkanku untuk tinggal dirumah Ummi selama liburan, karena dia juga harus tugas dinas di rumah sakit pusat.
Mengenai Pak Alif, entah hubungan kami bisa dikatakan baik atau tidak. Kami saling berjauhan, tanpa pesan, tanpa saling mengabari. Kami menjalani hidup kami masing-masing seperti pernikahan itu tak pernah terjadi bahkan sampai sebulan lamanya.
"Kamu telepon, atau minimal kirim pesan. Kasih kabar sama Nak Alif, tanyain dia makan tepat waktu apa engga. Sekarang ini kamu ini istrinya loh ..." ceramah Ummi.
"Takut ganggu, Mi. Lagian dia pasti lagi sibuk sama kerjaanya. Besok juga pasti dateng ke acara resepsinya Kak Salsya," kataku beralasan, padahal sebenarnya aku menghindari untuk menghubungi Pak Alif. Apa yang harus kukatakan kalau aku menghubunginya? Menanyakan dia makan tepat waktu? Horor.
Cuaca mendung di luar. Akhir-akhir ini ketika sore hari pasti selalu turun hujan. Aku menaruh susu kocok di depan meja televisi dan Ummi sedang duduk dikursinya.
"Minimal kamu nggak buat dia hawatir," katanya.
"Ummi aja yang kirim pesen." Alis Ummi langsung beradu.
"Loh, kok jadi Ummi yang kirim. Kamu itu disuruh malah nyuruh lagi," katanya.
"Dengerin Ummi, bakti kamu sama Ummi sebagai seorang anak udah selesai. Sekarang waktunya kamu berbakti sama suami kamu sebagai seorang istri. Jangan sampe dia nyesel udah nikahin kamu."
Aku bungkam ketika Ummi mengatakan itu. Kata 'berbakti' seolah rancu untukku, sampai saat ini hatiku mengatakan dia dosenku, bukan suamiku. Astagfirullah, harusnya tidak seperti itu kan? Pemikiranku salah besar.
"Nanti Fisya kirim pesannya udah magrib, jam segini dia pasti masih dirumah sakit, Mi," kataku, setidaknya jawabanku barusan bisa membuat Ummi sedikit senang.
Malamnya, tepat setelah magrib, aku merasa bingung seperti mengerjakan puluhan perhitungan dosis maksimal. Padahal aku hanya harus mengirimkan pesan, aku tak tahu harus mengirim apa pada pria itu. Aku duduk di meja belajar, mulai merangkai kata untuk kukirim pada Pak Alif. Otakku malah mendadak buntu, handphone itu kulempar asal ke tempat tidur.
Aku terlonjak kaget dan memutar pandanganku ke arah pintu. Ummi tiba-tiba masuk, bahkan dia masih menggunakan mukena.
"Udah di kabarain Nak Alif nya?" Dia datang hanya untuk menanyakan apakah aku sudah mengirim pesan atau tidak.
"Pasti belum? Kamu cuma disuruh kasih kabar aja susahnya minta ampun."
"Fisya bingung,Mi ..." kataku.
"Kok bingung, sini biar Ummi yang ketik." Aku langsung terburu-buru mengambil handphoneku. "Biar Fisya aja ..." kataku. Bahaya kalau sampai Ummi tahu apa nama kontak Pak Alif di handphoneku, kontaknya kuberi nama nightmere dosen sejak dulu.
Aku mengambil handphoneku karena Ummi benar-benar mengancamku sebelum keluar. Pikiranku berputar keras mencari kata-kata yang pas untuk kukirim kepada Pak Alif. Awalnya aku mengetik 'Assalamualaikum Pak, apa kabar ?' kuhapus lagi karena menurutku telalu formal. Kuganti kata 'Pak' dengan kata 'Mas' dan itu lebih aneh lagi dari yang tadi. Kuhapus semuanya dari awal.
Aku hanya bisa mengetik 'Assalamualaikum' dari tadi. Aku bingung mengarang kelanjutannya. Aku mengetikan lagi 'Calon Imam'. Tawaku sedikit muncul ketika kubaca seluruhnya. Kelengkapan pesan itu menjadi 'Assalamualaikum Calon Iman'.
Apa-apaan aku ini, masih menganggapnya calon imam? Padahal jelas-jelas dia telah resmi menjadi imam rumah tangga kami. Akhirnya aku hanya mengirimkan kata salam dengan tanda nama 'Fisya' hanya itu. Kalau dia hanya menjawab pesanku dengan jawaban salamnya bagaimana?
Dalam keadaan hening, handphoneku berdering mendapat satu panggilan masuk dan itu cukup membuatku syok karena nama kontak Pak Alif yang menghubungiku. Aku gelagapan memegang handphone.
Sebelum menjawab panggilan itu aku mengambil nafas terlebih dahulu. Kugeser panel berwarna hijau itu dan mendekatkannya ke telinga kanan. Aku diam tak mengatakan apapun, syukurlah dia yang mengatakan sesuatu lebih dulu.
"Assalamualaikum, Sya," katanya. Suaranya khas sekali.
"Sya?" panggil Pak Alif ulang karena aku tak kunjung menjawab
"Iya, wa'alaikumussalam. Pak?" jawabku spontan karena aku sempat melamun tadi. Aku membekap mulutku sendiri. Aku bahkan masih memanggilnya dengan sebutan Pak.
"Eum ... enggak. Saya kaget aja kamu ngechat saya. Ada apa?" Aku jadi bingung sendiri harus menjawab apa.
Hening.
"Kamu baik-baik aja kan selama disana? Gimana kabar Ummi?" lanjutnya.
"Alhamdulillah baik, Ummi juga baik. Pak Alif sendiri gimana?" tanyaku. Percakapan kami terkesan kaku sekali.
"Saya juga baik," katanya. Lalu hening menyelimuti kami lagi. Telepon itu masih tersambung tapi kami hanya saling diam.
"Sebenernya Ummi nyuruh Fisya buat kasih kabar ke Pak Alif. Sama nanyain Pak Alif makan teratur apa engga disana? Tapi Fisya merasa canggung banget kalo harus nanya kayak gitu," kataku berterus terang. Aku mendengar dia sedikit tertawa.
"Saya juga merasakan hal yang sama. Saya nggak tahu harus ngomong apa tadi. Kalau gitu bilang sama Ummi kamu kalau saya makan teratur disini, saya juga lagi makan sekarang," katanya.
"Pak Alif makan apa?" Tanpa sadar aku sudah berbaring sekarang, menatap langit kamar dengan handphone yang menempel di telingaku.
"Mie instan cup, disini dingin," katanya.
"Pak Alif ini dokter apa bukan sih? Harusnya dokter tahu kalau mie instan itu kurang sehat, ada pengawetnya, banyak kandungan MSG nya. Lain kali sesibuk apapun pekerjaan Pak Alif, makan makanan yang lebih bagus selain mie, banyak yang−".
"Kamu gak lagi khawatir, kan?" potongnya. Aku jadi gelagapan menjawabnya.
"Bukan gitu, itu.. maksud Fisya itu.. yang tadi itu juga kata Ummi." Aku merasa malu sendiri akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri sambungan itu.
"Disini udah adzan Isya, Fisya tutup dulu ya. Besok acara resepsi Kak Salsya jangan lupa dateng. Assalamualaikum."
____________
Jadikan Al-Qur'an Sebagai Bacaan Utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Calon Imam ✔
Spiritual(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Nafisya Kaila Akbar, lima belas tahun memendam perasaan pada sosok pria yang menjadi tetangganya. Jidan Ramdani. Namun pria itu hanya menganggapnya anak kecil yang tak pernah tumbuh dewasa. Beranjak dewasa, Naf...