Prolog

69 3 4
                                    

"Haaah... Apa-apaan dengan semua tradisi aneh di sini? Memangnya apa yang akan terjadi jika aku berdiri sekarang? Apa aku akan mati? Hahaha... Bullshit!" Aji tertawa terkekeh. Kemudian sambil berkacak pinggang dia benar-benar berdiri. Dari arah penginapan di seberang jalan, Pak Lamut berteriak namun tidak terdengar jelas apa yang beliau katakan. Hanya isyaratnya yang kupahami. Beliau seperti meminta kami untuk memaksa Aji berlutut. Semua tangan teman-teman menarik tangan Aji agar dia menuruti permintaan Pak Lamut, tapi dia menepis tangan kami.

"Tidak ada salahnya megikuti tradisi di sini Ji." Aku berusaha menenangkannya. "Kita tidak akan rugi apa-apa."

"Tapi ini semua omong kosong. Demi apa kita harus berlutut sampe seperempat jam lebih?" Dagunya terangkat seperti menantang. "Aku cuman ingin tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak mengikuti kata-kata Pak tua aneh itu." Dia bergeming. "Dia itu aneh... Kalian ga ngerasa? Tempat ini juga aneh. Yaaah... Liburan ini memang memuaskan. Sempurna malah kubilang. Tapi, terlalu sempurna hingga membuatku merinding."

Aku tidak menampik kata-katanya. Memang hal ini yang menggangguku beberapa waktu yang lalu.

"Aku akan buktikan, tempat ini dan semuanya di sini tidak wajar." Aji memandang berkeliling. Dia tetap berdiri.

"Sudahlah Ji... Apa yang ingin kamu bukt..." Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, suara loncengpun terdengar nyaring ke segala penjuru. Membungkam semua suara. Lonceng yang tidak pernah mereka semua lihat bahkan setelah mereka hampir menjelajahi seluruh desa ini. Lonceng yang selalu berdentang di waktu yang sama. Tengah hari.

Brash... Beberapa tetes air menyembur ke dahiku. Aku menyapunya dengan telapak tanganku. Bugh... Sebuah suara sesuatu yang terjatuh terdengar di samping kiriku. Suara lonceng masih berdentang, aku mengangkat kepalaku yang semula menunduk, tidak ada larangan untuk mengangkat kepala, asalkan tetap berlutut. Mataku mendapati Yaya yang berada di depanku memandangku sambil memandang ke arah samping kiriku dengan muka ngeri.

"Tidaaaaaaaaaakkkkk..." Yaya berteriak histeris, menjatuhkan badannya tiarap sambil menelungkup menutupi kepalanya.

"Aaaaa..." Suara jeritan teman-teman mengalahkan suara lonceng yang sedang berdentang. Aku segera memalingkan wajahku ke arah samping kiriku dan apa yang kulihat membuat otakku lumpuh. Separo kepala Aji tergeletak di tanah dalam genangan darah. Tubuhnya masih berdiri beberapa saat sampe kemudian jatuh berdebam. Aku melihat telapak tanganku yang ternyata memerah darah muncratan dari Aji. Darah yang kusapu dari kepalaku.

Suasana kemudian tidak terkendali. Teriakan ngeri sahut menyahut, Aku melihat Shirley roboh. Pikiranku kosong, tidak mampu berbuat apa-apa selain mematung di posisi awal.

"Tenang semuanya... Jangan ada yang melakukan tindakan apapun. Lonceng masih berbunyi. Tetaplah kalian dengan posisi masing-masing." Dewa bersuara lantang menguasai keadaan. Teman-teman mulai berhenti berteriak. Semuanya masih berlutut. Para wanita tak bisa menyembunyikan isak mereka.

Lima belas menit serasa bertahun-tahun. Aku masih menatap ke depanku, tapi aku tidak melihat apa-apa. Imaji di depanku tidak terproses di otakku. Kosong.

"Za..." Kurasakan Yaya menubruk tubuhku. Aku tak tahu harus merespon bagaimana. Yaya terisak di bahuku. Baru aku sadar pipi dan leherku basah kuyup. Aku juga menangis. Entah ini tangisan sedih atau ketakutan, aku tidak bisa memikirkan apa-apa untuk sekarang. Hingga beberapa saat kemudian suara loncengpun lenyap. Separo kepala Aji masih tergeletak di rerumputan di sebelah kiri badanku.

PretEndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang