PART 7

59 2 2
                                    

"Ini gimana? Kita lanjut apa berhenti dulu?" Dewa menutup mukanya menahan dari tetesan hujan. Baru sempat satu kali bakar, hujan panas turun.

"Aku sih terserah saja, lagian hujannya cuman rintik-rintik gini." Satya mulai menyusun lagi jagung-jagung di atas panggangan.

"Bener cuman rintik-rintik, tapi hujan panas gini bisa bikin sakit tong." Galih berdiri, mendekat ke arahku. "Nie anak baru sebentar kehujanan sudah mulai berhalusinasi." Galih menunjuk ke arahku.

Aku mencubitnya gemas, memberi isyarat agar dia diam. Dia cuman menjulurkan lidahnya mengejek.

"Kamu ga liat sih Za betapa khawatirnya mimin tadi waktu kamu agak lama ga balik-balik."

"Emang dia khawatir?" Aku tertawa.

"Iya, dia sampai ga sengaja nendang ember itu tadi saking paniknya. Numpahin jagung-jagung yang sudah dicuci bersih."

"Aaah... Itu cuman akting saja tadi, biar dramatis gitu." Galih berkilah.

"Akting buat apaan min? Jagung ditumpahin gitu emang mau ngapain?" kami semua tertawa. Galih habis kata-kata.

"Mimin memang sayang dengan semua membernya. Sayang dengan kita semua." Kami semua setuju. Dia memang selalu peduli dengan siapa saja. Tapi untuk yang dia lakukan tadi, aku yakin kurasa itu hanya untukku, spesial untukku. Aku menyembunyikan senyumku. Saat aku menoleh ke arah kiri, aku malah mendapati Dewa sedang memandangiku. Dia tidak ikut tertawa.

Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku ke arah lain. Hujan panas mulai reda. "Ada pelangi lagi tuh." Aku menunjuk ke atas.

"Ah iya... Sudah dua kali aku ngelihatnya dalam tiga hari liburan ini." Kami semua memandang pelang yang sedang melengkung indah. Aku memandang Dewa lagi. Memicingkan mataku memasang muka mengancam. Aku ingat fotoku yang masih dia simpan. Awas nanti.

Bapak Lamut dan rombongan, serta Bapak dan ibu Halim kemudian berpamitan untuk balik ke seberang, ke rumah besar.

"Kami mau balik dulu, silakan ambil berapa banyakpun jagungnya. Yang penting nanti api sisa bakar-bakarnya bener-bener dibersihkan." Pak Lamut memberikan wanti-wanti. "Yang paling penting ini dah hampir tengah hari. Jangan lupa saat nanti lonceng berbunyi kalian harus berlutut." Beliau kemudian menyusul menuju ke seberang, melewati jembatan. Dari ladang jagung tempat kami bakar jagung, rumah besar masih bisa kelihatan. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 100 meter.

Kami kembali disibukkan dengan bakar-bakar jagung. Karena hujan tadi, arang jadi mengeluarkan asap lebih banyak, jadi semakin susah membakarnya. Aku menambah bawang putih dan garam serta minyak dan kecap, menghaluskannya, untuk menambah olesan jagung yang sedang dibakar.

Tak lama kemudian kami bersebelas kemudian dengan bersemangat menyerbu kembali jagung yang sudah matang.

"Jagung yang baru dipanen memang beda rasanya ya, berasa ada manis-manisnya gitu." Rico menggigit besar jagung di tangannya.

"Kayak Le minerale?" Nina tertawa.

"Kayak kamu, iya kamu." Galih menyerobot.

"Kamu siapa min? Banyak 'kamu' 'kamu' di sini nih. Ada 10." Shirley menggoda Galih.

"Ya kamu pokoknya." Galih dengan santai menyeruput kelapa muda jatah dia yang masih tersisa sampai habis. "Aaah... Aku kenyang banget." Dia menepuk-nepuk perutnya.

"Perut tuh dikondisikan. Dah mulai membulat tuh."

"Ini sixpack kok, kalian aja ga pernah liat." Galih tersenyum bangga.

"Eh? Iya ya? Baru sadar aku. Selama kita berenang-renang, Mimin ga pernah lepas baju lho." Aji menyeletuk. Benar juga. Pikirku. "Padahal kita semua pernah lepas baju lah, Dewa aja pernah."

PretEndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang