Aku berjalan terseok-seok. Sesekali tersandung dan menubruk Rico yang berjalan di depanku. Keadaan benar-benar gelap mencekam. Yang jadi petunjuk hanyalah suara Pak Lamut di depan kami. Tangan kami saling bergenggaman. Tangan kananku menggenggam tangan Rico, sedangkan tangan kiriku menggenggam tangan Yaya. Masih terdengar isak tangis Yaya dan Nina di belakangku. Di depan, berkali-kali suara Bu Halim yang bertanya dengan bingung, serta suara Pak Halim yang sesekali menenangkan istrinya memecah kesunyian. Aku sendiri masih sangat syok. Saat-saat seperti ini aku hanya sanggup membisu. Suaraku diiris dengan kejam oleh rasa takut. Kukira yang lainpun sama. Tapi aku masih berusaha fokus. Memaksa otakku sendiri memikirkan semua hal. Aji terbunuh. Teman satu perjalanan kami terbunuh tanpa sebab yang jelas. Hmmm... Dibilang tidak jelas juga kurang tepat. Dari awal kami semua sudah diperingatkan, tapi siapa yang menyangka hal ini yang terjadi? Apakah ini sebuah keteledoran? Atau ini kasus pembunuhan? Di saat seperti ini jaringanku tidak ada. Bagaimana dengan Galih? Dia yang telah mengajak kami ke tempat ini. Apa dia tahu ini yang bakal terjadi jika tradisi di sini dilanggar? Semuanya begitu rumit. Tanpa terasa leherku basah lagi oleh air mataku yang kembali mengalir. Polisi? Bagaimana kalau aku mengontak mereka? Tapi selanjutnya apa? Aku meraba kantong celanaku mencari ponsel. Bodoh. aku tidak membawanya. Benar-benar teledor.
Jalan yang dilalui terasa semakin menanjak. Sudah tak terhitung kakiku tergores dan tersandung. Perih.
"Kita sampai." Suara Pak Lamut membuyarkan pikiranku. Aku menghentikan langkahku. "Berlutut."
Otakku sudah terlalu lelah, aku hanya sanggup mengikuti perintah tanpa protes.
"Kalian akan berada di tempat ini untuk sementara waktu. Sementara kami 'membersihkan' semua kekacauan ini. Ini adalah konsekuensi yang harus kalian terima. Bukan berarti kami menginginkan hal ini. Segala peringatan yang kami berikan bukan berarti tanpa makna." Kemudian sebuah cahaya muncul. Salah satu pemuda yang berada di rumah Pak Lamut menyalakan obor. "Kalian tidak akan bisa keluar dari tempat ini untuk sementara waktu. Sampai kami kembali ke sini lagi. Tenang saja, kalian akan kami hantarkan makanan." Pak Lamut kemudian mendekati Bapak dan Bu Halim, menyodorkan kain sarung untuk mereka berdua. Pak Lamut terlihat meminta Pak Halim untuk menenangkan Bu Halim kemudian mereka semua kemudian pergi dengan meninggalkan satu obor.
Kami duduk bergerombol masing-masing. Kelompok bule dan Handi serta profesor duduk agak menjauh. Sedangkan Bapak dan Ibu Halim duduk berdua saling bersandar.
Aku mendekati Galih. "Apa maksudnya semua ini?"
"Aku... Aku tidak tahu Za." Matanya terlihat putus asa. "Seharusnya aku tidak mengabaikan kata-kata Aji tadi malam."
"Dia mengatakan sesuatu? Mengatakan apa?"
"Dia tidak mengatakannya secara detail. Dia sendiri merasa ragu-ragu. Hanya saja kupikir itu cuman perasaannya saja. Aku sudah beberapa kali ke sini, dan semuanya baik-baik saja selama kita mematuhi tradisi di sini. Bukankah memang seharusnya seperti itu? Dimanapun kita berpijak, kita harus menghormati tradisi di sana."
Hal sepenting itu, kenapa dia berusaha mengabaikannya? Aku teringat lagi saat Aji mau terlihat seperti mau mengatakan sesuatu setelah kami naik Bamboo Rafting. Bodoh. Kenapa waktu itu aku tidak sadar? "Apa tepatnya yang dia katakan?" Aku mengejar Galih.
"Dia melihat Pak Lamut dan beberapa orang pemuda di rumah ini berjalan menuju ke perbukitan sana."
"Mungkin mereka ke ladang?"
"Tengah malam?"
Aku terdiam, menarik nafas panjang.
"Aji menunggu beberapa saat kan, dan setelah itu dia melihat ada orang lain lagi mengikuti mereka. Tapi dia tidak bisa melihat dengan jelas."
KAMU SEDANG MEMBACA
PretEnd
Mystery / ThrillerKamu pasti punya satu tempat yang membuatmu merasa bahwa kamu ada dan berharga. Tempat itu juga yang mempertemukanmu dengan beberapa orang yang entah bagaimana bisa membuatmu nyaman dan merasa dimengerti. Tempat yang bisa jadi realita walaupun semu...