PART 3

63 1 0
                                    

Teng... Dong... Teng... Suara lonceng mengalihkan perhatianku dari tatapan mata Galih. Semua suara kemudian senyap, yang terdengar hanyalah dentang lonceng tersebut yang terus menerus berbunyi. Semuanya mematung di tempat dengan mata-mata yang saling bertatapan. Suasana terasa mencekam beberapa saat hingga suara lonceng hilang tiba-tiba seperti halnya kemunculannya yang tiba-tiba.

"Maaan... That was amazing. I've got an eargasm." Rico memecah kesunyian.

"Iya. Merinding aku, suer." Satya mengusap mukanya gugup. Jujur, aku juga merasakan hal yang sama.

"Lonceng yang pertama kita dengar." Aji memijit-mijit bibirnya. "Weird..."

"Pak, suara lonceng itu darimana? Suaranya benar-benar nyaring, seperti dekat sekali." Shirley tiba-tiba bertanya ke Bapak pengelola.

Aku melihat Galih kemudian berpaling dan memandang Shirley, mengangkat tangannya, meletakkan jari di depan bibir untuk memberi isyarat diam. Shirley mengangkat dua tangannya membuat isyarat bingung sambil berkata "why" tanpa suara. Galih lagi-lagi memberi tanda untuk diam.

"Tidak ada yang bisa kami katakan, Dingsanak. Tugas kami hanya membantu para wisatawan yang datang ke Danau cermin ini, di luar itu adalah tanggung jawab kami."

"Baiklah..." Shirley mengalah.

"Jadi, setelah ini ngapain?" Nina bertanya ragu-ragu.

"Seru-seruan lagi dong kita." Galih tertawa. Membuat suasana menjadi lebih cair.

"Tunggu sebentar dingsanak. Sebelum lanjut menikmati wisata di sini, kami akan segera menghidangkan makan siang untuk kalian." Bapak pengelola menahan kami semua. "Istri saya sebentar lagi sampai membawakan hidangan untuk kita semua di sini."

"Asiiiiikkk" Semuanya kemudian ribut dan kesenangan. Ketegangan tadi membuat kami lupa akan rasa lapar, padahal sudah setengah hari berlalu.

Tidak lama menunggu, dari jalan yang kami lewati tadi pagi terlihat tiga orang wanita memegang tampah di atas kepala mereka serta membawa lanjung di punggung mereka menuju ke gubuk. Kelihatan berat, tapi mereka berjalan dengan cekatan. Bapak-bapak pengelola segera menyongsong mereka dan membantu membawakan tampah yang mereka bawa di atas kepala.

Makanan yang dibawa walaupun sederhana tapi benar-benar menggugah selera. Nasi putih yang masih mengepul, tahu dan tempe goreng dengan sayur lalapan lengkap. Lauknya ada ikan Nila, Papuyu dan Peda yang dibakar. Tak ketinggalan ikan Seluang yang digoreng kremes. Sambalnya juga menguarkan aroma segar limau kuit. Semuanya bantu-membantu menyusunnya. Makanan dihamparkan di tengah-tengah gubuk di atas daun pisang yang disusun rapi. Semuanya duduk berjajar rapi mengelilingi daun pisang.

"Sebelum makan, mari berdo'a menurut agama dan kepercayaan masing-masing, berdo'a dimulai." Dewa memimpin doa. Hening beberapa saat, "selesai." Tak menunggu lama lagi semuanya langsung menyerbu makanan yang terhidang. Yang terdengar beberapa saat kemudian hanyalah suara mulut mengunyah.

Aku sesekali menjepretkan kamera yang selalu kutenteng ke arah teman-teman. Suasana yang hangat, aku tidak mau kehilangan satu momenpun.

"Makan dulu. Fotonya nanti." Galih berbisik di telingaku sambil mencubit dan mengambil ikan jatahku, langsung memasukkan ke mulutnya. Gemes banget aku. "Masa jatahku diambil?"

"Nih kutukar sama ini aja." Dia menyerahkan daun kemangi jatah miliknya. Dia tahu aku suka sekali daun kemangi.

"Dasar." Aku cuman geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

"Yaudah buruan disuap tuh makanan. Atau mau kusuapin?"

"Suapin... suapin... Pfffttt..." Aku ngakak sambil meletakkan kameraku.

PretEndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang