Kamis, 16 Maret
terima kasih, langit sore
atas tawa yang kau bagi
selagi bulan pergi
akan janji yang kau beri
saat tiba ujung hari
untuk bertahan dari benci
teriakan para pencarihei, langit sore
saat esok datang
bisa kau tersenyum lagi?
salam, cahaya pagi
Riuh tepuk tangan memenuhi ruang kelas XII-3 SMA Banjarsari, tapi Genji tidak peduli. Ia lebih kecewa ketika melihat teman-temannya cepat-cepat menarik tas ke pundak, lalu menyapa satu sama lain untuk pulang. Saat itu pukul 3.45, bel pulang sudah menjerit sejak tadi. Bahkan Bu Dewi, guru pelajaran Bahasa Indonesia yang mengisi jam pelajaran terakhir sudah keluar. Jadi wajar orang-orang benar-benar sudah tidak sabar untuk menyingkirkan pantatnya dari kursi kelas.
Di sampingnya, seorang gadis menghela nafas berat setelah membaca apa yang Genji sebut sebagai 'rangkuman yang agak melankolis' dari surat cinta yang ia dapatkan baru-baru ini.
Nama gadis berkerudung itu adalah Zalia. Sepuluh menit lalu, ia tampil sebagai siswa terakhir dalam tes praktik membaca puisi di depan kelas. Kemudian, tiba-tiba saja, tepat setelah Bu Dewi keluar kelas. Genji menyuruh semua orang untuk tetap diam di tempat, dan memaksa Zalia untuk membaca rangkuman-melankolis buatannya.
"Puas?" dengan kasar Zalia menyodorkan kertas yang di bacanya tadi pada Genji. Laki-laki tinggi itu menerimanya dengan kikuk dan bingung. Zalia tidak menunggu jawaban, ia langsung menyambar tasnya yang ada di bangku paling depan dan pergi ke luar kelas. Tak perlu diberi tahu pun, semua orang pasti tahu kalau gadis itu kesal.
Genji terpaku di tempatnya, menatap kertas itu sambil menggaruk kepala. Rencananya tidak sesuai harapan, dan sekarang ia tak tau harus berbuat apa. Sementara kebingungan melingkupi, ia mendengar seseorang berdecak di sampingnya.
"Tadi itu, apa?" Satria tak pernah basa-basi. Mungkin itu yang membuatnya hanya punya sedikit teman, tapi meski begitu, Genji tau orang yang satu ini adalah pemerhati yang baik.
"Bukan apa-apa, kau dapat sesuatu?"
Satria mengangkat sebelah alisnya, "yah, tidak banyak kalau kau tanya aku" pelan-pelan ia melepas kacamatanya, menggosoknya dengan ujung kemeja seragam pramuka. "Hampir semua orang terpukau, Zalia jelas pembaca puisi yang hebat. Tapi di saat yang sama mereka juga bingung. Tadi itu, bukan puisi, kan?" ia melirik kertas usang yang di genggam Genji.
"Bukan, memang" Genji cepat-cepat mengantunginya. "Kau yakin tidak ada yang bereaksi berbeda, atau tidak wajar misalnya?"
"Tidak, aku yakin. Oh kecuali geng Frau yang hari ini kompak tidak masuk sekolah. Juga beberapa panitia Pensi yang langsung keluar begitu mereka selesai tes"
"Benar," Genji terdiam, ia sudah mengambil langkah ekstrim saat ini, dan kecewa tidak mendapatkan apa-apa.
"Oh, Zalia!" seru Satria tiba-tiba "Ia kesal"
"Ya, jelas" Genji beranjak dari tempatnya berdiri. Ruangan kelas kini benar-benar kosong dan hanya tinggal dia dan Satria berdua di sana. Sebentar lagi, Mang Ucup akan datang dan mengusir mereka. Sambil berjalan ke arah meja tempat duduknya, Genji melanjutkan kalimatnya. "Sama seperti pelukis yang benci tiba-tiba diminta melukis, atau penyanyi yang benci tiba-tiba diminta menyanyi, atau yah semacam itu. Jali jelas tidak senang"
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta Cahaya Pagi
Teen FictionIni bukan pertama kalinya bagi Genji mendapatkan surat cinta. Sebagai orang supel yang disukai banyak orang, ia sudah terbiasa akan hal itu. Tapi surat cinta yang diterimanya kali ini agak lain. Selain pengirimnya misterius, isinya juga aneh. Memang...