9. Cetak

39 2 0
                                    

(masih) Sabtu, 18 Maret

"... dan dengan begitu, kau bisa mengetahui nilai X dari persamaan ini" seru Satria mengakhiri penjabarannya mengenai sebuah soal yang baru saja mereka bahas. Ia melihat Yusuf mengangguk, sementara Nurul dan Zalia masih terdiam, untuk alasan yang sama sekali berbeda. Genji yang juga berada dalam lingkaran itu ber-oh ria pura-pura paham.

"Wah, Sat" seru Genji "Itu tadi cara cerdas, tapi bagaimana caranya kau tau harus menggunakan cara ini saat ujian. Maksudku, aku saja langsung bengong begitu melihat soalnya"

"Aku baru mau bertanya hal yang sama" Nurul menimpali, "aku tidak bisa melihat polanya"

"Justru itukah? polanya adalah tanpa pola? semua ini memang sengaja di buat rumit?" Zalia menerka dengan menggebu-gebu, hal aneh mudah menarik perhatiannya tapi di sisi lain terlalu imajinatif.

"Ada polanya" Satria mengambil lembar-lembar soal lain yang baru saja mereka kerjakan "Dari urutannya saja, terlihat, pertama jenis soal eksponensial, lalu aljabar, tipe mereka selalu berkelompok walau tak urut. Lalu lihat ini," Ia menyandingkan dua soal bersisian "baik soal tahun lalu maupun tahun-tahun sebelumnya ada kata 'dan' di antara dua persamaan ini"

Empat orang lain di ruangan itu takjub, hal-hal sederhana seperti ini memang tidak diajarkan di kelas oleh guru mereka yang jarang masuk.

"Selalu ada pola dan petunjuk meskipun kelihatannya tidak" Zalia menyimpulkan.

"Ngomong-ngomong soal petunjuk" Yusuf merenggangkan badan "sudah waktunya makan siang, kalian tidak lapar?"

"Ah benar, kantin yuk"

"Aku tidak"

"Aku juga"

Yang barusan menyahut itu Genji dan sekarang Satria menyesal kenapa dia bilang tidak. Maka mereka berdua menjadi satu-satunya yang tinggal di kelas saat itu. Canggung.

Satria tidak tau apakah Genji sadar kalau ada hubungan 'kenapa Satria babak belur' dengan 'adiknya yang datang terlambat bersama Ikhsan'. Tapi yang jelas, dia tidak mau mendapat lebih banyak masalah karena hal itu, terutama melihat ekspresi Genji saat mereka datang tadi. Wajahnya lebih merah dari kepiting rebus, seolah-olah dia berusaha membunuh Ikhsan dengan matanya.

Tapi tak banyak yang terjadi, Zalia datang melihat apa Satria sudah kembali, terkejut, membawanya ke UKS dan singkat cerita melanjutkan rencana mereka belajar bersama untuk persiapan USBN Senin besok. Genji menyaksikan semuanya, dan memutuskan untuk ikut.

"Aku tak ada kegiatan lain" katanya

Tentu saja.

Setidaknya sampai saat ini, Satria hanya bisa menebak-nebak apa yang Genji diam-diam inginkan darinya.

"Pola" Genji tiba-tiba berbisik. Sepertinya ia bermaksud berbicara pada dirinya sendiri tapi sayang tidak cukup pelan untuk tidak di dengar Satria.

"Apa?"

"Ah, tidak" jawabnya "Aku memikirkan sebuah pola. Atau mungkin tepatnya masalah yang bisa diselesaikan dengan pola"

Satria bisa menebak kemana arah pembicaraan ini, tapi memilih pura-pura tidak tau "Yah, maksudku, hampir semua soal ujian punya pola"

"Benar" Genji menarik nafas keras-keras "Baiklah, kita gunakan caramu saja, Sat. Kau ingat kau menawariku bantuan untuk mencari Cahaya Pagi?"

"Aku tidak mengerti apa maksudmu"

"Yah, soal itu, aku berpikir, itu bukan ide yang buruk. Maksudku, tak masalah bagiku, ini saat-saat terakhir kita di sekolah. Lebih baik kalau aku tak punya beban pertanyaan lagi."

Satria sadar dia yang pertama menawari Genji untuk membantunya mencari soal Cahaya Pagi-walau secara teknis semua ini juga berawal dari Genji yang memintanya memerhatikan anak-anak kelas-tapi dengan penolakannya yang kasar kemarin, dan sikapnya yang tidak masuk akal hari ini. Entahlah.

"Bagaimana? tentu saja kalau kau mau, aku tidak akan memohon"

Apa yang dia pikirkan, Genji memang picik, tapi ini sama sekali tak ada ruginya buat Satria. Lagipula akan konyol sekalinya baginya untuk menolak. Dia mengejar Sora untuk ini, dan ketika Genji sendiri yang membukakan jalan, kenapa dia harus ragu?

"Yah, maksudku, aku sendiri yang menawarimu bantuan kemarin" jawab Satria "Kau sendiri punya bayangan siapa yang mengirimnya?"

"Aku sempat memikirkannya, tapi beberapa rasanya tidak masuk akal"

"Beberapa ..."

"Aku tidak bermaksud sombong" dia jelas-jelas bermaksud sombong. "Kau mengira mengirim surat di jaman ini aneh, tapi sebenarnya tidak juga"

"Maaf, Cassanova" ejek Satria "Aku tidak mengerti apa maksudmu"

"... oh kalau begitu tinggal print lagi saja" sayup-sayup suara Yusuf terdengar kembali ke kelas kosong yang mereka gunakan.

"Aku kira kalian makan"

"Memang, tapi tak enak meninggalkan kalian" Nurul menaruh dua kantung kresek ke atas meja, di dalamnya masing-masing terdapat bungkus sterefoam yang menguarkan bau khas. "Aku traktir"

Satria mengambil satu, dari baunya dia sudah bisa menduga apa isinya, "Mie Jabrig!"

"Kita bisa mengurusnya nanti, setelah USBN"

"Ada apa?"

"Surat undangan tahlilan akhir bulan ini, kurang"

"Oh, untuk Derina?"

"untuk Derina"

Satria melirik Genji, kemarin dia menyebut nama itu tanpa bisa menahan emosi. Pasti ada sesuatu di antara keduanya. Meskipun mungkin sekarang semua itu tidak penting lagi, Satria tetap penasaran.

Genji tidak memberikan perubahan ekspresi yang berarti.

"Ngomong-ngomong, aku rasa kita harus mencari tempat print yang lain, kau tau, bukan warung fotokopi depan sekolah" Yusuf melanjutkan. "Cetakannya tidak bagus"

Surat Cinta Cahaya PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang