"Eh, 'gak usah kak. Aku bisa naik angkot"
"Bisa apanya, Ra? Aku tau dompetmu ketinggalan juga kan? Sat, kenapa masih bengong, cepat ambil motormu! Kau tau Eni seperti apa"
"Eh, iya"
Sora meringis. Tentu saja ini terjadi. Tentu saja 'teman' yang dimaksud Kak Zalia adalah Kak Satria. Dari sekian ratus murid SMA Banjarsari, tentu saja Satria lah yang akan mengantarnya mengambil tas ke rumah. Luar biasa.
Itu bukan perjalanan paling menyenangkan yang pernah Sora alami, beberapa waktu setelah meninggalkan sekolah Satria mengucapkan terima kasih atas rotinya. Dan Sora hanya bergumam menjawabnya.
"Kenapa kau tidak makan sendiri?"
"Aku lactose-intolerant"
"Oh"
Setelah itu sepi lagi, Satria fokus mengemudi sementara sistem satu arah mulai diberlakukan dan mobil-mobil melaju dengan kecepatan yang mengerikan. Mereka harus agak kepinggir kalau tidak mau terserempet bus-bus pariwisata.
Ini salah satu alasan kenapa Sora benci sekali harus pergi keluar rumah di akhir pekan. Pelajar di daerah lain mungkin suka pergi berjalan-jalan di akhir pekan untuk menyegarkan pikiran. Tapi di daerahnya Sabtu Minggu adalah neraka. Jangankan menyegarkan pikiran, yang ada kepalanya makin pusing begitu melihat jalanan. Kalau mau pergi, pilihannya cuma berangkat pagi-pagi sekali atau malam. Kalau tidak, ya siap-saiap saja terjebak macet. Belum angkot juga jadi jarang sekali dan ongkosnya bisa naik sesuka mereka.
"Ngomong-ngomong, aku tetap tak akan mencarikanmu surat itu" Sora memecah sunyi di lampu merah. Ia tau alasan Satria mau mengantarnya pastilah karena hal itu, jadi dia perlu membuat penegasan.
"Apa?"
"Surat. Cahaya Pagi. Aku tak akan mencarinya"
"Masa?" Sora tidak menyangka kalau tawa adalah reaksi yang akan dia dapatkan. "Kau bukan tipe orang yang suka berhutang. Kalau hutang uang mudah kau bayar, hutang budi akan lebih sulit"
"Apa pula maksudnya itu"
"Misalnya, aku tak pernah tau kalau sesuatu yang berhubungan dengan Cahaya Pagi itu adalah surat. Jadi kau sudah menemukannya? Bisa berikan padaku?"
"Aku tidak--"
Lampu hijau. Gemuruh angin memenuhi telinganya. Dan Sora mengutuk mulutnya yang berkhianat selama perjalanan.
Butuh waktu setengah jam bagi mereka untuk sampai di rumah Sora. Selama beberapa detik, Sora sempat bingung melihat motor lain yang terparkir di depan rumahnya. Awalnya ia mengira kakaknya sudah pulang, tapi kemudian dia sadar kalau itu bukanlah motor kakaknya.
"Ikhsan" ia mendengar Satria bergumam di depannya "cepat!"
Sora mengangguk. Ia buru-buru masuk rumah. Melangkahi tangga dua-dua dan mengambil tasnya dari kamar. Sejak pertemuan langsung mereka kemarin. Imej buruk Ikhsan masih belum lepas dari yang selama ini ia ketahui. Kemarin, Sora bisa saja lari dengan alasan ingin pergi les (yang hanya beberapa meter dari sekolahnya) dan ia beruntung Ikhsan tidak sedang di sekitar sekolah ketika ia hendak beranjak pulang. Sekarang pun, instingnya mengatakan supaya tidak terlibat apa pun dengan orang itu.
Ketika ia turun, Sora bisa mendengar ada suara ribut-ribut di luar. Ia mengintip dari jendela dan napasnya tertahan. Satria sedang berusaha berdiri sementara ia dikelilingi tiga anak laki-laki. Motornya terguling di sebelah mereka, dan Ikhsan sedang mondar-mandir sambil menempelkan ponsel ke telinga. Saat itu Sora baru tersadar kalau ponsel dalam tasnya bergetar dari tadi dengan tiga panggilan tidak terjawab dari nomor tidak dikenal.
Ia tidak tau harus berbuat apa sekarang. Ponselnya bergetar di tangannya. Satria dipukuli di luar. Dan Ikhsan menunggu dengan tidak sabar.
Sora memutuskan untuk keluar. Ia tak punya banyak waktu. Tidak ada yang tau sampai kapan Satria akan dipukuli kalau ia terus memilih bersembunyi, lagipula ia sudah sangat terlambat.
Sora keluar. Tas di punggungnya, payung di tangannya. Cuaca terlampau cerah.
Ikhsan menyapanya dengan senyum ketika melihatnya. Sama sekali tak ada rasa malu atau takut di wajahnya. Sebuah kemungkinan yang Sora bayangkan jika ketahuan oleh orang lain sedang melakukan perundungan. Hal ini hanya berarti satu hal, ia sama sekali tidak merasa bersalah.
"Mundur"
Sora mengacungkan payungnya sebelum Ikhsan berani berjalan lebih dekat. Tapi dia memang berani. Payung yang Sora niatkan untuk di ubah menjadi senjata itu di tepisnya dengan mudah saja. Jatuh terlempar hingga timbul bunyi gedebug yang keras. Kemudian ia ditarik ke arah motor Ikhsan. Genggamannya kuat, tangan Sora terasa mau putus setiap kali ia menarik mencoba melepaskannya.
"Naik"
"APA MASALAHMU? LEPAS!"
"Kamu tak mau terlambat kan, Sora?"
Sora menoleh ke arah Satria yang menggeleng ke arahnya. Entah apa maksudnya. Ia tidak mengerti apakah maksud Satria adalah jangan pergi atau jangan pedulikan ia. Ia tak mau pergi dengan Ikhsan, tapi ia juga tak bisa melepaskan pegangan tangannya. Ia tak tau harus berbuat apa, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Pada akhirnya, yang bisa ia lakukan adalah menyerah.
Untuk ukuran seorang anak laki-laki, Ikhsan sangat cerewet. Deru angin tidak menghentikan suara nyaringnya untuk sampai di telinga Sora sepanjang perjalanan. Sora tak menanggapi satu patah katapun yang anak itu katakan, selain tidak mau, ia juga tidak bisa. Rentetan katanya lebih cepat daripada laju motornya. Benar-benar orang yang tak tau malu.
Setelah beberapa saat, entah karena dia tiba-tiba sadar kesalahannya atau bosan bicara sendiri. Ia memberi jeda setelah sebuah pernyataannya.
"Jangan salah paham" katanya "Satria tidak seperti yang kaukira. Aku juga"
Sora memutar matanya, ia baru mengenal dua orang ini SEHARI. Sejauh apa ia kira Sora mengenal mereka berdua? Kegelisahan tukang rundung, eh? Klasik.
***
Halo Narutha! Aku akhirnya dinotis ehehehehe *ngumpet*
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kesengajaan semata semata dan tidak ada unsur sensi pribadi.
Wkwkwkk
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Cinta Cahaya Pagi
Teen FictionIni bukan pertama kalinya bagi Genji mendapatkan surat cinta. Sebagai orang supel yang disukai banyak orang, ia sudah terbiasa akan hal itu. Tapi surat cinta yang diterimanya kali ini agak lain. Selain pengirimnya misterius, isinya juga aneh. Memang...