Kedua buah alat gerak bawahnya tak henti bergerak. Terus mengayun menuju arah yang tak menentu. Suara-suara berganti dengan lampu-lampu temaram. Tudung parka yang ia kenakan tak berhasil menghalau butiran air. Dengan terpaksa ia membawa serta air-air itu bersama ransel yang penuh pakaian.
Jason sendirian berjalan di negara bagian yang bahkan ia pun tak tahu berada di jalan yang benar atau salah. Tubuhnya menggigil dibalik sehelai kaos putih. Dunia menjadi abu dimatanya,se-abu sepatu sneakers yang ia kenakan.
Rintihan air menemaninya, mengantarkannya hingga ke sebuah toko yang tertutup. Pemuda itu menepi untuk berteduh. Suara hujan satu-satunya yang dapat ia percaya. Ia yakin bahwa setiap daerah yang dilanda hujan badai seperti ini dimanapun akan tampak seperti sebuah kota mati. Hanya penerangan yang ada, dan orang-orang yang tidak diketahui kemana perginya.
Walau begitu ia merasa terpacu. Hidupnya akan ia mulai dari awal dengan tak satu pun yang mengenalnya.
Ransel biru tua ia turun kan dari punggungnya yang basah. Ia berjongkok menghadap jalanan sepi. Ransel itu ia peluk dengan erat berharap sepercik kehangatan akan muncul. Walau pada akhirnya ia salah.
-------Hujan belum mereda hingga toko yang ia singgahi membuka wajahnya. Seketika ia berdiri dan menoleh, bertemu pandang dengan seseorang yang mungkin saja pemiliknya.
"Hei! Sedang apa kau disana! Cepat pergi! Pasti kau pencuri kan! Cepat pergi!!" Seorang pria paruh baya meneriakinya dengan pintu terbuka. Terlihat sebuah pemukul baseball di tangan kirinya.
"Saya bukan pencuri pak.." kata-kata terpotong saat pria berbalut mantel panjang itu meneriakinya kembali.
"CEPAT PERGI ATAU KU PANGGIL POLISI!!" Kini pemukulnya berada di atas kepala bersiap menghantam kepala lawan.Terpaksa ia kembali melanjutkan perjalanan membelah badai. Ia mulai berpikir ini adalah pilihan yang salah memilih Letutia. Bibirnya menyuingkan sebuah senyum ganjil diantara butiran air hujan. Dutch kembali menggigil dengan suhu badan yang naik. Entah perasaannya atau memang benar-benar terjadi gempa.
Belum jauh celana jeans nya mengayun, Jason terhenti. Menutup kedua matanya, berjongkok, dan diserang air hujan. Dunia berputar dibenaknya. Gempa kembali terjadi di kepalanya.
"Ugh!" Giginya menggertak.
Bibirnya kembali tersenyum. Lebih lebar dari sebelumnya. Matanya memicing melihat ke-abu an suasana. Suara katak berubah menjadi gonggongan di telinganya. Angin berhembus menerpa rerumputan di lahan kosong yang tanpa pagar.
Jason bangkit beralasan. Badannya terseok beberapa kali kemana gravitasi mempermainkannya. Kakinya bergetar, melangkah perlahan dan terjatuh dengan lutut mengantuk tanah terlebih dahulu diikuti seluruh badannya.
-----
"ANAK ANEH!"Tiba-tiba sepasang mata itu terbuka. Disambut lampu neon yang membuatnya kembali menutup. Dua detik kemudian ia terbuka lagi. Tampak sepasang lansia menatapinya dengan cemas.
"Si-siapa kalian?" Jason beranjak bangkit dan langsung memegang kepalanya yang sakit serentak. "Lebih baik kau berbaring nak." Suara bijaksana terlontar dari pria berumur sekitar 70 an itu. Rambut putih terlihat di sela-sela rambut hitam kepala dan dagu nya. Mata abu nya masih menatap Jason dengan hangat. Entah bagaimana tubuh Jason menuruti perintah itu.
"Kami menemukanmu tergeletak di depan toko kami." Kini suara halus dan lembut yang terdengar.
Toko?
Untuk sementara ia berpikir. "Ah! Aku harus pergi!" Jason bangkit dan segera menyambar jaket nya yang tersampir di atas kursi di sudut ruangan. Tiba-tiba jaket itu memuntahkan muatannya. Air hujan yang ia bawa sekarang berada di lantai kayu sebuah rumah tua.
Jason tak bisa mengalihkan pandangannya pada air-air itu. Kakinya basah. Sedangkan sepasang lansia saling bertatapan.
"Maaf."

KAMU SEDANG MEMBACA
Derta Dutch
Teen FictionSaat cintamu tak bisa kau miliki. Saat kepedihan bertahan di hatimu. Saat orang yang kau harap hadir tak ada disisimu. Saat obat-obatan menjadi sahabatmu.