#maafkan fotonya mengganggu anda
#happy reading
_____Tangannya mengetikkan hal yang berbeda walau otaknya berputar untuk satu hal yang sama. Sebuah foto benda purba yang menjadi bahan input nya disertai berbagai keterangan keilmuan. Jas putih melingkupi rangkaian bahu hingga ke lutut. Saku yang selurus dengan pinggang di kedua sisinya hanya berisikan selembar foto dan segenggam ponsel.
Rambut kemerahannya diikat lemah di bawah kuping yang memerah. Tungkai hitam warna kacamatanya pun masih lebih tinggi daripada itu. Rambut itu bergelombang ringan dari pangkal ke tepi, membuatnya berwajah lebih ramah. Tanpa seorang pun tahu ia meninggalkan seorang putri.
Komputer menyala dihadapannya yang berwarna putih selaras dengan seluruh perangkat di ruangan itu. Lemari-lemari besar berisi tulang belulang menjadi pajangan sehari-hari.
"Maaf, bisakah kau masukkan dokumen ini? Aku harus ke ruangan Mr. Andrew." Seorang wanita berhijab hijau muda berbicara ke arahnya.
"Oh.. ya.. baiklah" Ibu 45 tahun-an itu mengulum sesalnya. Tugas bertambah membuatnya menggelar karpet waktu.
3 orang sepangkatnya dan 2 orang arkeolog berkonsentrasi dengan mainan mereka yang dimainkan bersama. Artefak tombak masa prasejarah memang menarik perhatian para ahli.
Jendela-jendela besar tepat di depan ruangan dan beberapa lampu neon bekerjasama menjamin para profesor tak kekurangan asupan cahaya.
Kakinya pegal tepat di betis, namun demi ke-efisiensi-an waktu, ia menolak tawaran kursi untuk duduk di pangkuannya. Ia teguk lagi kopi yang sejam lalu dibuatnya di pentry. Iced coffe tanpa creamer. Tangan kiri putih nan halus menempatkan kembali kopi pada tempatnya yang agak jauh. Ia tak ingin merubah dokumen-dokumen penting menjadi bubur coklat. Jari-jemari itu masih mengetikkan input hasil pengamatan temannya.
Beberapa waktu berlalu dengan cepat, tak ada yang berubah sedikitpun dari posisi orang-orang yang dianggap terpintar pada bidangnya ini.
Teeeeetttt!
Bel berbunyi tanda waktu berganti bidang. Entah mengapa lembaga terkait yang mendirikan penelitian ini menyediakan berbagai sarana. Walau terkesan kekanak-kanakan, tapi bel itu cukup berguna. Ini waktunya istirahat bagi Norvie.
Ia terperanjat, meneliti jam silvernya yang ia gunakan di tangan kiri. Lidah jam tangan shock pink nya berpadu indah di lengan wanita jangkung itu. Jam itu adalah hadiah dari Perry. Jam menunjuk pukul 02.32 pm. Melangkahkan kaki yang pegal bukanlah hal yang mudah.
Norvie melangkah menuju ruang makan pegawai dengan tak ada warna lain selain putihnya segala perabotan, coklat, hitam, atau merahnya rambut,hijau muda warna beberapa hijab,dan pucatnya wajah setiap orang. Batas ruangan berada di kiri dan kanannya. Beberapa orang sudah memulai acara makan mereka,sedangkan beberapa mengantre.
"Soda?" Suara pria membuatnya kaget tanpa sempat ia tutupi. Pria itu membawa 2 kaleng soda berwarna pink-kuning. Tangan kanannya menawarkan salah satu nya kepada Norvie. Wanita bersepatu heels itu menyambutnya tanpa ia minum. Mungkin cocok menenangkan tangannya yang gusar.
Berjalan berdampingan bersama orang yang kau cintai memang menyenangkan, tetapi pengecualian untuk yang satu ini. Norvie menatap mata Orchard dalam. Coklat dan hitam bertemu di perbatasan. Pria itu bertubuh 15 cm lebih tinggi darinya. Membuat Norvie harus menengadahkan wajahnya sendiri.
"Aku ingin bicara." Suaranya terbebas dari kekangan sang majikan.
"Bicaralah" Orchard membalasnya dengan tatapan hangat. Mereka berjalan menuju suatu sudut yang tak jauh dari ruang makan. Menghadap sebuah jendela besar yang membuat mereka bisa menatap kendaraan maupun makhluk hidup berlalu lalang. Sudut ini cukup sepi, jika kau seorang introvert, mungkin inilah tempat yang kau cari.Orchard membuka kaleng soda nya dan menawarkan bantuan itu pada Norvie. Tapi Norvie menggeleng. Bukan waktu nya mereka menikmati hidup seperti tak ada kesalahan dalam hidup mereka. Norvie menerawang jauh ke luar jendela. Pemandangan gedung-gedung menunjukkan sebuah lingkungan maju. Langit siang kebiruanlah tempat tertampungnya pandangan Norvie.
"Orchard, pernahkah kau memikirkan Perry?"
Pria itu cukup tersentak. Hampir saja soda yang ia teguk tergelincir salah memasuki saluran.
"Ah?... Mmm.. Ya... Begitulah" Orchard sama menurunkan pandangannya dari wajah Norvie.
"Benarkah?" Norvie kini menghadapkan wajahnya menuju wajah Orchard. Sekepal sedih bergerumul tertahan oleh genangan air yang ditampung kedua kantung matanya. Wanita ini cukup keras usahanya. Pertanyaan itu tak langsung dijawab Orchard.
"Tentu saja Norvie! Dia anak kita,bagaimana bisa aku melupakannya?" Raut wajah Orchard tak berbeda dengan istrinya.
"Pernahkah kau berpikir ia hidup sendirian di rumah yang begitu besar tanpa adanya kita sebagai orang tuanya?!" Nada bicara Norvie meninggi. Menghantam suaminya bertubi-tubi.
"Pernahkah kau berpikir ia kesepian? Pernahkah kau berpikir ia ketakutan tanpa ada tempat bersandar? Dunia bukanlah hal yang bersahabat Orchard.." Air mata mulai mengalir di kedua sisi. Wanita tegar itu mengeluarkan segala amarah dan kekhawatirannya.
"Perry baru remaja.. Ia butuh orangtua yang selalu ada untuknya! Bukan orangtua yang hanya mengirimkannya uang!"
"Aku juga memikirkan itu Norvie!"
Orchard mengucapkan kata-katanya dengan tegas."Lalu kenapa kau bisa begitu tenang?! Kau tak mengerti Perry sangat menginginkan kita disisinya!!"
"Karena Perry adalah wanita yang kuat. Aku yakin itu. Dia adalah anak perempuan yang terkuat. Dia adalah anakku,anak kita"
Norvie terhanyut dalam sedih. Pandangannya berpaling dan menutup. Air mata menemaninya dengan setia. Sang suami mengusap bahunya canggung. Kerinduan keduanya sudah tak dapat dibendung. Tapi pekerjaan menghalangi mereka. Rasa bersalah menampar mereka tepat di hati. Orangtua macam apa yang meninggalkan anaknya bergitu saja?
Sekian waktu berlalu, Norvie mulai mereda, tapi guncangan itu tak terhapus dari pikirannya.
"Aku akan mengundurkan diri." Norvie berjalan cepat ke arah sebuah lorong. Kesedihan memunculkan perkataan itu. Ia tak berani menatap sang suami, karena ia pasti akan menolaknya dan berhasil membujuknya kembali. Tapi tangan itu menariknya dan mengapit bahu dengan kuat.
"Perry, ia adalah anak yang kuat. Aku yakin tak ada yang berani macam-macam dengannya. Ia adalah pelari yang hebat, penyamar ter-ahli dan pemikir keras. Dunia tak ada artinya bagi dia. Yakin lah.. ia telah kita besarkan dengan benar Norvie. Dunia sedang membutuhkan kita saat ini."
"Kau tak mengerti Orchard, bagaimana kau bisa menggantikan anakmu sendiri dengan ilmu pengertahuan? Dia belum siap menjalani hidup tanpa bimbingan. Bagaimana jika ia mencoba hal-hal aneh selagi kita tak disisinya? Aku tak ingin masa depannya hancur!" Norvie menepis tangan besar suaminya dengan usaha, tapi tangan itu masih ditempatnya.
"Norvie.. Norvie.. Lihat mataku.. Perry baik-baik saja. Percayalah.. Ia kuat, pintar, cantik dan cukup licik. Penculik pun akan berpikir 5 kali sebelum akhirnya kalah debat dengan Perry. Aku yang mengajarinya bertahan hidup, maka aku tak meragukan kepandaiannya. Jika ia tersesat di antara hutan pinus pun aku tak khawatir. Lagi pula,misi ini hanya tinggal 2 tahun Norvie, tak bisa kita menghentikannya di 4 per 5 jalan. Teman-teman membutuhkan kita disini." Orchard memelas mencari sebuah jawaban. Bukan ia tak peduli akan buah hati nya, tapi ia pun memperhatikan kepercayaan beratus ilmuan di pundaknya.
Norvie tertegun mendengar suaminya. "Orchard, kita telah membahas ini puluhan kali. Kali ini, biarkan aku menang. Aku menginginkan putriku." Norvie mengguncangkan tubuhnya untuk terlepas, tapi itu sia-sia.
"Norvie Derta,aku berjanji kita akan pulang setelah misi ini selesai. Aku janji." Orchard memeluk istrinya erat. Tanpa bisa Norvie tolak. Wangi badan suaminya memasuki penciuman Norvie. Wangi yang selalu enak walau setelah 17 tahun pernikahan mereka.
"Aku tak akan berbohong. Ini akan jadi misi terakhir kita." Orchard mengusap rambut istrinya yang halus. Tangis Norvie kembali terjadi. Ia kembali kalah dari pertimbangan sang suami. Norvie tak mengangguk ataupun menggeleng.
"I love you Norvie... I love us"
KAMU SEDANG MEMBACA
Derta Dutch
Подростковая литератураSaat cintamu tak bisa kau miliki. Saat kepedihan bertahan di hatimu. Saat orang yang kau harap hadir tak ada disisimu. Saat obat-obatan menjadi sahabatmu.