2. Boy

44 9 2
                                    



     Belahan dunia ini, belahan dunia yang sangat ingin Jason tinggalkan. Musim dingin berjalan lebih lama dibanding musim lainnya. Salju setebal 5 inci menutupi jalan sekitar Avalon, tapi tak membuat sekolah libur seperti yang diinginkan Jason. Pria itu mengetuk-ngetukkan kepalanya ke kaca di bagian kanan nya. Ruangan dengan penghangat mesin ini membuatnya mengantuk dan malas, apalagi dengan kursi empuk berwarna merah tua yang didudukinya. Sementara seorang wanita paruh baya duduk dihadapannya dengan berlembar-lembar laporan perilaku siswa. Keheningan menyapa, namun segera terecahkan.

     "Jason! Ini sudah kali ke 5 dalam seminggu! Apa kau tak bisa memperbaiki sifatmu?!" Mrs.Briph membentaknya dengan tidak terhormat. Ia tak mengerti. Seakan itu adalah hadiah musim dingin, Jason menatapnya dengan mata berbinar dan senyum melekat erat di bibirnya.

     "Guru-guru telah membicarakanmu dan sifatmu! Bisakah kau memperhatikan saja pelajaran yang kami jelaskan? Bisakah kau berhenti mengejek kami dengan senyuman mu itu?!" Murka semakin diujung tanduk. Memang ini kali ke 5 Jason duduk dibangku tersebut dalam seminggu. Tapi ini bukan salahnya.

     "Tapi..." sedetik lalu ia bicara,dan ia mulai menabung sesalnya mengeluarkan suara.

     "AH! SEKARANG AKU TAHU KENAPA KEDUA ORANG TUA MU BUNUH DIRI MENINGGALKANMU SENDIRIAN DI DUNIA INI!" Wanita itu berdiri di belakang mejanya dengan tangan menggebrak.

     Jason mengerti bahwa walikelas nya itu sangat marah karena perilakunya selama 15 minggu telah membuat 6 lembar laporan perilaku buruk, tapi ini tidak benar jika orang tuanya meninggal karenanya. Jason mulai tertawa terbahak-bahak. Mrs.Briph yang keheranan segera menghentikan amarahnya. Ia sadar itu hanya akan menghilangkan energinya sendiri, sedangkan pada Jason tidak ada berdampak apapun. Dengan sedikit merapikan blazernya yang terangkat, Mrs.Briph kembali duduk, dan mengambil nafas berat.

     "Ekhmm.. Maafkan saya...Maafkan kami Jason, tapi kau tahu peraturan di sekolah ini. Dengan terpaksa kami harus mengeluarkanmu. Maaf Jason.. Saya hanya berpesan supaya kau bisa menghargai gurumu di sekolah selanjutnya."

     Itu berita yang selalu tak ingin didengarnya. Dengan ini Jason resmi kehilangan sekolahnya yang ia dapatkan dengan penuh perjuangan. Andai saja kedua orang tuanya masih disini, ia tak harus mencari sekolah pemerintah yang kita ketahui tak dipungut biaya.

     "Apa aku boleh keluar hari ini?" tanya Jason ceria.

     "T-Te-Tentu..." jawab Mrs.Briph menutupi keheranannya sebagai kebiasaan tertentu.

     Jason keluar ruangan di lantai 2 itudengan berlari seakan bebas dari segala beban yang ditumpuk di pundaknya, tapi tidak seperti itu bagi Jason. Pelariannya hanya lah pohon Apel di sudut taman. Ia berlari sekuat tenaga, ia tertawa sampai pipinya keram, tapi matanya tak mendukung itu semua.

     Matanya menatap nanar. Tak ia sangka sang walikelas yang seharusnya menjadi orang tua kedua baginya, dapat melecehkannya begitu saja.

    Taman belakang sekolah yang dingin tak bisa melawan bergolaknya badan Jason. Pria jangkung nan ramping yang berlari dengan sigap itu menerjang tumpukan es di setiap samping jalannya. Salju-salju yang kian menebal tak ingin menghentikan distribusi,mereka acuh dengan pria malang itu.

     Pohon itu,sasarannya. Pohon bersalju tebal di bagian atasnya. Ia menyampaikan seluruh amarahnya pada pohon itu. Dengan satu kepalan tangan, seluruh pembuluh darahnya menyalurkan darah meletup. Para salju turun serentak,kehilangan pijakan. Pikiran akan kedua orang tuanya yang memilih bunuh diri kembali berkecamuk. Sayang tubuhnya tak merespon seperti yang ia inginkan.

Derta DutchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang