6. Bookstore (2)

11 1 0
                                    

Kini pria itu telah mengganti pakaiannya dengan sehelai sweater hitam yang bukan ukurannya. Bagian lengan dan pinggang terlihat jelas kebesaran. Tapi apa boleh buat, semua pakaiannya telah terlahap basahnya hujan yang merembes ke ranselnya.

Segelas coklat panas terselip di kedua tangannya. Celana coklat membuatnya merasa seperti pria abad 80 an. Kedua kaki jenjang ia lipat di atas kasur empuk untuk mengurangi sakitnya berjalan dalam hujan.

"Sebenarnya kau hendak kemana anak muda?" Pria tua yang belum ia ketahui namanya duduk tepat dihadapannya. Pria itu mengenakan setelan yang serupa dengannya. Sebuah sweater abu (cukup membuatnya berpikir semua pakaian kakek itu adalah sweater) dengan celana katun longgar.

"Saya dalam perjalanan mencari tempat tinggal." Ia menjawab cukup yakin.
"Tempat tinggal? Di letutia ini?" Kakek itu seakan menanyakan hal yang tak mungkin. Apa yang salah dengan mencari rumah di letutia?

"Anak muda, pertumbuhan tempat tinggal di letutia tidak memenuhi jumlah penduduk. Para pembangun sudah menyerah dengan kondisi letutia yang bertanah labil dan cuaca tak menentu. Pemukiman terakhir adalah SunCloud di ujung timur. Setidaknya butuh 3 jam perjalanan." Pasangan dari pria tua itu menjelaskan dengan aksen daerah setempat.

Hah? Bagaimana bisa hal ini tak aku cari tahu?

Jason tertegun untuk sementara. Rencana dadakan memang berpeluang kecil untuk berhasil. Tapi ia telah menyerahkan semua kepercayaannya pada rencana itu. Ia tak pernah memikirkan apa yang akan ia lakukan jika rencana itu gagal. Ia yakin berhasil. Tapi..

"Jadi apa rencanamu?" Sang pria tua bermata biru es itu bagai pemimpin kerajaan bijaksana yang berbicara pada panglimanya.

"Entahlah. Uangku habis,rencana ku gagal, mungkin aku akan mengemis di jalanan." Rasa keputusasaan tak bisa tersirat begitu saja. Tak semudah memalingkan wajah.

"Ethan, bisa kita bicara sebentar?" Sang nenek menyebutkan nama suaminya dengan fasih setelah 45 tahun pernikahan mereka tentu saja  ia sudah terbiasa. Sang suami menatapnya lembut dan segera meng-iya-kan permintaannya.

Mereka beranjak dari ruangan itu menuju ruangan dibaliknya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi pasti itu berkaitan dengan Jason.

Tiba-tiba saja Dutch mengingat kedua orangtuanya yang seakan ada di ruangan itu.

Bersamanya.

Sesegera mungkin ia menepuk dahinya berkali-kali hanya untuk membuatnya sadar. Senyum mulai berkembang, wajah berseri mulai menampak.

"Maaf namamu siapa nak?" Tak ia sadari pria tua yang akhirnya ia ketahui bernama Ethan itu kembali duduk di hadapannya.

"Dutch. Jason Dutch." Jason bertingkah semua baik-baik saja seperti musim gugur yang menawan.
"Baiklah Jason, sampai mana pembicaraan kita tadi?"
"Aku akan mengemis di jalanan."
"Oh ok baiklah. Apa ada yang bisa kau  lakukan? Mungkin saja kau bisa jadi musisi jalanan kan?"

Entah bagaimana aura penolong sangat kental terasa olehnya.

"Memasak?" Kata itu segera keluar dari mulutnya seakan itu hal yang lumrah. "Kau tak mungkin memasak di jalanan nak. " Jason tertegun.  Benar. 

"Kau bisa menambang emas?  Di timur laut ada sebuah tambang emas yang lumayan besar.  Mungkin kau bisa bergabung. " Jason semakin tertegun.

"Sepertinya.. " belum selesai ia menjawab. "Tidak,  aku hanya bercanda.  Santailah nak.  Aku tak akan menyuruh mu menambang emas,  hanya menggosok punggung para penambang emas.  Kini Jason enggan menjawab,  ia hanya menelan ludahnya. 

"Hahaha,  kau lucu nak.  Kau boleh bekerja di toko kami. " Pria tua itu mengeluarkan tawa beratnya melihat wajah Jason.  Sedangkan yang diajak mengobrol hanya "ngahuleng" ia tak merasa ada yang lucu. Akhirnya ia tertawa hanya sekedar menghormati bos nya. "Kau bisa bekerja mulai besok,  kau bisa menggunakan ruangan atas,  baju-baju mu pasti basah. Mintalah pada Amy beberapa baju ku. Mungkin ukurannya tidak pas denganmu,  tapi itu cukup hangat untuk malam ini.  Gaji akan ku berikan setiap hari minggu.  Gaji mu akan aku potong setengahnya untuk biaya hidupmu disini.  Amy akan memasak untuk kita jadi kau tak perlu khawatir. Tak ada peraturan yang berarti di rumah ini. Anggaplah rumahmu sendiri walau kau tak bisa. " 

Ini pertama kalinya seseorang meminjamkan baju dan memberinya tempat berlindung. Seperti orang tua nya.  

"Ayo makan malam. " Amy keluar dari dapur sembari membuka celemek pink yang tadi ia gunakan. "Ayo nak,  anak kandung kami meninggal saat ia berusia 10 tahun. Kau akan kami anggap sebagai anak kami sendiri.  Ayo makan. " Jason melihat sekelebat air di mata pria tua itu.  Jason berpikir sejenak.  10 tahun?  Itu tepat saat kedua orangtuanya meninggal dunia. 

Badannya terbawa oleh harapan akan kasih sayang dan mendatangi meja makan bundar dari kayu jati.  Berbagai makanan rumah tersaji rapi di sana.  "Mari makan!" ketiga nya seperti keluarga kandung. Kehangatan kembali hadir di hati ketiganya sejak 7 tahun yang lalu. Walau sedikit canggung tapi gunung es mulai mencair. 

                                                                                                       -o0o-

Kamar berdinding abu-abu itu cukup luas untuk nya sendiri.  Berbagai barang gaya retro ada di sana.  Sebuah radio, kaset,  mp3,  dan beberapa kardus buku lama ada di ujung ruangan.  Benda-benda itu berdebu setebal 1 mm, membuatnya bersin berkali-kali.  Tapi ia bahagia ia bisa memulai hidupnya lagi dari awal di tempat yang baru. Walau mungkin hal yang sama akan terulang kembali.

Kasur tua polos dengan selimut tebal berkerut karena berat beberapa baju yang juga tua.  Jason terduduk dengan menatap baju-baju itu.  Membayangkan sosok ayah yang juga suka berpakaian sweater.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Derta DutchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang