Hampir setiap tahun setelah Tiara mengenal keluarga tersebut, dirinya selalu datang ke acara haul almarhum Ayah temannya itu dan membantu agar acaranya berjalan dengan lancar. Seperti sekarang, dirinya beserta Reno dan Ayu tengah membagikan bingkisan untuk anak-anak panti asuhan setelah doa dan dzikir bersama telah selesai.
"Makasih banget loh Ra lo udah mau bantuin keluarga gue hari ini," ucap Ayu sambil merapikan barang-barang sisa acara tersebut.
"Sama-sama," Tiara tersenyum lalu kemudian dirinya menyenggol bahu Ayu, "lagian buat apa lo pake acara terima kasih segala sih? Kayak sama orang lain aja."
"Oh iya yah gue lupa hehehe....elo kan calon kakak ipar gue."
"Ih! Mana mau gue iparan sama lo...idih..!"
"Eh jangan gitu dong. Dinikahin kakak gue mau, masa giliran iparan sama gue nggak mau sih..."
"Siapa yang mau nikah?!"
"Elo sama mas gue lah..."
"Amit-amit..."
"Nggak boleh gitu Ra, ntar jalan lo menuju pelaminan sama kakak gue banyak rintangan..."
Tiara memutar bola matanya tanda jengah, "siapa sih yang mau nikah sama kakak lo yang galak itu..."
"Tapi ganteng kan Ra?" goda Ayu.
"Tapi ngeselin...." sahut Tiara.
"Tapi cinta...." ucap Ayu seraya mencubit pipi Tiara gemas.
"Apaan sih...!" Tiara membalas cubitan Ayu dan mulai menggelitiki sahabatnya tersebut. Mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Ketika tengah asik bercanda, Tiara tanpa sengaja melihat Anjani tengah bebicara dengan seseorang. Tiara mencoba mengenali siapa yang tengah berbicara dengan Anjani. Namun orang yang tengah berbicara bersama Anjani terlindung di balik pohon-pohon yang tumbuh di seberang jalan rumah mereka. "Yu...Yu...Tante Anjani lagi ngomong sama siapa?" tunjuk Tiara ke arah Anjani.
Ayu mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Tiara. Dirinya juga tidak melihat siapa yang tengah berbicara dengan Bundanya. "Gue samperin Bunda dulu ya Ra..." ucap Ayu sambil melangkah pergi menuju tempat Anjani berada sekarang. Sedangkan Tiara hanya mengangguk menanggapi perkataan sahabatnya tersebut.
Ketika Ayu semakin dekat dengan Anjani dan dirinya kini mulai melihat siapa yang tengah berbicara dengan Bundanya tersebut. Seorang pria paruh baya, berperawakan tinggi namun sedikit bungkuk. Pria paruh baya tersebut menyadari kehadiran Ayu diantara dirinya dan Anjani. Lalu matanya memberi isyarat pada Anjani bahwa ada seseorang yang tengah memperhatikan mereka berdua.
"Baiklah Jani, mas pamit dulu...." Pria tersebut berpamitan dan sekilas terlihat tersenyum pada Ayu. Ayu memperhatikan orang tersebut, dirinya tidak pernah melihat orang itu sebelumnya.
"Eh, kamu nak..." ucap Anjani ketika dirinya membalikkan tubuh dan sedikit terkejut karena kehadiran Ayu.
"Bun...."
"Iya...." sahut Anjani sambil membelai lembut rambut sebahu Ayu.
"Itu siapa?" tanya Ayu sambil melihat kembali ke arah pria paruh baya tersebut lalu menatap mata Anjani. Entah penglihatannya yang salah atau memang benar, dirinya melihat mata sembab Anjani. "Bunda kenapa?" tanya Ayu khawatir. Ayu meraih tangan Anjani yang sedari tadi mengelus rambutnya. Tangan Anjani bergetar, "Bunda kenapa?" kali ini bukan hanya nada khawatir yang terdengar dari suara Ayu namun juga nada mendesak agar pertanyaannya dijawab.
"Enggak papa..." sahut Anjani seraya mengulas senyum di wajahnya.
Ayu mengernyitkan keningnya tanda tidak setuju dengan jawaban yang dilontarkan oleh Anjani. Bunda pasti bohong, pikirnya. Tapi entah kenapa dirinya tidak mau mendesak agar Anjani menjawab pertanyaan dengan jujur, setidaknya...tidak untuk sekarang tapi nanti. Pasti...itu pasti...dirinya akan mengetahui apa yang tengah Anjani coba untuk sembunyikan darinya.
"Eeem...kita masuk ke dalam, bantuin yang lain beres-beres," ucap Anjani seraya menggiring Ayu untuk kembali ke rumah. Ayu tersenyum dan mengikuti langkah Anjani memasuki rumah.
.
.
**
Reno memasuki dapur, berniat mengambil segelas air putih untuk dibawa ke ruang kerjanya. Ketika menuangkan air ke dalam gelas yang terletak di atas meja makan, dia melihat sebuah lemon cake kesukaanya juga ada di atas meja tersebut. Di atas lemon cake tersebut dibubuhi tulisan 'Happy Birthday mas' disertai tiga buah lilin kecil yang menghiasinya."Surpise!" Teriak Ayu dan Tiara bersamaan.
Reno terkejut, sungguh dia sangat terkejut. Bagaimana tidak, suara Ayu yang cempreng melengking menusuk gendang telinganya, ditambah lagi suara Tiara yang juga tidak kalah nyaringnya.
Anjani melangkah menghampiri mengikuti kedua gadis tersebut. Senyum terukir di wajah Anjani karena rencananya bersama ayu dan Tiara telah berhasil membuat Reno terkejut.
"Selamat ulang tahun kesayangan Bunda..." Anjani memeluk Reno sambil mencium pipi kanan dan kirinya.
"Happy menua mas bro!" Pekik Ayu sambil menghambur dipelukan Reno.
"Selamat ya mas!" Ucap Tiara dengan senyum menghiasi wajahnya.
"Ciyee! Masku masih kaget hahaha...!" Ledek Ayu ketika Reno masih berdiri dengan wajah bingungnya. "Berhasilkan kita surpise-in mas, ini ide aku lho mas. Nah, kalo kuenya khusus dibuatin sama Tiara...sama Bunda juga. Yaudah deh, mas pasti nungguin acara tiup lilinnya kan? Sini biar wanita cantik yang nyaliin," ucap Ayu seraya menyalakan korek.
Ayu mengangkat lemon cake itu tepat di hadapan wajah Reno agar laki-laki itu mudah meniup lilinnya. Tapi bukannya meniup lilin tersebut, Reno justru pergi meninggalkan dapur tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiara yang berdiri di belakang Ayu sudah menduga ini akan terjadi lagi.
"Mas!" Teriak Tiara menghampiri Reno. "Mas kenapa sih selalu kayak gini?!"
"Kayak gini gimana maksud kamu, dek?"
Mereka berdiri di depan pintu ruang kerja Reno. Ayu mengepalkan telapak tangannya, berusaha menahan luapan amarahnya. Tapi sepertinya kali ini dia tidak berhasil untuk menahannya.
"Iya kayak gini, mas. Setiap kali ya mas, setiap kali kita pengen ngerayain ulang tahun mas, setiap itu juga mas menolaknya. Padahal kita ngerayainnya juga nggak yang aneh-aneh. Cuman tiup lilin, udah gitu aja. Tapi kenapa mas selalu nolak sih?! Mas nggak bisa ngehargain usaha orang nyiapin ini semua?!"
"Bukannya mas nggak ngehargain, dek. Udahlah, kamu nggak ngerti juga."
"Justru karena aku nggak ngerti, mas kasih tau aku dong. Kenapa sih mas?"
Reno menarik nafas dalam. Walaupun biasanya mereka sering berdebat atau bertengkar. Tapi entah kenapa kali ini dia tidak ingin bertengkar dengan Ayu.
"Dek, mas nggak mau memperingati hari lahir mas itu setelah apa yang terjadi sama keluarga kita. Kamu pasti tau kan maksud mas."
"Apa hubungannya hari lahir mas dengan kepergian Ayah?"
"Dek..."
"Apa kejadiannya di hari yang sama. Jadi mas nggak mau?"
"Itu kamu tau."
"Alasan kekanakan, mas."
Reno mengernyit, tidak mengerti maksud dari perkataan Ayu.
"Mas itu kekanakan. Mas Reno takut ngerayain hari lahir mas karena hal itu. Gila mas! Mas hari ini bersyukur karena umur mas bertambah tapi bukan berarti mas bersyukur karena ayah meninggal. Memang dalam satu hari kita diberi musibah tapi kita juga diberi rezeki kan di hari yang sama. Bersedih untuk musibah itu tapi jangan lupa bersyukur atas rezeki yang diberikan Tuhan, mas, misalnya bertambahnya usia kita."
Reno hanya diam mendengar semua yang diucapkan Ayu.
"Mas Reno, dengan mas merayakan hari lahir mas, itu nggak akan bikin Ayah sedih atau ngehina atau apapun itu yang ada dipikiran konyol mas. Mas, malah bikin Ayah sedih karena betah dengan rasa sakit yang sama."
"Tau apa kamu tentang Ayah?"
Mulut Ayu bergetar, matanya memanas ketika mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Reno.
"A-aku...aku emang nggak banyak tau Ayah. Tapi, aku tau pasti Ayah nggak suka dengan kelakuan mas sekarang. Aku yakin itu, mas. Karena aku juga anak Ayah," ucap Ayu bergetar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Time to Heal
ChickLitAnjani dirundung rasa duka yang begitu dalam juga kebimbangan ketika seseorang dari masa lalu kembali hadir dalam hidupnya.