"Apa perlu aku jemput di bandara?", tanya Celina.
"Tidak usah, aku naik taksi saja. Aku akan menelpon mu begitu aku sampai", ujar Ben di ujung sana.
"Baiklah. Hati-hati", ujar Celina.
"I miss you", ujar Ben lirih.
Entah mengapa nada getir seperti terselip dalam suara Ben. Setidaknya itulah yang di dengar oleh Celina.
"I...miss you too", ujar Celina.
Celina menatap ponsel di tangannya. Sesuatu yang salah mengusik hatinya. Tapi apa?
Ben pulang hari ini setelah empat hari sibuk dengan pekerjaannya di San Diego. Dua hari lalu Ben bilang dia sekalian menemui Ibunya yang tinggal di San Diego.
Apakah ini...perasaan berdesir ini ada hubungannya dengan itu?
Celina terduduk di sofa di kamarnya. Sementara ini dia memutuskan untuk tinggal di mansion Leandro, mengingat sedikit insiden yang menimpa Stephanie beberapa hari lalu. Juga Celina berpikir bahwa dia harus membantu Stephanie dengan persiapan pernikahannya.
Sementara itu di San Diego. Di kamarnya. Ben berdiri menghadap ke arah cermin besar. Menatap pantulan wajahnya dalam cermin itu. Sisa-sisa kemarahan dan penyesalan jelas tergambar di wajahnya. Pertengkaran kemarin dengan Ibunya, memang bukan pertengkaran pertama mereka, namun kali ini Ben merasa pertengkaran ini akan membawa dampak hebat dalam hidupnya.
Bertahun lalu, saat semua terasa sulit bagi Ben. Saat sang Ayah meninggal, dengan meninggalkan Ibu yang tengah dalam masa rehabilitasi karena kecanduan alkohol. Itu adalah masa terberat dalam hidupnya. Masa di mana karier mulai di rintisnya di selingi umpatan kasar sang Ibu, bukan dorongan semangat atau sebuah pelukan hangat.
Kala itu sang Ibu sangat marah besar karena Ben mengambil keputusan, tetap menempatkan ibunya di Panti Rehabilitasi untuk beberapa bulan ke depan atau berapapun waktu yang di perlukan untuk membuat ibunya bersih dari alkohol, alih-alih membawanya pulang ke rumah atau mengajaknya ke New York.
Dan sekarang setelah dua tahun, Ibunya di nyatakan bersih dan akhirnya kembali ke rumah mereka. Lalu Ben mendapatkan proyek di San Diego. Sebuah proyek besar dengan hasil yang sanggup membuat Ben tersenyum dan tak henti bersyukur.
Sesaat setelah makan siang di rumah, Ben mencoba menceritakan bahwa dia tengah dekat dengan seorang wanita. Awalnya Ibunya terlihat sangat gembira. Namun semua berubah menjadi percikan kecil yang kian membesar saat Ben mengatakan bahwa gadis yang di cintainya akan sulit mempunyai keturunan. Saat itulah Ibunya mulai meminta Ben melepaskan gadis itu. Memintanya mencari perempuan lain yang dapat memberinya keturunan.
Berulang kali Ben menjelaskan bahwa Celina, bukan tidak bisa mempunyai keturunan namun mungkin akan memerlukan waktu yang sedikit lebih lama di banding dengan pasangan lain.
Ibunya tetapa menggeleng. Perdebatan berakhir dengan tidak baik. Menimbulkan luka baru di hati Ben. Ibunya bahkan menggeleng untuk usulan Ben agar Ibunya bertemu dan mengenal Celina terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CELINA (SUDAH TERBIT)
RomanceWARNING : 21++ NASKAH INI MENGANDUNG UNSUR SEX DETIL. YANG BELUM CUKUP UMUR SILAHKAN KEMBALI LAGI LAIN WAKTU. Aku, penyimpan sedih yang handal. Aku topeng yang sempurna. Tapi aku juga punya lara yang rapat kututupi. Hanya dia...yang tahu. Celina Hea...