Fying Dandelion

19.4K 2.1K 136
                                    

Bunyi alat pendeteksi detak jantung setia menemani di ruangan ICU di mana sebuah raga terbaring diam. Sekali waktu, sudut bibir pria itu tertarik sebuah senyuman. Atau sudut matanya yang menganak sungai air mata.

Entah apa yang berkecamuk di dalam pikiran seorang Benjamin Devonshire. Jiwanya tengah mengembara dan terhempas ke padang rumput tak bertepi.

Seperti pagi ini, kembali sudut bibirnya mengurai sedikit senyuman. Jiwanya sedang berkelana ke sebuah rumah bergaya Tudor di mana gadis mungil bernama Louisa terlihat sedikit rewel dalam buaian sang nenek.

Jiwa Ben bertanya, lalu di mana wanita pujaan hatinya? Celina...

Sebuah sentuhan menyentak nurani Ben. Usapan tangan halus yang sangat di hafal nya. Sangat di gilai nya. Menyelusur hangat. Ben tahu, Celina sedang membersihkan tubuhnya. Oooh...andai Ben bisa membuka mata. Ben ingin memeluk wanita yang telah banyak menderita karenanya itu. Meminta maaf berulangkali atas semua yang dilakukannya.

"Hai, kau sudah bersih dan wangi sekarang, Duke....", ujar Celina di telinga Ben.

Celina mencium pipi Ben lembut.

"Nanti, saat kau bangun yang pertama harus kulakukan adalah membuatmu makan banyak. Kau terlihat kurus dan itu tidak keren sama sekali", ujar Celina sambil menyisir rambut Ben.

Celina menghela napas panjang. Sudah lebih dari sebulan Ben seperti ini. Dia selalu berusaha tenang. Walaupun begitu dia menapakkan kaki keluar dari ruang ICU, air mata selalu luruh di pipinya.

Keadaan menjadi lebih baik, saat Ibu Ben sudah menjadi lebih kuat menghadapi kenyataan ini. Bahkan dengan kasih sayang yang berlebih, beliau menjaga Louisa bersama - sama dengan Lucy, ibunda Celina.

Celina duduk di samping Ben setelah semua selesai. Ben terlihat lebih segar. Terlihat tetap menawan saat tertidur seperti sekarang ini.

Rasanya lelah menghitung hari. Ini hari ke lima setelah tiga puluh satu hari lalu. Rasanya tetap menyesakkan, namun Celina selalu berusaha tampil cantik walau Ben masih enggan menatapnya. Celina juga cukup waras untuk makan dengan benar. Sedikit berolahraga dan mengurus semuanya sesuai standar Ben.

"Kau tahu, akhir-akhir ini aku sering bertanya dalam hati, apakah kau tidak merindukanku? Aku bahkan hampir gila merindukan sentuhan mu Ben. Kita tergila-gila satu sama lain, atau hanya aku yang merasakan itu semua?", ujar Celina lirih.

Selama ini, Celina tak pernah mengeluh. Namun melihat kondisi Ben yang seperti ini rasanya menyesakkan. Sulit sekali untuk terbiasa.

Celina mendesah pelan. Meluruhkan semua lelahnya menguap bersama udara. Lelah ber monolog akhirnya Celina terdiam. Napasnya beriringan dengan suara monitor detak jantung Ben.

*

"Bagaimana Louisa, Mom? Maaf aku belum bisa pulang. Dokter sedang memeriksa kondisi Ben", ujar Celina pada Ibu Ben di seberang sana.

Celina terlihat mendengarkan suara di telpon genggamnya sejenak sebelum akhirnya memasukkannya kembali ke dalam tas.

Pukul 08 : 30.

Celina baru saja selesai mandi dan hendak mencari kopi di kafetaria ketika para dokter mulai memeriksa Ben.Tigapuluh menit kemudian semuanya selesai dan Celina sudah di bolehkan masuk lagi ke ruangan Ben.

Celina. Seperti biasa terduduk di sisi Ben. Tapi hari ini Celina hanya terdiam. Membisu.

Hening yang menyayat hati itu akhirnya terusik oleh isakan Celina.

"Maaf Ben...tapi pagi ini aku cengeng sekali. Aku hanya ingin menangis. Banyak pelukan dan kekuatan yang di berikan padaku, namun terasa lain kalau itu bukan darimu, Ben. Aku tidak pernah meminta apapun darimu bukan. Kali ini, boleh kan kalau aku meminta sesuatu padamu?", tanya Celina lirih.

CELINA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang