"Kau melewati batasan mu Mom", ujar Ben geram.
"Tidak selama kau tidak menurut pada Mom, Benjamin. Ingatlah...kau anakku. Kewajiban mu adalah menurut padaku ", ujar Sylvia Devonshire dengan nada sinis.
"Kau bahkan sudah kehilangan hak mu sebagai Ibu, saat kau tidak memenuhi kewajiban mu merawat ku dan berada di sisiku sejak bertahun lalu", ujar Ben.
Sylvia melengos dan melangkah keluar dari kamar berteralis itu, sambil mengibaskan kipas di tangannya. Jubah tidurnya melambai dan heels yang di pakainya menghentak. Menghasilkan bunyi yang membuat Ben muak.
Ben menatap sebuah surat kabar yang tergeletak di sampingnya. Fotonya dengan seorang perempuan bernama Lydia Winchester. Seseorang yang merupakan sepupu jauhnya dari garis sang Ayah. Lydia adalah anak bibinya yang menikahi bangsawan Winchester dari Skotlandia. Jelas sekali foto itu adalah sebuah rekayasa.
"Kau bahkan tidak memikirkan kemungkinan bahwa keturunan kita kelak akan lahir dengan sebuah cacat yang harus di sembunyikan seumur hidup. Kau...dan pikiranmu yang sangat dangkal Mom", batin Ben.
Bukan mereka tidak tahu, bahwa banyak dari keturunan Devonshire harus terkurung di dalam kastil, karena lahir dengan cacat bawaan yang di sebabkan pernikahan dalam satu garis keturunan. Namun tradisi itu masih saja di pertahankan oleh sebagian besar keturunan Devonshire semata - mata karena mereka berambisi mempertahankan harta mereka.
Tradisi itu terputus semenjak ayah Ben, Duke of Devonshire terakhir, menikahi Sylvia. Namun sekarang justru Sylvia menjadi berambisi mempertahankan tradisi itu, semata - mata karena dia tidak mau kehilangan sebagian besar harta turun - temurun Dukedom Devonshire.
"Aku akan mengikuti permainanmu, Mom. Semata agar kau tidak menyakiti Celina dan anakku", geram Ben.
Ben mendongak. Pintu terbuka, dua orang pengawal datang dan dengan kasar membuka rantai di pergelangan kaki Ben.
Ibunya kembali masuk.
"Bersihkan dirimu. Lydia akan datang untuk minum teh satu jam lagi", ujar sang Ibu sambil menjentikkan jari.
Dua orang maid wanita datang dengan handuk dan baju bersih.
Ben menatap ibunya.
"Baiklah Mom. Aku akan mengikuti apa maumu. Tapi jangan pernah kau menyentuh Celina. Dan...jangan berharap lebih padaku. Aku bisa menikah dengan Lydia, tapi...jangan mengharapkan apapun dariku", ujar Ben.
"Well...selama kau bersikap baik pada Lydia dan mau menikah dengannya... Aku tidak akan menyentuh sehelai rambut gadis itu", ujar Ibu Ben.
"Dia sedang mengandung Mom", ujar Ben.
"Bisa jadi itu bukan anakmu", ujar Ibu Ben ringan sambil berbalik dan melangkah keluar dengan cepat.
Ben terhenyak. Ibunya benar-benar tidak mempunyai hati. Benar-benar sudah di butakan oleh nafsu duniawi. Bahkan dia sudah sangat melampaui batasannya dalam memperlakukan Ben yang sudah dewasa.
Satu hal yang membuat hati Ben begitu terluka, ibunya bahkan tidak mempercayainya dan menilai Celina sedemikian buruk. Bisa-bisanya dengan ringannya dia berkata bahwa bayi yang berada dalam kandungan Celina bukan anak Benjamin? Di mana letak nurani ibunya? Apakah dia menganggap Celina adalah wanita yang tidak benar?
Ben menghela napasnya kasar dan melangkah menuju kamar mandi.
*
Lady Lydia Winchester adalah seorang gadis yang kaku. Sangat menjunjung tinggi etika kebangsawanan yang nyaris membuat Ben tersedak.
Acara minum teh sore itu terasa kaku. Ibu Ben dan Lady Lydia lebih banyak membicarakan acara-acara kegiatan sosial mereka. Ben hanya terdiam.
"Ben, ajaklah Lydia berkeliling tamam, sayang", ujar Ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CELINA (SUDAH TERBIT)
RomanceWARNING : 21++ NASKAH INI MENGANDUNG UNSUR SEX DETIL. YANG BELUM CUKUP UMUR SILAHKAN KEMBALI LAGI LAIN WAKTU. Aku, penyimpan sedih yang handal. Aku topeng yang sempurna. Tapi aku juga punya lara yang rapat kututupi. Hanya dia...yang tahu. Celina Hea...