Bab 4

188 32 7
                                    

Tak berapa lama setelah itu, mereka tiba di pekarangan rumah auntie.

"Oh lala, Lis ayo turun !"

Sebuah rumah minimalis 1 lantai, dengan pekarangan rumah dan sebuah kandang anjing di dekat deretan bunga kesayangan auntie. Di samping rumah tersebut, ada sebuah rumah pohon yang terawat, lengkap dengan teleskop yang selama ini ia idamkan.

Lis melihat rumah pohon tersebut cukup lama, matanya membulat dan mulutnya terbuka lebar, menunjukkan rasa kagumnya terhadap rumah pohon itu.

"Well ... Kamu bisa menaikinya nanti, setelah kutunjukkan kamarku, honey." ucap auntie seraya membuyarkan lamunannya.

"Tentu ?"
"Ya, Tentu !"

Segera aku berlari dan mengangkat koperku dengan semangat dan wajah berseri-seri lalu mengikuti auntie dengan langkah yakin, tidak sabar untuk mengunjungi rumah pohon tersebut.

Mereka berjalan menuju salah satu belokan ke kiri dan kamar tersebut, merupakan kamar peninggalan grandma, sebelum ia pindah ke kamar barunya di depan, karna lebih dekat dengan taman yang merupakan kesukaan grandma. Di dalam taman itu, terdapat berbagai macam bunga dan tumbuh-tumbuhan. Ya, tentu saja. Grandma adalah seorang florist, dan bersama Grandpa, ia memulai bisnis tumbuhan hias yang masih berlanjut hingga sekarang. Hanya saja, sekarang toko bunga tersebut dipegang kendali oleh auntie.

"Nah Lis ... Letakkan barangmu disini. Feel free to do anything here, Lis. Anggap saja ini seperti rumah. After this, kamu boleh naik ke atas rumah pohon tersebut." Auntie membuyarkan pikiranku sesaat, dan diikuti dengan senyum penuh kebanggaan yang menghiasi wajahku.

"Sungguh ?" Aku tak mempercayai kata-kata auntie barusan. Memang sih, auntie orang yang baik, tapi kalau sampai aku boleh melakukan apapun disini, I don't think so it's a good idea, she's not my closest family, actually.

"Sure ! Oh ya, ada teh di bar dapur depan, itu teh andalan Grandma mu."

"Thanks Auntie !" Aku segera meletakkan koper dan tas ku, meminum teh yang dibuatkan oleh Grandma, dan memanjat rumah pohon yang menarik perhatianku dari awal itu.

Auntie yang melihat hal tersebut hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa cekikikan. Mungkin ia berpikir, aku sudah cukup dewasa, namun tingkahku tidak bisa dibedakan dengan anak umur 5 tahun.

"Oh nak ... Mengapa kau tertawa-tawa sendiri ?" Grandma tiba-tiba masuk dari pintu belakang dan mendapati auntie tertawa hingga mengocok perutnya.

Melihat kedatangan Grandma, refleks ia menunjuk ke arahku yang saat itu sedang memanjat tangga sebelum masuk ke rumah pohon tersebut.

"Ya ampun ... Lis kecilku memang berubah, namun sikapnya tetap saja kesayanganku." Grandma tersenyum tulus, memamerkan gigi-gigi rapinya, terlihat ia mengenang memori masa kecilku, ketika aku masih menginginkan segala sesuatu, sebuah pikiran anak kecil yang bebas dan ringan.

...

Aku memanjat tangga rumah pohon tersebut perlahan-lahan, namun, tak sampai-sampai juga. Aku baru menyadari, ternyata tangga yang terbuat dari tali tambang dan balok kayu yang licin jauh lebih SUSAH daripada tangga kayu yang biasa kunaiki dalam taman bermain dekat sekolahku.

Tak tahan dengan susahnya memanjat tangga tali tersebut, refleks aku berteriak. Aku menggeram dan pada akhirnya, aku menyerah. Auntie dan Grandma segera menghampiriku dan tertawa begitu melihat mukaku penuh dengan keringat dan bersemu merah.

"Lis ... Aku lupa memberi tahumu, tali tangga tersebut semestinya dieratkan dengan sebuah balok kayu jati yang tidak licin. Namun, karna si John, sepupumu itu mengambil kuliah di Prancis, kita biarkan itu tangga, hingga terlepas sendirinya."

Aku mendengus kesal. Sia-sia sudah usahaku, daritadi aku baru sampai di balok ketiga, sedangkan total balok untuk mencapai rumah pohon tersebut adalah enam.

"Argh auntie ... Mengapa kau melupakan hal tersebut ? Tenagaku terkuras sangat banyak untuk menapakkan kakiku pada balok licin ini."  Aku menepuk-tepukkan kedua tanganku dari balok kayu yang lapuk dan membaringkan diri di rerumputan dekat rumah pohon tersebut.

Auntie dan Grandma hanya memandangku, dan mungkin mereka tak tahu, mata mereka membulat.

"Ada apa ? Tidur di rerumputan adalah hal yang lumrah. Justru menyenangkan !" ucapku seraya mengguling-gulingkan badanku hingga akhirnya aku tersadar.

"Ihhhh .... ini apa ?" Wajahku mengernyit sambil mengibas-ngibaskan tangan ku dari gumpalan lunak tersebut.

Aku berpikir, mungkin itu adalah lumpur. Namun, sebelum aku meyakinkan diriku bahwa itu lumpur, auntie menjawabku.

"Itu kotoran Leslie ... Dia selalu buang kotorannya disitu."

Mendengar jawaban tersebut, sontak aku terkejut dan berlari untuk membersihkan diri menggunakan selang air taman. Dalam hati aku berkata "Oh tidak, mengapa aku sangat sial ?" Dan baru saja aku berpikir tersebut, Leslie, anjing kesayangan Auntie berjenis affenspincher itu benar-benar mendatangiku dan mulai menjilati wajahku.

"Leslie !! Hentikan ... Aduh aku sudah cukup puas dengan rumah ini. Lebih baik aku berdiam di kamar saja." Keluhku.

Namun, sekali lagi. Kesialan tidak pergi begitu saja dalam diriku. Aku jatuh terjerembab ketika menginjak batu-batu yang dipenuhi lumut. Sontak, aku menangis, begitupun dengan Grandma dan Auntie yang sebelumnya menertawaiku, kini memandangku dengan kasihan, dan lagi, pengalaman di rumah ini telah memberikan suatu oleh-oleh kepadaku, yaitu luka lecet pada siku dan lututku.

Mereka menuntunku masuk ke dalam rumah, lalu mengobati lukaku dengan obat mujarab milik grandma.

Tak tahu, ia rupanya mengambil botol yang mirip dengan obat luka tersebut, yang didalamnya berisi alkohol. Ia segera mengambil kapas dan tepat saat itu, sebelum Grandma meletakkan kapas yang sudah diisi alkohol tersebut ke lukaku, Auntie mengagetkannya.

"Grandma !! Itu alkohol ..."

Grandma membenarkan letak kacamatanya dan terkejut. "Oh maafkan aku. Untung belum terjadi."

Aku mendengus dalam hati. "Apabila itu benar-benar terjadi, hari ini jelas merupakan hari penuh sial. Terima kasih kepada auntie."

Auntie mengibas-ibaskan lukaku sambil menunggu Grandma mengambilkan obat luka. Begitu aku selesai diobati, mereka mau mengganti pakaianku dengan pakaian yang baru. Namun, aku segera menyangganya.

"Ehhhh ... Auntie Grandma, aku bisa melakukannya sendiri." Ucapku seraya berjalan tertatih-tatih menuju kamarku.

"Yakin kamu ?" Auntie rupanya tidak begitu yakin dengan jawabanku barusan.

"Iya tentu." Aku menutup pintu kamar dan tak sengaja, lututku yang terluka membentur pinggiran tempat tidur. Sontak, aku berteriak, dan mereka menghampiri kamarku lagi.

"Aduh .... Lis yaampun."

"Tidak apa-apa ... I can do this by myself." Aku mengatakan hal tersebut sambil memegangi sisi lututku dan meringis kesakitan.

"No ... Sini kuganti bajumu."

Mendengar hal tersebut, aku sontak terkejut.

"Ehhhh ... Nggak perlu kok auntie, hehehe aku bisa ganti sendiri."

Mungkin Auntie juga mengerti, maksud dari
perkataanku barusan adalah, aku malu.

"Ohh ... ok, Auntie tahu kamu malu, hahaha ... Hati-hati, don't be careless, Hon."

Aku tertawa kecil mendengar hal itu sebelum mereka meninggalkan kamar baruku tersebut dan menutup pintuku.

Aku segera mengganti pakaianku dan tertidur untuk beberapa lama, sebelum dibangunkan untuk makan siang. Yap benar, waktu antara Chicago dan London terpaut 6 jam lamanya.

Dan aku berpikir sekilas, rumah baru ini memang cukup menyiksa, namun penyiksaan tersebut adalah hal yang seru.

Dan saat itu pula, aku telah menemukan kutipan yang cocok untuk diriku.

"Kesialan tak selalu berdampak buruk."

KepergianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang