Bab 10

49 13 8
                                    

Aku menggandeng Pat ke suatu tempat dimana ia selalu menghabiskan waktunya, perpustakaan.

Pertama, ia tak tahu kemana aku akan membawanya, namun, saat melewati jembatan dan menuju menara barat. Langkahnya terhenti.

Aku menoleh ke arahnya, dengan tatapan cemas, dan tetap menggenggam erat tangannya. Tatapannya terlihat bahwa ia ketakutan, tangannya dingin, dan ia mengambil nafas lebih cepat dari biasanya.

"Ada apa ?" tanyaku dengan berhati-hati.

Ia terdiam, tatapannya tertuju pada satu arah, patung malaikat di depan menara barat. Aku ikut mencermati patung tersebut, memang terlihat agak menyeramkan, tapi itu hanyalah suatu patung malaikat yang membuka tangannya seperti memadahkan puji-pujian negeri di atas langit.

Aku menoleh lagi ke arahnya, ia tetap memandangi patung tersebut, dengan tatapan yang membuat dirinya takut. Jujur saja, keadaan saat ini cukup membuat bulu kudukku berdiri, aku ketakutan melihat dirinya sekarang ini, tapi aku berusaha untuk menerimanya, dengan janjiku sebelumnya, aku ingin menjadi temannya.

Aku memanggilnya untuk kedua kalinya.
"Pat, ada apa ?"

Ia tetap terdiam seribu bahasa, tangan kanannya terangkat pelan-pelan, menunjuk ke arah patung itu. Aku mengikuti arah tangannya hingga tangan tersebut berhenti. Mulutnya terbuka, dan ia berbisik.

"Malaikat itu, malaikat yang menolongku saat kecelakaan tejadi. Aku takut untuk menemuinya lagi".

Aku terdiam pula. Tidak tahu harus berkata apa, hanya memandangnya dalam-dalam, penuh dengan kecemasan.

Ia menyadari pandanganku, mengerjapkan matanya beberapa kali dan tersadar bahwa aku memandanginya dari tadi.

"Oh maaf, aku tidak sadar. Ayo kita masuk, aku tahu tujuanmu". ia berucap sedemikian rupa di tengah rasa takut yang menyelimutinya lalu berjalan masuk ke pintu menara barat.

Aku hanya mengangguk dan mengikutinya di belakang, dalam hati aku berfikir "Sungguh aneh sebenarnya anak ini, tidak salah tentang apa yang teman-teman fikir tentang dia. Tapi dalam satu sisi, aku berfikir, bahwa segala kejadian yang ia alami memang masuk akal, meskipun aku juga agak ragu".

Kami terdiam beribu bahasa hingga sampai di pintu perpustakaan.

Ia membuka mulutnya "Ini kan tempat yang ingin kau ajak aku ?"

Aku tidak dapat mengelak, mataku yang sedari tadi membulat dengan tatapan kebingungan, ternyata memberikan suatu sirat baginya.

"Aku tahu dari tadi kau memikirkan tentang ucapanku tadi benar atau tidak kan ? Kau juga sadar kan tentang mengapa teman-teman menganggapku aneh ?" Ia menghela nafas panjang, tatapannya kecewa, tubuhnya lesu.

Aku terkejut akan perkataannya dan berusaha untuk menyela, namun ia mendahuluiku.

"Ah sudahlah. Dari dulu memang ada teman-teman yang berkata bahwa mereka ingin menjadi temanku, tapi selalu saja mereka akan menganggapku aneh di dalam hati kecil mereka. Memang, aku bisa membaca pikiran orang, dan aku membutuhkan teman, teman sejati yang tidak sekalipun berfikir aku adalah orang yang aneh". Ia menghela nafas lagi dan berjalan menjauhiku.

Aku tidak bisa berkata-kata, mulutku terkunci. Memang dalam satu sisi, aku ingin menjadi temannya, tapi pikiran mengenai ia mungkin saja aneh, itu sudah pasti. Bagaimana kita bisa menganggap seseorang tidak aneh apabila ia bertingkah tidak selayaknya seperti yang dilakukan manusia biasa ?

Maka, kubiarkan saja dia berjalan menjauh, lelah juga memiliki teman yang aneh, benar aneh, susah sekali !

Berhubung jam istirahat telah selesai, aku memutuskan untuk kembali ke kelas. Saat tiba di kelas, teman-temanku pada berkerumun di depan dan berbisik-bisik.

KepergianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang