Bab 5

166 30 4
                                    

Aku tak pernah merasakan se-bahagia ini. Kehidupan di rumah Grandma sangat membuatku bahagia, meskipun aku harus berpisah dengan mom, dad, dan juga Ed kecil. Keluarga grandma yang dulu kuanggap tidak begitu penting, karna aku tidak begitu mengenalnya, kini memberikan dampak terbesar dalam kehidupanku, tentu saja, setelah keluarga kesayanganku.

Aku berjalan menuju meja makan, untuk sarapan. Disana sudah ada grandma yang sedang memasak omelette tomat dan grandpa yang sedang asik membaca koran.

"Hai ! Selamat pagi semuanya !' ucapku dengan riang.

"Oh kamu sudah bangun, tumben sekali. Bibimu saja masih terlelap dalam alam mimpinya." jawab Grandma sambil memutar balikkan sisi telur yang sedang ia masak.

"Ih ... Memang sudah aslinya aku bukan anak yang pemalas." Aku pura-pura menggerutu, namun rupanya akting ku tidak terlalu baik, karna Grandma menanggapiku dengan tawa garing.

Sedangkan, daritadi Grandpa tetap sibuk membaca korannya. Ia memang orang paling dingin yang pernah kukenal. Mungkin sejak lahir ia memang tidak terbiasa untuk bersikap hangat, mungkin saja ... Percayalah, apabila kukatakan ini kepada Grandma, ia pasti akan mengambil jatah sarapanku sekarang dan membiarkanku kelaparan. Hahaha, iya aku bercanda.

"Lis, tolong bangunkan auntie sekarang yah ... Tumben sekali matahari sudah hampir di puncaknya, ia masih belum bangun." Grandma memanggilku dari dapur dengan lantang.

Aku segera berjalan menuju kamar auntie.

"Auntie ... Ini Lis. Aku boleh masuk ?"

Tidak ada jawaban.

"Auntie ..." Aku mengetuk pintu lebih keras dan berkata cukup keras.

Tetap tidak ada jawaban.

Curiga akan keadaan tersebut, aku memutuskan untuk memasuki kamar auntie. Dan jelas, ia tetap terlelap dalam tidurnya. Aku segera menggoyang-goyangkan tubuhnya serta membangunkannya, dan ia tetap saja terlelap.

Aku mulai panik, sehingga aku memanggil Grandma untuk datang ke kamar auntie.

"Alexa, ayo bangun." Namun tetap saja responnya sama, tidak ada jawaban.

Kami berdua kebingungan hingga akhirnya mataku tertuju pada sebuah jam weker lama, peninggalan Grand Grandma. Aku segera menyetel jam tersebut dan membunyikannya.

Nah, tak dapat dibayangkan. Auntie langsung terbangun dan ia cukup terkejut. Ia langsung duduk dan matanya membulat, serta napasnya terengah-engah.

"Auntie kenapa ?"

Ia hanya menggelengkan kepalanya. Aku segera mengambilkannya minum dan ia meneguknya sampai habis. Sedangkan, melihat auntie sudah bangun dan sehat, Grandma melanjutkan kegiatannya di dapur.

Setelah dapat mengontrol nafasnya lagi, ia baru bertanya kepadaku.

"Sudah berapa lama aku tertidur, Lis ?"

"Ehmm ... Mungkin 12 jam. Auntie tidur jam 9 kan ? Dan sekarang sudah jam 9."

Dia tersentak.

"Kamu serius ? Yaampun, kurasa mimpi telah mengontrol segala kinerja tubuhku. Aku gemetar, mimpiku tidak ingin kukenang." ucapnya, lalu menunduk sedih.

Aku terdiam melihatnya. Hatiku pilu mendengar perkataannya barusan.

"Kalau aku boleh tahu, mimpi apa itu ?" Aku bertanya dengan penuh kehati-hatian, takut menyinggung perasaannya.

Dia terdiam sejenak, dan matanya berkaca-kaca. Menyadari hal tersebut, segera diusapnya air mata tersebut dan ia mengambil nafas panjang.

"Aku bermimpi uncle mu, Lis."

Aku terkejut mendengar hal tersebut, namun hatiku pilu mendengarnya. Uncle telah meninggalkan keluarga ini ketika aku baru berumur 5 tahun, yang merupakan kunjungan pertamaku ke London. Tepat 2 hari setelah aku kembali ke Chicago, aku mendapat kabar bahwa ia kritis, dan nyawanya tak tertolong. Ia tertabrak mobil yang dikendarai oleh orang mabuk saat berjalan kaki mengantar John ke sekolah, saat itu John masih berada di elementary school dan uncle baru berusia 35 tahun.

Kenangan tersebut tidak pernah terhapus dari memoriku, meskipun aku baru mengenalnya sebentar. Senyum dan mata uncle sangat meyakinkan seorang anak kecil untuk selalu hidup bahagia dan bersenang-senang. Ia merupakan sosok yang sangat baik dan diidamkan oleh setiap anak kecil.

...

Auntie menangis sesugukan dan aku menghiburnya, meskipun aku sendiri juga tak dapat menghibur keadaan hatiku yang juga dirundung rasa pilu dan sedih. Lalu, ia bercerita cukup banyak mengenai uncle, yang tak kuketahui.

"Aku bertemu uncle mu di suatu event yang tak disengaja. Saat itu aku menghadiri pernikahan temanku yang merupakan seorang bankir, dan ia mengundang Uncle. Disana, aku melihat dia sosok yang sangat ramah dan murah senyum, bahkan ia suka menyapa setiap orang. Dari saat itu aku semakin dekat dengannya."

Raut muka senyum terlihat di muka Auntie.

"Uncle mu bukan sosok yang suka basa-basi, 10 bulan setelah perkenalan kita itu, ia mengajakku bertemu dengan orang tuanya. Dia orang yang sangat baik, jujur aku tak ingin kehilangannya."

Aku mengusap-usap pundak auntie.

"Dia orang yang baik, aku juga merindukan lollipop terakhir yang ia kasih ketika aku menjatuhkan lollipop karna salju es yang licin." Aku tersenyum memandangnya. "Dia sudah berada di tempat yang sepantasnya, dia pasti merasakan kebahagiaan abadi disana."

Auntie memandangku penuh haru, lalu ia memelukku.

"Terima kasih."

...

Setelah itu, kami berjalan ke ruang makan dan disana sudah ada Grandma dan Grandpa yang menunggu kedatangan kita.

Grandma tersenyum memandangku, begitu juga Auntie.

"Auntie mu adalah sosok yang kuat, Lis. Dia bisa menghadapi segala masalah dengan baik, bahkan dapat memberikan solusi bagi dirinya sendiri yang terbaik. Dia adalah sosok yang tegar." ucap Grandpa.

Aku tak menyangka Grandpa akan berkata sedemikian rupa. Sosok yang selama ini kukenal dingin, ternyata adalah seorang sosok yang penuh kekaguman dan hangat.

Auntie menatap Grandpa lalu ia tersenyum menatapnya.

"Itu adalah masa lalu dan sebaiknya aku tetap mengenang segala memori kebahagiaan dan jalan terbaik yang sudah Tuhan beri." ucap Auntie, mengakhiri segala memori suka dan duka mengenai uncle.

Dan asal kau tahu, dari momen ini pula, aku dan Auntie menjadi "teman dekat", dan aku tak menyangka pula, ia adalah sosok yang sangat nyaman untuk diajak curhat.

KepergianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang