Samudra menatap cermin sambil menyisir rambutnya lalu merapikan dasi dan kemejanya, hampir setiap hari ini yang dia lakukan, di ruangan yang berbeda dan di Negara yang berbeda. Dia menatap kearah jendela dengan jenuh, ya, dia jenuh dengan semuanya. Mulai dari pekerjaan, dan semua hal yang dia lakukan. Pekerjaan yang sudah dia lakoni selama sepuluh tahun ini tanpa rasa bosan dan akhirnya bosan juga. Pekerjaan yang berdampingan dengan langit dan awan kadang juga dengan hujan dan petir. Pekerjaan yang hampir setiap hari dikelilingi oleh banyak wanita cantik yang sudah tidak perlu diperhitungkan lagi bagaimana service dan kualitas mereka.
Bukan benci tapi hanya jenuh, bukan ingin berhenti tapi Samudra ingin mencicipi sebentar bagaimana rasanya tidak berdampingan dengan semua hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Dan dari semua hal di luar jenuh, Samudra ingin pulang, beristirahat di sebuah rumah yang selalu dia rindukan, bercengkrama menumpahkan segala beban dan bahagia yang dia punya. Tapi baik hati maupun pikirannya selalu mengatakan untuk tidak pulang dan jangan pernah pulang. Dari semua Negara, hanya negera tempat asalnya, Indonesia, yang tidak pernah dia kunjungi walaupun hanya sekedar transit.
Kini, entah dapat keberanian darimana Samudra memutuskan untuk pulang, pulang yang sesungguhnya. Mengobati rindu yang membelenggu hampir sepuluh tahun ini, dan mencoba untuk berdamai dengan masa lalu dan mencari penawar luka yang bisa menjadi letak sembuh yang sesungguhnya.
Menghiraukan resiko bahwa kepulangannya bukan berarti dia akan benar - benar menemukan penawar luka yang nyata. Samudra tidak pernah tahu apakah pulang yang sesungguhnya bisa menciptakan bahagia yang terasa benar dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuai Patah Hati
General FictionSamudra, 30 tahun, seorang pilot yang punya jam terbang luar biasa padat. Harinya hanya untuk bekerja, namun tak bisa dipungkiri jika lara rindu akan hangat keluarga mengharuskannya pulang setelah sepuluh tahun menata hidup dan hati jauh dari rumah...