" Ruang Rindu dan bekas luka menyatu dan terasa nyata setiap harinya..." – Samudra Resa Abianda
Samudra menghela nafas berkali – kali saat keluar dari pintu bandara, kali ini dia disini hanya sebagai penumpang yang baru sampai bukan lagi sebagai pilot yang sedang transit dan beristirahat di Negara – Negara tujuan kemana penumpangnya harus dibawa. Samudra hanya membawa satu koper kecil dan satu tas ransel berukuran kecil juga, dengan jacket jeans dan celana robek – robek yang dia pakai menghilangkan kesan dan ciri khas dari profesinya.
Setelah sepuluh tahun, akhirnya Samudra menghirup udara tempat asalnya kembali, Indonesia, Negara tempat dia hidup selama dua puluh dua tahun sebelum dia pindah ke Negara lain. Dan kini dia gugup karena harus akhirnya pulang dan entah seperti apa kehidupan di rumahnya setelah sekian lama dia tinggalkan.
Langkah Samudra terhenti ketika melihat sebuah kertas bertuliskan namanya namun keningnya berkerut ketika melihat yang memegang kertas itu adalah seorang perempuan berhijab dengan tubuh mungil dan wajah perempuan itu nampak bosan. Tapi cantik....
Samudra menghampiri perempuan itu lalu berdiri di hadapan perempuan itu dan ternyata tinggi perempuan itu bahkan hanya sampai di dadanya saja.
" Permisi, saya Samudra Resa, mba yang disuruh sama Biya jemput saya?"
Perempuan mungil itu mendongak dan entah kenapa matanya membulat seperti kaget lalu perempuan itu mundur selangkah. " Bang Sammy? Bener bang Sammy?"
Kening Samudra berkerut seketika kemudian mengangguk sekaligus heran kenapa perempuan mungil yang ada di hadapannya kini memanggilnya dengan nama kecilnya.
" Iya saya Sammy."
Wajah perempuan itu yang tadinya bosan langsung dihiasi senyum yang lebar sekali lalu perempuan itu mengulurkan tangannya, " Aku Tatjana bang, biasanya abang panggil aku Tata, aku temen Sabrina!" kata perempuan mungil yang bernama Tatjana itu dengan antusias yang mau tidak mau memancing senyum di wajah Samudra.
Samudra tidak ingat, karena seingatnya dulu sepuluh tahun lalu ketika dia memutuskan untuk bekerja di luar negeri, adik bungsunya Sabrina baru berusia dua belas tahun dan saat itu Samudra memang kurang dekat dengan Sabrina karena adik kecilnya itu lebih sibuk dengan teman – teman kompleknya. Namun karena melihat tatapan berbinar dari Tatjana, Samudra hanya mengangguk, pura – pura ingat agar gadis muda yang ada di depannya ini tidak kecewa.
" Kenapa bukan Sabrina yang jemput?"
" Sabrina lagi sibuk nyiapin pernikahannya, Bang. Tadi sih dia mau ikut, cuma sama Biya Nggak boleh."
Langkah Samudra terhenti kemudian terdiam sejenak, kenapa dia bisa lupa kalau adiknya akan menikah. Dulu saat kembarannya menikah juga Samudra tidak datang lebih tepatnya terpaksa untuk tidak datang karena sama saja menggali kuburnya sendiri jika dia datang.
" Saya lupa," lirih Samudra namun masih terdengar oleh Tatjana yang kini memandangnya dengan tatapan yang sulit di artikan.
Tatjana menghela nafas berat kemudian mengambil alih koper Samudra dengan paksa. " Kalau abang tidak terus – terusan 'kerja' pasti Sabrina dengan senang hati ngasih tahu abang, tapi sejak kejadian pernikahan mbak Rora, Sabrina memang enggan mau tahu tentang kabar abang makanya dia ngga mau kasih tahu abang, tapi dia senang kok kepulangan abang ini dekat dengan hari pernikahan dia, lain kali abang harusnya tahu kalau disini semua orang rindu sama Abang."
Samudra tersenyum miris, bahkan orang lain seperti Tatjana saja tahu masalah keluarganya kenapa malah dia yang selalu 'melarikan diri' dan menjadikan keluarganya korban dari semua hal yang bukan kesalahan keluarganya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menuai Patah Hati
General FictionSamudra, 30 tahun, seorang pilot yang punya jam terbang luar biasa padat. Harinya hanya untuk bekerja, namun tak bisa dipungkiri jika lara rindu akan hangat keluarga mengharuskannya pulang setelah sepuluh tahun menata hidup dan hati jauh dari rumah...