Sara menepikan Jazz peach-nya di tepi jalanan yang tak begitu ramai. Bibir tipisnya yang tersapu lipstik menyenandung Closer-nya The Chainsmoker yang diputar radio. Ia mengeluarkan tas make-up dan mengambil sisir, menyisir rambut hitam legam yang selalu ia rawat dengan berbagai ramuan alami sesuai anjuran Sang Eyang Putrinya yang masih keturunan keraton Yogyakarta. Sejenak ia merapikan riasan natural yang selalu menghiasi wajahnya. Sara tidak suka riasan terlalu tebal yang membuatnya merasa seperti badut, penipu, atau pun topeng. Sara pun hanya menyisir alis melengkungnya tanpa menggambarinya dengan berbagai pensil warna atau pun spidol papan tulis, ia masih ingin dipanggil Sara dan bukan Shinchan.
Matanya menatap jam bundar kecil di atas dashboard mobil, pukul 11:45. Berarti, lima belas menit lagi Sara akan bertemu dengan lelaki asing yang akan ditemuinya di sebuah kedai di pusat kota Palembang. Ibunya yang menyuruh Sara menemui lelaki itu. Sara masih ingat, beberapa kali perempuan berusia pertengahan lima puluhan itu menyebut-nyebut usianya yang sudah tidak muda lagi, tiga pulung tahun. Usia yang terbilang muda sebenarnya untuk seorang dokter spesialis kulit yang baru menyelesaikan spesialisnya tahun lalu. Tetapi bagi ibunya, usia yang tepat untuk menjalin hubungan serius.
Tidak baik menolak ajakan bertemu, kalau pun tak berjodoh di penghulu, mungkin berjodoh di bidang lain, jual-beli vitamin rambut misalnya, begitu pikiran Sara. Gadis itu mengulas senyum dan kembali menyalakan mobil, bersiap mengarungi jalanan dan bertemu Kandara, nama lelaki yang akan makan siang bersama.
***
Ada tiga hal yang tidak dapat Kandara hindari: 1. Kelahiran; 2. Kematian; 3. Jawaban atas pertanyaan "Kapan nikah?" dari Ibundanya. Jujur saja, alasan mengapa ia dengan senang hati menjalankan tugas jaga hingga 48 jam di rumah sakit kemudian lanjut 48 jam lagi adalah agar ia jarang berada di rumah. Semakin jarang ia pulang ke rumah, semakin sedikit intensitas pertemuan dengan Ibundanya, sehingga ia tidak akan direcoki dengan pertanyaan termenyebalkan itu. Meskipun sebenarnya Kandara sangat ingin berlibur, misal bermain Dota bersama anak-anak residen, atau menjahili sepupu-sepupu perempuannya, terutama Naura yang gampang sekali naik darah. Sayangnya, Naura kini telah menikah dengan bule Kanada yang jikalau Kandara diajak berbicara maka Kandara akan mendongakkan kepala sampai pegal.
Kala itu, tepat satu menit setelah ia disidang oleh para tetua keluarganya pada malam takbiran minggu lalu, ibunda, kakak dan adiknya serta para sepupu berbondong-bondong menawarkan diri untuk menjadi mak comblang bagi Kandara. Ada yang mengenalkan guru privat anaknya lah, teman masa kuliahnya lah, adiknya-Dindara dengan polosnya menawarkan Meka, tetangga di depan rumah mereka yang selalu memoleskan pemerah bibir lima menit sekali. Bahkan ada yang menyodorkan foto seorang perempuan di instagram-yang nampak sekali baru puber-memakai topeng sambil mengendarai kuda. Sungguh rasanya asam lambung Kandara naik hingga ke kerongkongan. Setelah penolakan demi penolakan yang Kandara berikan, barulah sang ibunda dengan senyum percaya diri merekah di bibir memperlihatkan foto yang membuat Kandara hanya bisa terdiam lalu mengangguk pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setengah Lusin
RomanceLima tahun berkencan dengan ingus, dahak, dan kotoran telinga, membuat Kandara Mahameru lupa cara berinteraksi dengan wanita. Bukannya tidak ingin mencinta, tetapi di mata Kandara kini, Olfaktori dan eustachius jauh lebih menarik dibanding makhluk y...