Runyam

21 3 0
                                    

Acara porseni sudah selesai beberapa hari yang lalu, dan kelompok tari Arin memenangkan peringkat pertama dengan hadiah uang lima ratus ribu rupiah. Hari ini, Arin dan yang lain akan menghadap ke inspektorat untuk meminta dana perlombaan tari kreasi daerah yang diselenggarakan Dikdasmen.

Selama beberapa hari itu juga Arin sudah tidak berkomunikasi dengan Abra. Dibilang menjauh juga tidak, hanya saja Arin menghindari kontak mata atau obrolan pribadi. Jika Abra mulai mengajak berbicara, maka Arin akan berusaha menghindar. Kalau dibilang sakit hati tentu tidak sampai sejauh itu tingkatannya. Dibilang kecewa, memang Arin siapa?

"Eh Rin proposalnya udah lengkap kan?" Pertanyaan dari Kinan membuyarkan lamunan Arin. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan mengangguk lemah. Ya, Arin jadi pendiam.

"Lo kenapa deh. Kayak gak semangat sama lomba kali ini. Kalau kita menang uangnya bisa buat beli novel baru Rin. Semangat dong." Kinan mencoba menyemangati sahabatnya itu. Kinan sadar kalau sejak kejadian mereka bertemu dengan Abra, Arin mulai murung. Tapi tidak ada yang mau bertanya.

"Eh Nanda, ntar bilang ke yang lain gue sama Arin mau ke Minimarket bentar ya. Kalian aja yang ngadep ke inspektorat. Yuk Rin." Sebenarnya Arin bingung dengan ajakan Kinan, tapi ia tidak bisa menolak. Ia hanya menurut saat Kinan menarik tangannya untuk dibawa ke minimarket sekolah yang letaknya dikantin Universitas.

Bukannya masuk kedalam minimarket, Kinan justru mengajak Arin duduk dikantin Universitas. Arin menatap bingung kearah teman yang sudah ia kenal sejak kelas sepuluh itu.

"Cerita Rin. Apa yang buat lo gelisah, apa yang belum lo ngerti, yang belum lo pahami. Cerita Rin, cerita." Sergah Kinan langsung sesaat setelah bokong Arin mendarat di kursi kosong dihadapan Kinan.

"A-apaan sih. Lo gak jadi ke minimarket? Kok malah duduk." Ujar Arin sambil mengalihkan pandangannya dari Kinan, menghindari kontak mata sebisa mungkin.

"Lo itu ya, yaampun. Kalau gue bilang bego kasar banget, bodoh tapi lo gak bodoh. Ya Allah gue pengen makan lo rasanya Rin." Kinan mengibaskan tangannya untuk mengurangi rasa panas disekujur tubuhnya. Arin selalu seperti ini kalau menyangkut perasaan.

"Lo cerita gak. Kalau gak cerita gue kasih tahu Abra kalau lo suka sama dia." Arin membelalakkan matanya saat mendengar ancaman Kinan. Sebenarnya-- Kinan ini siapa sih?

"Yang suka sama si be-ha siapa juga. Ngarang lo."

"Gue ngomong juga ada bukti. Kalau lo kayak gini karena kejadian tempo hari, mending lo konfirmasi dulu deh itu cewek siapa. Mungkin aja dia sepupu si Beha, atau sahabat dari kecil. Banyak kemungkinan Rin. Kalau lo cuma menghindar dan diam, Abra juga bingung harus ngapain. Dia gak tahu apa salah dia, dia gak tahu apa yang buat lo marah. Bukan cuma cewek yang butuh kepastian, cowok juga. Mereka juga manusia." Lagi-lagi, wajah murung menjijikkan itu yang bisa dilihat Kinan.

"Satu hal yang lo gak tahu Rin. Lo kalau lagi murung jelek banget deh Rin. Sumpah gue." Ledekan dari Kinan dihadiahi pukulan keras di bahu gadis itu.

"Gue harus gimana dong Nan. Yakali gue nanya duluan, gengsi dong!!" Kalau Kinan tidak ingat Arin adalah sahabatnya, sudah pasti dari lama Kinan akan meninggalkan Arin.

"Gengsi aja lo sampai lebaran Monyet. Kalau lo gak bertindak, yaudah angus lah. Masa mau diperjuangin mulu, sekali-kali berjuang gak masalah kok. Perjuangan enggak ngoyak selaput darah Rin." Perkataan Kinan memang benar. Tapi yang Arin pertanyakan, apa yang harus ia perjuangkan? Pacaran juga enggak.

"Gue ini siapanya Abra lah Nan. Cuma sekedar cewek yang kebetulan pernah buang bola basket dia ke got, yang kebetulan kami satu komplek, yang kebetulan rumah dia di depan rumah gue, yang kebetulan kami satu sekolah. Ada banyak kebetulan diantara gue sama Abra, jad--"

"Gak ada kebetulan, yang ada takdir. Semua udah diatur Rin. Jangankan pertemuan lo sama Abra, berapa jumlah anak lo, cucu lo, cicit lo aja udah diatur sama Allah. Apalagi cuma sekedar ketemu sama Abra, kecil itu mah." Dan lagi-lagi seorang Diarin yang otaknya kadang gak nyampe mikir kesana, hanya bisa mengangguk patuh.

"Lah tanda-tanda bego ini mah."

***

Pertandingan basket antara kubu SMA dan kubu SMK tidak pernah santai. Pertandingan yang awalnya hanya untuk mengisi waktu senggang akan berubah menjadi pertandingan memperebutkan kekuasaan.

Abra berlari sambil menggiring bola melewati para lawan, berhenti di titik 3 poin dan tanpa ba-bi-bu langsung menshot bola ke ring yang kira-kira berjarak 2,5 meter.

Shoot

Bola berwarna oranye itu masuk dengan mulus kedalam ring, membuat semua penonton bersorak gembira. Abra menyeka keringatnya dan berjalan kepinggir lapangan, menuju tempat ia menaruh air mineral tadi.

"Hay kak Abra. Keren tadi mainnya." Ucap Sandra. Sandra adalah anak perempuan yang beberapa hari lalu menyatakan perasaannya ke Abra. Abra tidak menolak atau menerima, dan akhirnya bocah kecentilan itu mengikuti kemanapun Abra pergi.

"Hehe, makasih ya." Jawaban singkat itu sudah sangat berarti untuk gadis seperti Sandra. Abra mengedarkan pandangannya dan melihat gadis remaja yang selama ini menghindarinya. Entah Abra yang salah lihat atau memang Arin menatapnya dengan kecewa? Dan apa itu tadi, air mata?

Tanpa berpamitan dengan anggota tim Abra langsung berlari mengejar Arin. Sosok mungil itu masih terlihat berjalan menuju taman sekolah yang tergolong sepi.

"KAK ABRA KOK SANDRA DITINGGAL SIH!!" Abra sudah tidak perduli dengan apa-apa. Yang ada dipikirannya hanyalah mencari Arin, entah untuk apa.

***

Siang ini tekad Arin sudah kuat. Ia harus menemui Abra dan meminta maaf atas sifatnya belakangan ini. Tadi kata Randy dan Boy, Abra ikut tanding Basket dilapangan, melawan kubu SMA. Arin dengan semangat pergi kelapangan sambil membawa minuman isotonik yang sering ia minum ketika kelelahan.

Pertandingan selesai saat Arin tiba di lapangan basket, dilihatnya ada beberapa siswa SMK yang sedang duduk di pinggir lapangan dan ia yakin disitu pasti juga ada Abra.

Langkahnya sangat ringan dan ikhlas, bibirnya sedikit tersenyum, menandakan dia sangat baik-baik saja.

Arin tediam ditempat saat melihat Abra, ya memang ia sedang mencari Abra. Tapi bukan Abra yang bersama adik kelas itu, tapi Abra yang sendirian.

Kalian tahu apa yang Arin rasakan sekarang? Dia kecewa, dia pikir yang bimbang dengan situasi sekarang bukan hanya dia, melainkan Abra juga. Tapi sepertinya Abra baik-baik saja. Sangat baik-baik saja. Tersenyum dengan sangat ikhlas.

Arin tidak tahu kenapa air matanya mengalir. Arin tidak ingin itu terjadi. Tapi air matanya sudah tumpah tepat saat Abra menyadari keberadaannya.

Ia berlari menuju taman sekolah, tempat yang paling tepat untuk berdiam diri. Setidaknya sebelum Abra datang.

***

Selamat pagi, aku seneng banget ini ide nulis Diarin ngalir terus. Mungkin efek galau kali ya, haha. Sekali lagi aku berterima kasih kepada orang yang sudah mau membaca Diarin sampai part ini, Diarin gak akan sampai sejauh ini tanpa kalian. Walaupun di part sebelumnya view cuma 3, gak masalah. Yang penting view nya gak nol. Haha, udah ah, maaf kalau masih kurang greget, aku lagi usaha buat part yang greget.

Hope you like it

Adindahdy

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang