Cepat Rambat Kefatalan

1.9K 212 12
                                    

Permasalahan: Dampak beda gaya hidup yang harus dijalani dan dilandaskan dari pola pikir kembaran Aria terhadap pengaruh kehidupan Aria.

Rumusan masalah: Mengikuti arus kehidupan yang sudah disepakati.


"Dee, seriusan, kan? Gue aneh, nggak?" tanyaku lagi sambil menatap layar ponsel. Nggak, aku belum se-sableng Dee. Aku sedang melakukan video call dengan Dee sejak 15 menit lalu.

"Nggak banyak berubahnya. Pas! Untuk kali ini, gue makin yakin kita kembaran, lho." Dee menatapku sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kayak lagi ngaca deh."

"Dee! Namanya juga kembaran, ya, miriplah!" gerutuku pada Dee. Akhir-akhir ini aku sedang sensi jika berurusan dengan Dee. Tapi dia malah banyak cengengesan. "Ini cocok, kan? Aneh, nggak?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan.

"Ada tau kembar nggak identik—" ucapannya terhenti karena aku melotot ke arahnya. Aku sedang tidak berniat mendengar penuturan ucapan Dee yang melantur. Di seberang sana Dee mendecak kesal. "Nggak aneh! Maksud lo, selama ini dandanan gue aneh, gitu?" omel Dee sambil mencebikkan bibirnya. "Udahan, ya? Gue juga mau siap-siap nih. Pokoknya, nggak harus banget menjadi diri gue. Mukanya udah mirip kok. Panjang rambutnya ya... nggak jauh bedalah. Bikin senyaman lo aja di sana. Oke? Dadah, Aria!"

Lalu Dee memutuskan secara sepihak, membuatku menghela napas panjang.

Tebak aku sedang berada di mana?

Acara pentas seni amal.

Secara garis besar, nggak ada yang aneh dari itu. Seperti yang diketahui, aku menyukai seni dan memang di sinilah tempat yang seharusnya aku sukai. Tapi bukan sebagai bagian dari panitianya, terlebih aku nggak pernah tau hal-hal yang seperti ini. Ditambah, semua kalangan ini kebanyakan sudah kuliah. Bisa ditebak siapa yang mencetuskan ide ini, kembaranku yang aneh dan absurd itu. Diandra namanya, biasanya hanya dipanggil Dee.

Begini, sewaktu beberapa hari yang lalu dia ingin menemuiku di tongkrongan kafe biasa. Awalnya juga biasa aja, walaupun dia membuat perasaanku nggak enak karena terus-terusan mengingatkan tentang masalahku dengan Mama. Lagi pula, mumpung gratis, aku nggak akan melewatkannya. Lalu tiba-tiba dia heboh sendiri dan mengatakan maksud dari mengajakku ke kafe saat itu (jaman sekarang nggak ada yang gratis ternyata). Dia berkata kalau ia mempunyai dua janji yang nggak bisa dibiarkan begitu aja. Pertama, bertemu dengan calon istri Papa yang barunya. Aku diajak sebenarnya (aku bukan anak pungut yang didiskriminasi), tapi aku menolaknya. Rasanya aneh aja (kayaknya keluarga ini dikutuk aneh atau aku yang keseringan bilang aneh?), bertemu dengan calon istri Papa dan sebagainya sedangkan Mama aja masih janda. Dan aku sendiri pun masih ada setitik harapan untuk kedua orang tuaku akan rujuk. Walau nyatanya selama belasan aku hidup, tidak ada tanda-tanda mereka akan rujuk. Bertemu lagi juga enggak.

Kedua, kembaranku itu emang mempunyai jiwa sosial, sampai-sampai ia lupa ada kegiatan yang ia lupakan. Suka berinteraksi banyak orang, mengikuti acara kampusnya dan segala macam yang ada unsur sosialisasinya. Berbanding terbalik dengan aku yang kurang bisa dalam hal kayak gitu. Mungkin karena terlalu sering di dalam kamar seperti yang Mama bilang. Tapi aku sangat menikmatinya kok.

Dengan raut wajah yang memohon-mohon supaya aku akan menjadi dirinya saat acara itu berlangsung, mana tega aku nyuekin Dee. Apalagi dia hanya meminta untuk kali ini saja. Atau bisa jadi, karena aku nggak bisa menolak permintaan orang kali ya. Mana lagi, Dee memanggil namaku dengan 'Iya', nama panggilan untukku ketika kecil karena dia nggak bisa ngomong huruf R dan sekarang walaupun udah bisa tapi dipakai untuk merayu. Untungnya acara sekolahku terlaksana dua hari lalu.

"Aduh, Dee..."

Sebuah suara menginterupsi dari lamunanku. Masih agak terasa asing rasanya dipanggil dengan nama kembaranku. Omong-omong, aku datang ke acara ini dua jam lebih awal karena selain jadi panitianya, aku juga harus banyak mengenal situasinya bagaimana. "Gue telponin nggak diangkat. Gue cariin dari tadi, eh, taunya di sini. Kumpul sama anak-anak, yuk." Perempuan yang rambutnya dicepol itu menarik tanganku. Aduh, namanya siapa? Aku harus memanggilnya apa? Aduh, aku lupa, padahal udah dikasih tau sedikit oleh Dee. Bener-bener deh, kembaranku itu, I really have no clue at all.

Diferensiasi [slow-update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang