Perubahan Wujud Sifat

1K 167 23
                                    

Permasalahan: Ada beberapa memori yang mengkristal, ada pula yang menguap lepas.

Rumusan masalah: Aria berusaha untuk mengkristalkan yang sempat terlupakan.

"Dek, Mama hari ini males masak." Mama menyembulkan kepalanya dari balik daun pintu kamarku. Aku mengalihkan tatapanku dari buku-buku soal menjadi menatap Mama yang sekarang mulai masuk ke dalam kamarku. "Makan di luar aja, yuk?"

Aku menutup buku soal yang telah kucoret-coret sebagian lalu menyandarkan punggung ke dinding. "Mama kebanyakan kerja sih. Dee bilang juga, pas telponan sama aku, kalau tiap dia nelepon Mama, pasti Mama lagi kerja. Kerjaan beres, kan, Ma? Jangan terlalu dipaksain kerjaannya, Ma. Aria yakin, semuanya bakal lancar jaya."

Mama memijat pelipisnya lalu duduk di kursi yang biasa aku pakai untuk melukis, helaan napasnya terdengar panjang dan berat. "Kalau beres, nggak bakal Mama ngurusin kerjaan sampe segitunya, Dek. Ini semua gara-gara bawahan itu. Kayaknya dari semenjak dia kerja jadi bawahannya Mama, pasti selalu aja ada kesalahan yang bikin nguji kesabaran Mama. Aduh, nggak ngerti lagi deh. Jadi kacau," celoteh Mama dengan nada lelah tapi masih terlihat ada rasa kesalnya pada bawahannya itu. Matanya agak terlihat sayu, efek sering begadang.

"Mama kapan terakhir kali maskeran?" tanyaku mengalihkan rasa amarah Mama yang takutnya aku akan dijadikan sasaran bahan omelan selanjutnya. "Aku baru beli masker, dari lidah buaya gitu, Ma. Besok cobain bareng, yuk."

"Wah, iya. Untung kamu ingetin. Mama aja udah lupa kapan terakhir kali maskeran." Mama menghela napas lagi. "Ya udah, kamu siap-siap ganti baju. Kita makan di luar."

Mama beranjak pergi dari kamarku lalu aku mulai bangkit dari ranjang untuk berganti baju. Biasanya, dulu, Papa akan rewel kenapa Mama nggak masak. Lalu Mama akan mengomel karena dia capek dengan kegiatannya. Dan tiap Mama mengomel, Papa akan diam aja setelahnya karena siapa juga yang ingin melanjutkan perdebatan dengan wanita seperti Mama? Bahkan, aku pun nggak akan mau.

Setelah aku selesai berganti baju dan berjalan menuju ruang tengah—ternyata Mama udah siap. "Kamu mau makan apa, Dek?" tanya Mama saat kami berdua udah di dalam mobil dan aku sedang menyalakan radio di tape mobil. Aku melirik jam digital yang ada di sebelah tape. Masih pukul tujuh malam rupanya.

"Nggak tau. Ngikut Mama aja," jawabku setelah diam berpikir. Semua makanan bisa masuk ke dalam perutku, aku selalu kebingungan kalau ditanya ingin makan apa dan jadinya aku hanya mengikut. Berbeda dengan Dee yang selalu tau apa yang dia inginkan, seperti mempunyai pilihan untuk dirinya sendiri.

Mobil Mama terhenti sejenak karena macet. "Kita makan sop-sop gitu aja. Mau, nggak?" usul Mama yang dibalas anggukan dariku. Sop Kambing Pak Kumis, langganan dari dulu kalau lagi ingin makan sop kambing. Yang punya udah nggak berkumis lagi, omong-omong. Restorannya semakin berkembang. Dulunya hanya kursi plastik, sekarang menjadi kursi kayu. Tempatnya dulu kecil, hanya ada beberapa meja, sekarang luas. Hanya cita rasanya yang nggak pernah berubah.

Kami turun setelah mobil yang dikendarai Mama udah sampai tujuan. Ketika turun dari mobil, mataku menangkap sosok yang kukenali baru aja keluar dari toko alat tulis samping restorannya Pak Kumis. Saat ia berjalan menuju motornya, seolah sadar aku memerhatikannya, mata kami pun saling tatap. Kami terdiam dengan mata yang masih bertatapan namun ketika aku hendak menghampirinya, dia buru-buru memutuskan kontak mata kemudian mulai duduk di jok motornya.

Sebelum ia pergi, rambut panjangnya dikuncir satu supaya nggak berkibar lalu kusut karena angin. Ia memasang helmnya lalu pergi.

"Aria?" panggil Mama saat baru mengetahui kalau aku nggak mengekornya. "Kenapa? Ayo, masuk. Mama udah pesen."

Diferensiasi [slow-update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang